Share

BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA
BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA
Penulis: Meisya Jasmine

1

BAGIAN 1

“Silakan, Bu,” ucapku sembari meletakkan jajanan pasar dan dua cangkir teh melati panas ke atas meja tamu.

            “Wah, Bu Agit. Menantunya makin cantik aja. Udah gitu, sregep pula. Beda banget sama menantu saya di rumah.” Bu Puji, sahabat ibu mertuaku, mulai memuji.

            “Lho, tentu, Bu Puji! Istrinya siapa dulu, Faris! Anakku itu berhasil mendidik istrinya, Bu Puji. Dia mampu membimbing Gista hingga bisa jadi istri saleha seperti sekarang ini. Betul kan, Gis?” Ibu mulai meninggikan anaknya. Membuatku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk.

            “Iya, Bu,” sahutku pelan.

            Tampak, rekahan senyum di wajah tua Ibu makin merona. Aku ikut senang rasanya. Dipuji di depan teman dekat mertua itu seperti habis mendapat doorprize kulkas.

            “Alhamdulillah. Semoga rumah tangganya selalu adem ayem, ya. Jangan kaya anak mantuku. Saban hari tengkar melulu! Pusing banget kepalaku.” Bu Puji yang mengenakan hijab hitam dan sebuah bros emas besar di dadanya itu membenarkan letak kacamata minusnya. Wanita paruh baya yang memiliki tubuh cuku berisi tersebut kelihatannya sangat pusing setiap membahas anak dan mantu.

            “Amin. Eh, ayo, Bu. Dicicipi,” ucapku mempersilakan Bu Puji untuk mengambil jajanan yang sejak Subuh tadi kubuat sendiri. Ada nagasari, kroket kentang, dan arem-arem. Semua makanan tradisional itu memang tiap harinya kubuat untuk dititipkan ke pasar. Hasilnya sangat lumayan untuk tambahan uang belanja. Maklumlah. Namanya juga IRT. Harus pandai-pandai berkarya supaya dapur semakin ngepul.

            “Makasih, ya, Gista.” Bu Puji langsung menyomot sebuah arem-arem. Dengan cekatan jemarinya membuka daun pisang yang menjadi pembungkus panganan berbahan dasar nasi tersebut.

            “Gis, ke belakang dulu, ya. Ibu mau ngobrol tentang bisnis sama Bu Puji,” ucap mertuaku seraya mengelus lenganku sekilas.

            Aku pun mengangguk. Buru-buru beranjak dan berjalan menuju belakang.

            “Ah, Bu Puji. Gista itu sama aja kaya Diana. Ada kalanya menyebalkan. Yang aku nggak suka, dia itu sarjana. Cuma, ngapain sih, di rumah aja? Mana cuma dagang makanan receh begini! Bikin malu aja sama tetangga.”

            Belum juga aku jauh meninggalkan ruang tamu, Ibu sudah berceloteh dengan suara bisik-bisik tetapi sanggup untuk menembus telingaku.

            Aku langsung termangu. Langkah pun sontak terpaku. Ibu yang kukira sangat baik dan lembut, nyatanya membicarakanku di belakang.

            “Ya, suruh aja kerja, Bu Agit!” Kudengar sahutan Bu Puji disela mengunyah makanan. Aku yang berhenti di ruang tengah, memutuskan untuk berdiri di belakang dinding pembatas dan menguping. Hatiku panas, tetapi aku penasaran untuk terus mendengar.

            “Faris yang ogah. Katanya, istri saleha itu harus di rumah. Si Gistanya juga bodoh. Mau-mau aja. Katanya mau program hamil. Nyatanya mana? Setengah tahun juga nggak bunting!”

            Kuremas jilbab yang menutupi dada. Aku memejamkan mata sesaat. Menarik napas demi mengusir sesaknya paru.

            Ya Allah … Ibu. Sungguh lembut tutur katamu selama ini. Kamu yang dulu menyuruhku resign dari kantor sebulan sebelum menikah. Katamu, istri yang baik adalah istri yang mau tinggal di rumah. Persis dirimu. Namun, mengapa sekarang kamu yang mengucapkan dengan lantang di hadapan kawanmu, bahwa aku ini membuat malu?

            “Aduh, repot juga ya, Bu Agit. Beban itu namanya!” Sahutan Bu Puji kian membuatku sakit hati. Dada ini makin panas saja seperti baru terbakar.

            “Iya, emang! Capek aku lihatin dia numpang di rumah ini. Sebulan dua bulan sih, masih senang aja. Kalau udah hampir setahun begini, rasanya kok, ya gimana gitu.”

            Lekas aku beringsut dari dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah rumah Mas Faris. Nampan yang kubawa untuk menghidangkan makanan dan minuman pun, segera kuletakkan begitu saja ke atas meja makan.

            Buru-buru aku masuk kamar. Menguncinya dari dalam, kemudian mengambil ponsel dari atas tempat tidur.

            “Oh, rupanya begitu toh, yang Ibu pikirkan tentangku. Baik, Bu. Aku akan melakukan apa yang kamu inginkan selama ini.”

            Kutekan nomor mantan bosku yang masih tersimpan di ponsel. Tanpa ragu, aku pun langsung meneleponnya.

            “Assalamualaikum, Pak Ken. Maaf Gista mengganggu. Pak, apakah masih ada lowongan sekretaris di kantor? Saya butuh pekerjaan, Pak.” Suaraku serak sekaligus bergetar. Tangis yang hendak meluap di pelupuk, kutahan sekuat tenaga. Penuh harap di dada bahwa Pak Ken mengatakan ada lowongan untukku.

            “Waalaikumsalam. Hai, Gista. Apa kabarmu?”

            “Baik, Pak.” Aku makin resah. Bukan basa-basi yang kumau. Namun, pekerjaan!

            “Sekretaris, ya? Tidak ada. Sudah terisi oleh orang lain.”

            Dadaku mencelos. Air mataku pun luruh membasahi pipi. Ya Allah, ke mana harus kucari pekerjaan?

            “Cuma orangnya baru mau aku pecat karena kerjaannya nggak becus dan serinng kabur-kaburan. Kapan kamu mulai bisa kerja?”

            Aku ternganga. Sontak terkejut dengan jawaban dari Pak Ken. Ya Allah, keajaiban itu nyata adanya!

            “Besok, Pak. Saya bisa besok!” seruku bersemangat.

            “Oke. Datanglah ke sini. Jangan bawa apa pun termasuk berkas. Semua dokumenmu masih tersimpan dalam map gobi di ruanganku.”

            Aku tersenyum lebar. Lekas kuhapus air mata di pipi dan tersenyum lebar. Ibu mertuaku yang terhormat, kita lihat saja besok. Bisakah kamu tinggal di rumah besar ini tanpa bantuanku yang sudah seperti babu saban harinya, saat aku mulai bekerja kembali!

(Bersambung)

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
hehehe cerita baru akan dimulaiiiii....lanjutttt
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus tunjukkan sama mertuamu biar melek matanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status