Share

3

last update Last Updated: 2022-01-28 14:09:59

BAGIAN 3

            “Gista, kamu ini kenapa?” Mas Faris tiba-tiba membuka pintu kamar tidur kami lebar-lebar. Dia masuk dengan wajah yang setengah gusar dan setengah bimbang.

            Aku terduduk di ranjang. Desiran di dada rasanya masih membabi buta. Tanganku bahkan sampai tremor saking emosinya.

            “Astaghfirullah,” lirihku seraya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

            Terdengar suara derap langkah kaki Mas Faris yang kian mendekat. Pria dengan tinggi 170 sentimeter dan berbobot 75 kilogram itu lalu kulihat duduk di sampingku. Aku yang baru membuka mata pun mengerling tajam ke arahnya.

            “Gis, istighfar!” katanya sambil mencengkeram pundakku.

            “Tanpa kamu ingatkan, aku sudah istighfar duluan, Mas!” Aku kesal. Kutepis tangan Mas Faris yang memiliki bulu lebat itu agar menjauh dari tubuhku.

            Pria berjanggut tipis rapi itu menghela napas dalam. “Kamu nggak biasanya begini,” ucap Mas Faris lagi.

            “Jangan menyalahkan aku, Mas. Salahkan ibumu!” Suaraku bergetar. Bibir ini lebih-lebih lagi.

Tak tega aku sebenarnya memuntahkan kemarahan pada lelaki yang pernah menjadi kakak kelas semasa SMA dulu. Aku terbiasa patuh hormat padanya. Bersuara rendah dan lemah lembut. Aku pun heran, mengapa sikapku bisa berubah sedrastis ini. Apakah karena dilanda tsunami kecewa?

“Ibu salah apa padamu, Gis? Jelaskan padaku! Kamu dari tadi bicara seperti orang yang baru bangun tidur. Ngaco!”

Aku tersinggung sebenarnya. Ngaco, Mas Faris bilang?

“Dengar ya, Mas! Aku mau menikah denganmu sebab terbuai akan sikap lembut dan salehmu. Aku yakin, sebagai lelaki taat agama, kamu tahu bagaimana caranya memperlakukan wanita. Kamu suruh aku resign sebelum kita nikah, aku manut! Kamu minta aku tinggal di rumah ibumu, aku patuh. Kamu suruh aku di rumah saja untuk membantu beliau, aku nurut! Bahkan aku masih menyempatkan diri untuk membuat usaha kecil-kecilan.”

“Ya Allah, Gista. Kenapa kamu harus menyebut-nyebut kebaikanmu, seolah aku berutang budi?”

“Jangan potong bicaraku, Mas!” Aku berubah bringas. Seakan leherku kini tumbuh surai dan geligi taringku memanjang seperti milik singa jantan.

Mas Faris seketika terhenyak. Dari bahasa tubuhnya, seakan dia terkejut dengan perubahanku yang begitu signifikan. Andai dia tahu, kelakuanku bisa begini sebab harga diri yang telah dinodai oleh ibunya!

“Aku bangun dini hari! Pergi ke pasar untuk belanja. Padahal, sejak habis Isya aku sudah menyiapkan bahan-bahan untuk dagangan besoknya. Kamu pikir aku nggak capek, Mas? Aku capek!” Kutunjuk dada Mas Faris dan kutekan sampai dia semakin terkesiap.

“Pagi-pagi aku sudah berkutat di dapur. Membuat jajanan pasar, menyiapkan sarapan, dan mencuci semua perkakas sendirian. Apa Ibu pernah bantu? Nggak!” Api amarah sepertinya sudah membumbung tinggi di puncak kepalaku.

“Jadi, kamu nggak ikhlas selama ini?”

“Tutup mulutmu, Mas! Jangan bicarakan ikhlas dan tidak. Hanya Allah yang tahu tentang itu. Kamu sebagai manusia tidak berhak menghakimi rasa ikhlasku!”

Lagi-lagi Mas Faris terdiam membisu. Mukanya kini tertunduk. Seakan malu dengan sindiranku barusan.

“Setelah perjuanganku yang mati-matian membabu di rumahh besar ini, kamu tahu apa yang dikatakan Ibu tadi pagi kepada kawannya? Kamu tahu, Mas?” Aku mendekatkan wajah ke muka Mas Faris seraya memiringkan kepala. Perlahan, pria berambut ikal tebal yang dipotong pendek rapi itu menoleh ke arahku.

“Dia bilang kalau aku menyebalkan! Aku bikin dia malu kepada para tetangga, hanya karena aku sarjana dan tidak bekerja. Jualan kueku yang hasilnya selama ini ikut dia makan, katanya bikin malu, Mas! Dia juga eneg melihatku hidup menumpang selama setengah tahun ini.”

Muka Mas Faris langsung pucat pasi. Bibirnya agak terbuka seperti hendak bersuara. Namun, tunggu punya tunggu, suamiku tak juga kunjung berbicara.

“Kenapa? Kamu tidak percaya padaku, Mas?”

Mas Faris masih diam. Lambat laun, dia menggeleng pelan sambil menatapku lekat.

Aku langsung mengecimus. Kutarik napas dalam seraya menahan tawa yang rasanya ingin menyeruak. Gila! Suamiku yang kukira baik dan pintar menghargai istri, ternyata tak ubahnya seorang anak mama manja yang hanya mau percaya pada ibunya saja.

“Ibuku tidak seperti itu, Gis,” lirihnya.

“Oh, ya? Ibumu memang baik sekali, Mas. Seperti malaikat. Sayangnya, itu hanya di depanmu saja.” Aku menyahut dengan muka sinis.

“Dan satu hal, Mas. Seharusnya kamu peka, kenapa Bapak meninggalkan Ibu. Kamu juga harusnya sadar, kenapa Farah lebih memilih tinggal berjauhan dari kalian ketimbang bekerja di sini untuk merawat Ibu.” Aku tersenyum kecil. Lebih tepatnya sebuah seringaian penuh sindiri.

“Lancang bicaramu, Gis.” Mas Faris tiba-tiba menatapku sengit. Dia menggelengkan kepala beberapa kali, seolah aku inilah yang paling bersalah di muka bumi.

“Aku memang lancang, Mas. Kamu tidak pernah menduga, ya, kalau aku bisa seberontak ini? Sama, Mas. Aku juga tidak pernah menduga bahwa ibumu akan sejahat itu di belakangku.” Aku beringsut dari tempat tidur dan turun dari ranjang. Aku harus minggat. Ya, malam ini juga!

(Bersambung)

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
udah kesel banget sampe memberontak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   41

    BAGIAN 41ENDINGBAHAGIA ADALAH PILIHANKU “Saya terima nikahnya Gista Visesa binti Herlambang dengan mas kawin seratus gram logam mulia dan sebidang tanah seluas 400 meter persegi dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Air mataku sontak menetes. Debaran lembut di dada ini pun kian mengencang saat sosok pria di sebelahku yang mengenakan beskap putih dan blangkon batik di kepalanya tersebut mulai merangkulkan tangannya ke pundak. “Sayang, kita sudah sah,”

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   40

    BAGIAN 40 Aku hanya membaca pesan tersebut. Tanpa berniat untuk membalasnya kembali. Entah mengapa, hatiku masih kesal saja. Aku pun heran, mengapa perasaan ini bisa sekeras karang jika berhubungan dengan Mas Faris sekeluarga, kecuali Farah tentunya. “Siapa, Gis?” tanya Mama kepadaku. “Ibu.” Mata Mama memicing. “Ibu siapa?” tanyany heran. “Ibunya Mas Faris, Ma,” sahutku pelan. Mas Ken yang sedang memainkan ponsel, langsung menoleh. Mata kami saling bertatap. Entah mengapa, wajah Mas Ken tampak kurang

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   39

    BAGIAN 39 “Gista, nifasmu masih lama, ya?” Mas Ken bertanya saat dirinya menyambangiku di rumah. Usia Shaki tepat tiga minggu hari ini. Itu artinya, belum juga sebulan tepat aku melahirkan. Eh, Mas Ken malah nanyain nifasku masih lama atau belum. Aku meringis. Tertawa kecil sambil menggendong Shaki. Bocah itu baru selesai menyusu. Kenyang. Saat Mas Ken datang dan mengetuk pintu kamar, anak itu langsung tidur. Aku bawa saja dia ke ruang tengah. Tak hanya ada kami bertiga di sini. Ada Gio yang menemani. Dia berbaring di atas karpet, tak jauh dari tempatku duduk. Sambil mainan ponsel tentunya. Yang jelas, kalau Mas Ken datang ‘mengapel’ aku selalu mengikutsertakan keluargaku. Entah itu Mama, Papa, atau Gio. “Masih, Mas. Kan, nifas itu sel

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   38

    BAGIAN 38POV BU AGIT “Faris, kamu cuma bikin malu Ibu aja!” Aku murka. Marah besar. Merasa dipermalukan di depan Gista sebab memohon agar perempuan itu mau diajak rujuk oleh anakku. Pulang dari rumah Gista, aku langsung memarahi Faris habis-habisan. Bagiku, anak itu harus kuhajar habis-habisan hari ini! “M-maafkan aku, Bu.” Faris menyahut dengan suaranya yang serak dan terbata. Anak lelaki yang semula sangat kusayangi itu kini duduk berlutut di bawah kakiku. Dia memohon. Tangannya sampai gemetaran saat meminta ampun. “Nggak ada maaf-maafan! Ibu kan, sudah bilang ke kamu, Ris! Jangan mau minta rujuk segala sama Gista! Dia nggak akan mau. Nggak bakalan sudi! Apalagi, sejak kamu kecelakaan itu, nama baikmu sudah tercoreng di masya

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   37

    BAGIAN 37 Shaki Aiman Emeraldy Faris. Begitulah nama bocah lelaki itu. Bayi tampan berkulit putih dengan bola mata yang cemerlang nan indah. Dialah anakku. Putra semata wayang hasil pernikahanku dengan mantan suami, Mas Faris. Meskipun aku belum bisa melupakan seperti apa kelakuan Mas Faris maupun ibunya, tetap saja tersemat nama Faris di belakang nama anak lelakiku. Tak apa. Dia berhak mendapatkan nama belakang dari nama ayahnya. Anakku memanglah keturunan dari Mas Faris. Walau kami sudah resmi bercerai, Shaki tetaplah darah daging dari mantan suamiku tersebut. Sejak kehadiran Shaki, hidupku rasanya semakin sempurna. Apalagi, bocah itu tidak rewel sama sekali. Dia tidak menangis kencang di tengah malam. Hanya bangun untuk minum ASI dan kembali tidur nyenyak. Shaki

  • BALASAN PAHIT UNTUK MERTUA   36

    BAGIAN 36Menjelang persalinan Gista ….POV AUTHOR “Izinkan Faris masuk ke dalam, Pa.” Faris memohon pada Herlambang agar bisa masuk ke ruang bersalin mendampingi Gista. Namun, jelas permintaan itu ditolak mentah-mentah. “Kalian bukan suami istri lagi. Kamu cukup menunggu di luar sini. Tolong jangan mengacau.” Herlambang menatap sengit kepada Faris yang beberapa bulan lalu sudah resmi menduda. Tangan Herlambang pun mendorong lengan Faris agar pria itu keluar dari ambang pintu utama ruang kebidanan. Sigap, Herlambang pun kembali masuk seraya menutup pintu. Berjalan menuju bilik di mana Gista tengah mempertaruhkan separuh nyawanya demi kelahiran sang putra pertama. Langkah Faris gontai. Dia terpaksa duduk di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status