Share

Bab 6 Berlima?

“Ba—bagaimana bisa kamu sampai sini, Dek?“

Mas Dani sangat terkejut melihat kedatanganku yang tak pernah dia sangka. Selama menikah dengannya aku memang hanya tahu letak gedungnya, tapi belum pernah masuk ke dalam.

“Ini yang kamu bilang lagi di proyek, Mas? Masih di luar kota? Apa maksudmu sebenarnya, hah?” aku yang emosi langsung menggebrak meja.

Mas Dani yang gelagapan segera membereskan berkas yang berantakan.

“Dek, ini Mas masih di kantor, kita bahas di rumah ya. Nanti Mas pasti pulang. Mas cerita in semuanya.” Mas Dani membujukku agar mau pulang.

Aku pun sadar, ini masih jam kantor, daripada mempermalukan diri sendiri lebih baik balik saja. aku pulang ke rumah tanpa berpamitan dengan Dani.

Saat sampai di depan pintu, aku mendengar Mas Dani menghela napas, pasti ia tak menyangka aku akan memergokinya di sini.

Untunglah sat di ruangan itu Mas dani sendirian. Jabatannya yang sebagai manajer membuatnya memiliki ruangan tersendiri di kantor. Ruangan Mas Dani terletak di lantai empat, kini aku menuju k e lantai atas, tepatnya di lantai sepuluh, menuju ruangan paman

“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” seorang perempuan cantik menyambutku, dia adalah Sinta, sekretaris Om Joni.

“Aku mau ketemu Om Joni,” ucap Rara

“Apakah sudah ada janji?” tanya Sinta.

“Bilang saja Rara yang datang.” Ucap Rara. Sekretaris itu segera menekan interkom yang tersabung ke ruangan Om Joni. Setelah mendapat jawaban, ia mempersilakanku masuk. Aku pun segera duduk di kursi tamu, di samping meja Paman.

“Jadi, ada keperluan apa keponakan Om yang cantik ini sampai mendatangi kantor?” tanya Om Joni sambil tersenyum.

“Om, kalau aku minta gaji Mas Dani ditransfer ke rekeningku bisa nggak?” tanyaku

Om Joni mengernyitkan dahinya. Mungkin terkejut dengan permintaanku yang tiba-tiba.

“Memangnya ada apa, Ra? Jujur sama, Om.”

Om Joni pun berhak tahu kelakuan anak buahnya ini. Aku pun akhirnya menceritakan semua kepada paman.

Kulihat Om Joni menahan emosi. Aku tahu dia pasti tak terima atas perlakuan keluarga Mas Dani.

“Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan si Dani itu. Keluarganya juga kurang aj*r. Kenapa selama 2 tahun ini kamu diam saja, Ra?!” aku kaget, tak menyangka paman akan semarah ini.

“Sudahlah, gak usah marah-marah, Om. Rara sudah punya rencana buat mereka. Om mengawasi Mas Dani dari sini aja, dia belum tau kalau aku keponakan pemilik perusahaan ini. Biar jadi kejutan buat mereka nanti.

Om Joni menghela napas.

“Baiklah, Om serahkan semua sama kamu. Rekening kamu masih ada kan? Nanti Om kirim buat jajan, gak usah menunggu suami kamu ngasih uang!” kata Pamannya itu.

“Makasih, Om. Tapi jangan bilang papa dulu ya. Rara takut jantung papa kumat lagi.”

“Beres kalau itu,” ucap paman lagi.

“Jadi bagaimana, Om? Bisa kan gaji Mas Dani dikirim ke aku aja?”

“Nanti Om atur semuanya.”

Setelah mengobrol sebentar dengan Om Joni, aku segera pulang ke rumah.

Baru memasuki gerbang komplek, aku melihat melihat beberapa tetangga sedang berkumpul di bawah pohon jambu di samping rumahnya. Mereka melihat dengan tatapan aneh.

“Mari, Ibu-Ibu.” Aku mencoba ramah menyapa kumpulan para emak-emak yang lagi bergosip itu.

“Kasihan ya, kesepian ditinggal suami kerja malah suami iparnya yang digasak.”

Seorang Ibu berkaus biru seakan menyindirku. Mendengar hal itu lalu aku berhenti dan menengok para Ibu itu. Dengan perasaan dongkol aku berkata kepada Ibu sok tahu itu.

“Bu! Kalau nggak tahu ceritanya gak usah banyak komen! Urus aja anak Ibu yang hamil diluar nikah itu!” ucapku sengit. Aku memang mendengar cerita kalau anak Ibu itu hamil dengan pacarnya, tetapi pacarnya tak mau tanggung jawab. Bukan karena bergosip, tetapi aku mendengarnya dari Mbak Nia yang bercerita kepada Ibu.

Ibu itu kaget dan mendadak salah tingkah, dia malu aib anaknya diketahui orang banyak.

Teman-temannya melihat ke arahku. Sepertinya mereka kaget darimana aku mengetahui kabar itu, karena aku jarang bahkan tak pernah berkumpul dengan mereka.

“Nggak usah tanya saya tahu dari mana! Saya nggak pernah mengurusi urusan kalian, jadi jangan pula mengurusiku!” ujarku lagi.

Kumpulan Ibu-ibu itu mengangguk. Mungkin merasa tidak enak.

Di dalam rumah seperti biasa, keadaan akan berantakan. Terkadang aku berharap, sekali saja mereka membantu bersih-bersih rumah. Tapi aku tahu itu semua tak mungkin terjadi. Mengesampingkan rasa lelah, aku membersihkan sampah-sampah yang berserakan, menyapu dan mengepel agar lantai enak diinjak. Aku tak suka melihat rumah dalam keadaan kotor.

“Ra, setrikaan bajuku dan Bang Ken ya, nanti malam aku mau makan malam berdua. Aku gak mau bajuku kelihatan kusut.” Mbak Nia melemparkan baju dan kemeja suaminya ke arahku. Tapi sengaja tak kutangkap. Kubiarkan saja baju itu jatuh terkena debu yang belum ku pel. Lalu aku mengambilnya dengan kakiku.

“Heh! Sembarangan kamu! Ngambil baju pakai kaki, itu baju mahal! Kamu pasti tak akan bisa membelinya! Ambil dan urus yang benar!” sentak Mbak Nia.

“Oke.” Jawabku sekenanya. Aku punya rencana untuk baju ini. Hahaha ... aku tertawa dalam hati.

Kulanjutkan kegiatan menyapu rumahnya,lalu merogoh bagian bawah kursi agar tak berdebu. Tak lama ada sebuah bungkusan plastik putih kecil yang ikut keluar dari kolong kursi.

Apa ini? Ucap dalam hati. Aku mengamati benda itu dengan seksama.

Apakah mungkin gula? Mungkin ada yang membeli donat dan gulanya terjatuh.

Segera kubuka bungkusan itu dan mencicipinya. Rasanya nggak manis, ini bukan gula! Batinku. Rasanya sangat aneh.

Mendadak kepalaku pusing. Kuletakkan sapu di sembarang tempat lalu pergi ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan menegaknya hingga tandas.

Rasa pening di kepala semakin terasa, Aku bergegas menuju kamar untuk berbaring, beristirahat sejenak. Sebelumnya sudah ku simpan benda aneh itu. Biar nanti kutanyakan kepada papa suatu saat.

Kuambil ponselku yang berada di atas nakas. Lalu mencari kontak sahabat masa kecilku itu.

(Kapan kamu bisa pasang CCTV itu! Aku membutuhkannya segera!)

(Kapan pun kamu mau, Tuan Putri. Kamu sendiri nggak bilang mau dipasang kapan!)

(Hahaha aku lupa. Besok ini ya, nanti jamnya aku kabar in lagi)

(Ok)

Tak kubalas lagi pesan itu. Aku segera membuka aplikasi pemesanan hotel dan paket liburannya. Kupesan empat tiket sekaligus. Untuk menyingkirkan sejenak keluarga Mas Dani agar aku bisa memasang CCTV di rumah ini.

Setelah mengurus pembayarannya, aku segera mencetak kode bookingnya itu.

Kusimpan kembali ponselku dan bergegas mencari sosok Ibu mertua. Di dalam rumah tidak ada, lalu ia keluar rumah untuk mencari.

Akhirnya sosok yang dicarinya ketemu. Ibu sedang bergosip dengan gerombolan Ibu-ibu tadi.

“Ibu ini, aku cariin dari tadi ternyata di sini.” kataku sambil mendekati mereka.

Mereka langsung terdiam, menghentikan pembicaraan begitu aku datang.

“Kok langsung pada diam? Lagi ngomongin aku ya tadi?”sindirku pada mereka. Tampak wajah mereka salah tingkah. Dasar emak-emak kurang kerjaan!

“Tumben nyariin, biasanya Cuma bisa marah-marah aja.” Ucap Ibu mertua sambil melirik teman-teman seprofesinya itu.

“Aku mau ngasih ini, Bu. Tiket liburan, tapi sepertinya Ibu tidak tertarik. Ya sudah, aku jual online saja.” Aku pura-pura akan pergi dan mengipas-ngipaskan kertas itu.

“Enak saja! Kata siapa aku tidak tertarik.” Ibu lalu merebut tiket dari tanganku

“loh, kok Cuma empat. Kan sekarang sudah berlima?” Ibu membolak balik kertas itu, mungkin pikirnya jumlahnya ada lima.

“Berlima maksudnya? Ibu mau Mengajak siapa?” aku mulai curiga dengan ucapan Mertuaku itu. jangan jangan selingkuhan Mas Dani?

“Eh, anu ... Maksudku mengajakmu! Ya ... pas kita berlima.” Ibu salah tingkah. Ibu memang tidak pandai berbohong. Pasti ada yang disembunyikan oleh Ibu

“Wah ternyata menantu Bu Intan baik, ya. Ngasih tiket liburan, tadi katanya pelit, suka marah-marah dan mandul,” ucap Ibu berkaos biru itu lagi.

Deg!

Ucapan yang sangat menyakitkan hati. Aku yang mendengarnya terkejut. Langsung Melihat dengan sengit ke arah mertuaku yang juga sedang melotot kepada temannya itu. sedangkan yang ditatap hanya nyengir nggak jelas.

“Apa maksud Ibu berkata seperti itu pada mereka?” cercaku kepada Ibu

“Lha? Kan memang benar, dua tahun nikah belum punya anak berarti kamu mandul!” mertua berkata tanpa memikirkan perasaanku.

Bukankah maslah anak adlah di luar kuasaku? Mas Dani pun selalu menolak bila kuminta untuk periksa. Katanya biar alami saja.

Gerombolan Ibu-ibu yang melihat percekcokan kami berdua segera mundu perlahan-lahan. Namun aku tahu mereka masih mengintip dari balik korden rumah mereka.

“Bu! Anak itu yang ngasih Tuhan! Bukan inginku juga kalau selama ini aku belum hamil!”

“harusnya kalau kamu normal, kamu udah punya anak. Nyatanya tidak kan? Berarti kamu mandul!” rasanya ingin kusumpal mulut wanita yang melahirkan Mas Dani ini dengan sandal yang kupakai.

“Ya sudah! Tiketnya gak usah aja!” hendak kurebut kembali tiket itu tapi keburu disembunyikan di saku ibu.

“Tidak bisa! Kita berlima akan berangkat. Kamu di rumah saja tunggu rumah!” Bu Intan alu masuk ke dalam rumah.

Berlima? Tanpa diriKu? Lalu siapa yang seorang lagi? Aku pun bertanya-tanya. Kira-kira siapa yang kan diajak oleh Ibu. Padahal tiket itu hanya empat, tapi Ibu rela beli satu lagi agar bisa mengajak seseorang itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
ini penulisnya yg tolol dan halunya berlebihan kayak orang g punya otak seperti si rara dungu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status