Kehidupan pernikahan Rara yang awalnya baik-baik saja, mulai goyah saat kedatangan Ibu mertua dan kedua Iparnya. Dani, Suami Rara yang seharusnya membela istrinya, malah justru menuruti semua perintah Ibunya, meskipun saat disuruh untuk menikah lagi dengan alasan belum memiliki keturunan setelah dua tahun pernikahan. Akankah Rara bertahan? Atau melepaskan suaminya?
view morePagi ini kegiatanku sehari-hari seperti Ibu rumah tangga pada umumnya. Membersihkan rumah, menyiapkan pakaian suami sebelum berangkat kerja dan memasak sarapan.
Mas Dani baru saja keluar dari kamar, dia sudah rapi memakai pakaian yang aku siapkan. Gantengnya suamiku! Tapi tentu saja hanya di dalam hati, takutnya dia geer kalau kuucapkan langsung.
“Dek, ada kabar buruk dan ada kabar baik. Kamu mau aku kasih tau yang mana dulu?” kata Mas Dani saat kita mulai duduk untuk sarapan.
Namaku Rara, menikah dengan Mas Dani dua tahun yang lalu, kehidupan rumah tangga kami bahagia, walaupun belum ada seorang anak. Mas Dani bekerja menjadi Manager Pemasaran di sebuah perusahaan periklanan, selama ini memberiku jatah lima juta sebulan. Untuk kebutuhan rumah tangga yang belum dikaruniai anak, uang segitu lebih dari cukup. Apalagi aku juga memiliki usaha catering walaupun tidak terlalu besar.
“Kabar buruk dulu aja deh, Mas,” ucapku setelah selesei makan.
“Oke, denger ya? Kabar buruknya adalah rumah Ibuku yang digadaikan Mbak Nia disita oleh Bank, mereka semua diusir dari rumah.” Mas Dani belum melanjutkan ucapannya.
“Dan kabar baiknya adalah mereka akan tinggal di sini, Dek.” Wajah Mas Dani kembali cerah.
Aku terdiam. Masih mencerna ucapannya. Menurutku dua-duanya adalah kabar buruk. Memang selama ini kami tinggal terpisah dari keluarga Mas Dani. Rumah ini hadiah pernikahan dari papa. Aku memang belum terlalu mengenal keluarga Mas Dani, karena kami tidak melalui proses pacaran. Aku hanya mengetahui kalau Mas Dani punya kakak perempuan yang sudah menikah dan adik laki-laki.
Bertemu mereka hanya sekali pas Akad nikah. Mereka tinggal di satu rumah milik Ibu mertua. Kalau rumah disita bank berarti mereka semua akan tinggal di sini?
Bukannya aku tak menyukai mereka, tetapi aku sudah nyaman hidup berdua dengannya di rumah ini. Tapi mau tak mau aku harus menuruti ucapan suamiku.
“Ya, nggak papa sih, Mas. Toh, mereka juga keluargaku. Memang kenapa sih, sampai menggadaikan rumah segala?” tanyaku penasaran.
“Buat biaya pernikahan Mbak Nia, Dek. Dulu dia ingin pernikahan mewah seperti teman-temannya, karena uang Ibu tidak cukup makanya Ibu menggadaikan sertifikat itu,” jelas Mas Dani.
“Memang suami Mbak Nia nggak kerja? Kok sampai disita? Berarti mereka nggak bisa bayar kan?” tanyaku sambil mengupaskan jeruk untuk pencuci mulut.
“Setauku dulu suami Mbak Nia jadi Mandor proyek gitu, Dek, tapi nggak tau kalau sekarang kan semenjak nikah kita langsung tinggal di sini.”
“Mereka berempat semua akan tinggal disini, Mas?” tanyaku lagi.
“Iya, Dek. Ya, gimana lagi? Untuk mengontrak juga sudah nggak ada uang. Nggak papa kan? Mereka baik kok, nanti kerjaanmu juga semakin berkurang karena ada yang membantu membersihkan rumah,” ujarnya.
Mungkin ucapan Mas Dani benar, aku pun mencoba untuk tak berpikiran buruk kepada keluarga Mas Dani.
“Baiklah, aku setuju kalau begitu. Kapan mereka datang? Aku mau siap-siap masak dulu buat mereka.” Akhirnya aku menyetujui usulan suami.
“Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang istri idaman.” Mas Dani tersenyum dan mengusap puncak kepalaku.
“Nanti siang mungkin mereka sampai, Dek. Kamu sambut mereka dulu, nanti Mas usahakan pulang cepat.”
“Loh? Kamu nggak jemput mereka, Mas?” tanyaku heran. Aku pikir Mas Dani yang menjemput mereka di bandara.
“Pagi ini ada meeting dengan petinggi perusahaan, Mas nggak bisa absen. Nanti kalau sudah selesai, baru Mas izin pulang. Mas berangkat ya, Dek!”
Mas Dani memelukku dan mencium keningku. Ia pun berangkat kerja.
Selesai sarapan segera kubersihkan meja makan dan berbelanja ke pasar. Aku segera memasaknya begitu sampai di rumah, untuk menyambut keluarga suami. Aku memasak rendang, udang, ikan dan berbagai makanan enak lainnya.
Sebelum Jam dua belas siang semua telah selesai di meja. Aku pun puas dengan hasil masakanku.
Ting Tong!
Bel depan rumah berbunyi, itu pasti keluarga Mas Dani. Aku membasuh sedikit mukaku agar tidak kelihatan kucel setelah memasak.
Ting tong! Ting tong! Ting tong! Ting tong!
Suara bel dipencet dengan cepat. Sepertinya tidak sabaran sekali mereka.
“Lama banget sih, Dan! Ibu sudah kepanasan ini” ucap Ibu mertuaku begitu aku membuka pintu.
“Ini Rara, Bu. Mas Dani masih kerja mungkin sebentar lagi pulang.” Aku mencium tangan Ibu dan mempersilahkan mereka masuk.
“Wah, rumah Mas Dani besar juga ya, Buk? Tau gitu dari dulu minta tinggal di sini.” Ucap Imron, adik Mas Dani setelah masuk ke dalam rumah. Netranya memindai isi rumahku.
“Iya, aku juga nggak tahu kalau Dani punya rumah semewah ini,” kali ini yang berbicara adalah Mbak Nia.
Yang aku heran mereka tidak menyapaku, apa aku dianggap patung?
“Mbak nya pembantu di sini ya? Malah diem aja, angkat nih koper kita ke dalam,” Imron menyerahkan beberapa koper padaku.
“Kamar kita sudah diberesihin kan? Aku mau tidur dulu aja, capek. Kamarku yang mana? Laki-laki di samping Mbak Nia yang berbicara.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah masuk ke dalam rumah dan ke lantai atas, mencari sendiri kamarnya.
Ibu dan Mbak Nia pun langsung berkeliling melihat isi rumah.
Aku hanya melongo, masih tak sadar apa yang terjadi. Jadi, mereka menganggap aku pembantu di sini? Apa mungkin karena aku hanya mengenakan daster rumahan? tanpa make up dan masih berkeringat karena baru selesei masak.
“Tapi aku ....” belum selesai aku meneruskan ucapanku terdengar ucapan salam dari depan pintu.
“Assalamualaikum,” itu suara Mas Dani.
Waalaikum salam.” Aku segera mengambil tas kerjanya dan menciumnya takzim.
Mendengar suara Mas dani, kedua lelaki tadi kembali ke depan rumah. Sekarang gantian mereka yang bengong melihatku mencium tangan dan memeluk Mas Dani.
“Imron! Bang Ken!” Mas Dani memeluk mereka berdua.
“Baru sampai apa sudah dari tadi? Oh iya, sudah kenalan belum? Ini istriku, Rara.” Mas Dani memperkenalkan aku kepada mereka.
“Hah? Aku kira tadi dia pembantu, Mas karena pakaiannya norak sekali.” Imron terang-terangan mengejekku. Padahal dia seorang pria tapi mulutnya lemes sekali. Jengkel aku dibuatnya, tak sopan kepada kakak iparnya.
“Norak? Enggak lah, emang daster kan emang nyaman dipakai di rumah. Iya kan, Sayang?” Mas Dani melihatku, aku hanya tersenyum. Untunglah Mas Dani membelaku, aku tak perlu menjawab.
“Ya udah, makan dulu yuk, semua uda siap kan, Dek?” tanya Mas Dani padaku.
“Sudah, Mas. Panggil Ibu dan Mbak Nia dulu tadi mereka sedang melihat-lihat rumah.
Kami berkumpul di meja makan, lalu makan bersama. Aku melihat semuanya menikmati masakanku.
“Maaf ya, Mbak. Tadi kukira pembantu, habis Mbak Rara pakaiannya seperti itu, sih!” Imron lalu tertawa. Aku tersenyum dengan terpaksa. Dia niat minta maaf apa enggak sih.
“Aku sudah kenyang, mau tidur dulu, kamarnya yang mana, Dan?” Bang Ken, suami Mbak Nia bertanya kepada Mas Dani.
“Di lantai dua mas, di sana ada dua kamar, untuk kamu dan Mbak Nia, satunya biar untuk Imron. Ibu tidur di bawah aja biar nggak capek naik turun tangga.” Mas Dani menjelaskan. Mereka masuk kamar tanpa membantu mencuci piring. Oke, mungkin mereka lelah setelah perjalanan.
Pagi hari setelah salat subuh aku mulai memasak sarapan. Mbak Nia dan Ibu juga belum bangun, bahkan hingga Mas Dani berangkat kerja mereka masih belum bangun! Aku melanjutkan dengan mencuci baju, memang untuk baju-baju yang tipis dan kemeja Mas Dani aku kucek sendiri tanpa menggunakan mesin cuci.
Bruk!
Tiba- tiba Mbak Nia memberikan setumpuk cucian kepadaku.
“Nih! cuciin sekalian baju kami ya, Ra. Aku masih capek,” kata Mbak Nia dengan santainya. Sungguh tidak sopan! Harusnya kalau minta tolong bisa dengan ucapan yang lebih baik. Bukan seakan menyuruh pembantu untuk mencuci bajunya.
Aku tak menjawab. Hanya memasukkan cucian mereka ke dalam air rendaman sabun dengan merengut.
“Sayang, aku lapar. Ada makanan nggak?” tanya Bang Ken tiba-tiba.
“Kamu sudah masak buat sarapan kita kan, Ra?” Mbak Nia malah tanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Ada, Mas. Yuk, kita sarapan dulu.” Ajaknya. Tanpa ba bi bu, mereka meninggalkanku yang masih dongkol.
“Mbak, minta cepek dong buat beli kuota!” Imron turun dari lantai dua lalu minta uang padaku. Pakaiannya pun sudah rapi
Belum sempat aku menjawab, terdengar suara Ibu berteriak dari kamarku.
“Ra ... baju warna putih ini buat Ibu, Ya. Bajunya bagus. Ibu suka!”
Aku bingung. Apa-apaan keluarga ini!!
“Kamu sedih?” Tanya Alex, suami Rara.Alex bertanya karena ia melihat istrinya terdiam begitu tiba di rumah setelah pulang dari tempat mantan suaminyaRara menggeleng, karena memang bukan itu yang dirasakan olehnya.“Bukan sedih sih, Mas. Tapi lebih ke kasihan aja dengan Bu Intan. Mas Dani dulu jadi satu-satunya tulang punggung keluarga, sekarang tak ada lagi. Entah bagaimana nasib Ibu kini.”Alex menghela napas.“Semua itu ada sebab ada akibat, Sayang. Apa yang dia tanam, itulah yang akan dia tuai. Dani dan keluarganya hanya menuai apa yang selama ini mereka tanam. Kamu tak perlu kasihan terhadap mereka. Kenapa? Karena mereka semua sehat dan sudah dewasa, mereka bisa menghidupi diri mereka sendiri dengan bekerja. Kecuali kalau setelah menikah Dani memiliki anak yang yang masih kecil-kecil, maka kita perlu membantu karena mereka menjadi anak yatim.” Jelas Alex panjang.“Emang sih, tapi tetep aja kasihan lihatnya. Tapi mungkin memang itu takdir yang harus mereka jalani. Semua pasti sud
“Bagaimana kondisi Lala?” Alex datang dengan wajah cemasnya.“Tulang di kakinya retak, lalu ada luka di kepala dan tangannya. Kata dokter tidak berbahaya, hanyalecet saja.”“Lalu kenapa sekarang belum sadar?” tanya Alex. Aku menggeleng, aku pun tak tahu kenapa sampaisekarang dia belum membuka matanya.Tumpah lagi tangisku melihat kondisi Lala. Aku mengambil ponselku dan mengabari kedua Kakek dan Nenek Lala. Sama denganku, mereka pun terkejut. Tak pernah kusangka ternyata sesakit ini rasanya melihat anak sakit.Alex memelukku. “Kita doakan saja semoga Lala cepat sadar.” Ucapan Alex kuamini dalam hati. “Mas, kamu pulanglah, ambil beberapa keperluan untuk menginap. Aku akan menunggu di sini.Mungkin sebentar lagi Papa dan Mama juga akan datang.”Alex mengangguk. Sebelum pergi dia mengecup puncak kepala Lala pelan.“Cepat sadar putri kecil Papa.”Kepergian Alex membuat ruangan ini sunyi. Hanya terdengar suara jarum detik jam yang terus bergerak. Waktu seakan berjalan lambat. Dalam hati
Pagi hari, kami bersiap mengantar anak-anak remaja itu berangkat naik gunung. Awalnya mereka ingin berangkat sendiri tapi suamiku tak mengizinkan, jadilah kami yang mengantarnya.“Disana harus jaga sikap, jangan buang Sampah sembarangan dan jangan lupa berdoa agar selamat sampai rumah.” Wejangan dari seorang Ayah yang menyayangi putrinya.Anak-anak remaja itu mengangguk.“Kalian yang laki-laki harus bisa bertanggung jawab kepada teman kalian yang perempuan.” Alexbicara dengan salah seorang teman Lala dengan menepuk kedua pundaknya.“Siap, Om!” jawab mereka kompak.Perjalanan sekitar tiga jam. Kami meninggalkan mereka, begitu sampai di basecamp.“Mereka sudah pergi. Jadi sepi ya, Sayang!” ucap Suamiku memasang wajah sedih.“Baru ditinggal bentar aja udah melow-melow apalagi kalau besok Lala menikah ya?!”“Kalau sampai ada laki-laki yang berani menyakiti putri kita, maka akan kupastikan kalau hidupnyaakan menderita.” Ucapan Alex membuatku bergidik ngeri.“Sudah doakan saja yang baik-b
“Happy Anniversary juga, Sayang.” “Lala juga mau peluk!” teriak putriku.Kami bertiga berpelukan bersama. Setelah itu, banyak uang mengucapkan selamat kepada kami. Tanpa aku sadari, ada beberapa wartawan yang diundang di pesta ini. Tentu saja, karena Papa adalah pebisnis terkenal, sedangkan suamiku juga pebisnis dan juga ganteng.Pesta berlangsung sangat meriah, banyak teman-teman memberikan kado untuk kami berdua. Bahkan tetangga sekitar kami di desa pun turut diundang. Entah kapan Alex mempersiapkan hal ini, aku sama sekali tidak mengetahuinya.Hingga sekitar pukul sepuluh malam, satu per satu tamu mulai meninggalkan tempat ini. Kini tinggallah keluarga inti saja.“Sayang, memang kapan kamu membeli kalung itu? Kenapa aku sama sekali tidak tahu?” tanyakusaat kami semua tinggal duduk santai.“Rahasia dong! Harusnya tadi kubawa serta, kelupaan. Awalnya aku minta tolong Mama untuk mengambilnya diam-diam dari kamar kita, tapi Untunglah kamu menemukan sendiri kalung itu jadi aku dan Mama
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments