“Iya, ini aku. Kenapa kamu kayak kaget gitu lihatnya? Tumben kamu jam segini masih tidur?Sarapan juga belum ada di meja, kita pulang lapar nggak ada makanan, kamu masak ya, Dek! Nanti aku mau kenalin seseorang buat kamu,” cerocos Mas Dani. Aku yang masih bangun tidur dan belum konek tiba-tiba tersadar mendengar ucapan terakhir dari Mas Dani. Ya, kalau mereka datang berarti perempuan itu juga datang. Kuatkanlah hatiku ya, Tuhan.Dan apa yang dia bilang tadi? Aku harus memasak dan melayani para benalu tak tahu diri itu? Aku tak sudi.“Aku lagi enggak enak badan, Mas. Habis subuh tadi minum obat, makanya aku tidur lagi,” aku sengaja berbohong. Aku memang sakit. Lebih tepatnya hatiku yang sakit. Lagipula malas rasanya masak untuk orang-orang pengkhianat seperti mereka.“Ya sudah, kita beli dulu saja. Tapi buat nanti siang kamu masak ya, Dek. Kalau beli terus bisa boros nanti,” kata Mas Dani sambil tersenyum. Cuih, aku tak akan bisa kami bodohi, Mas.Lakukan saja apa yang kamu mau, Mas!
Aku mengusap ujung mataku yang basah karena kebanyakan tertawa. Aku menatap Anggita dari atas sampai bawah. Sepatu high heelsnya dia tenteng begitu saja.“Kamu habis kecebur got dimana?” tanyaku masih menertawai penampilannya.Dia menaruh sepatunya dengan kasar. Hampir saja mengenai kakiku.“Mbak ini keterlaluan! Teganya padaku. Mana ada gurameh harganya dua puluh ribu. Mana aku nggak bawa Hape dan nggak bawa uang!” sungut Anggita.“Jadi kamu nggak dapat ikannya?”“Ya enggaklah!” sungutnya.“Kamu sendiri yang bod*h, sudah tahu gurameh harganya mahal, masih juga menerima uang dari Mas Dani tanpa minta tambah.Kamu nggak bawa dompet dan nggak bawa hape? Salah siapa? Bukannya penampilanmu seperti ini karena kebod*hanmu sendiri?!”“Arghh! Kamu menyebalkan, Mbak!”Anggita masuk ke dalam rumah dengan menghentakkan kakinya. Dia berjalan menuju kamar depan. Padahal kamar itu sudah ditempati Ibu. Tentu saja aku mencegahnya.“Eh, tunggu! Itu sudah ditempati sama Ibu. Kamar Yang di atas kamar Mb
“Siapa yang tidak berguna, hah? Aku atau kedua saudara tersayangmu itu?! Dari dua tahun yang lalu aku yang mengerjakan semuanya tanpa sedikit pun kakakmu mau bantu. Demi baktiku padamu. Tapi malah ini yang kudapat?Kamu tahu, Mas? Bahkan pakaian dalam kakak dan adikmu aku yang mencuci! Harusnya mereka malu! Mereka bukan bayi yang harus dicucikan setiap hari!Aku ini istrimu, bukan babu mereka! Lagian kamu tahu sendiri, Mas! Rumah ini milikku, Harusnya mereka tahu diri kalau hanya menumpang di sini. Tapi apa balasannya? Bukannya berterima kasih malah mau seenaknya. Tadi aku hanya bilang mulai sekarang silakan masak sendiri-sendiri. Sudah cukup aku menjadi babu di rumahku sendiri. Aku sudah muak!!” Terengah-engah aku mengeluarkan semua emosiku.“Dek ....” Mas Dani berusaha meredam emosiku.“Aku belum selesai, Mas. Aku tak tahu apa yang dilaporkan Mbak Nia kepadamu. Dan kamu? Seharusnya sebagai seorang suami dan adik, kamu bisa jadi penengah! Bukan malah membela kakakmu dan menyalahkank
Dengan sedikit perdebatan, Akhirnya mau tak mau Mas Dani keluar membeli obat untuk Anggita. Dia mengambil kunci mobil dengan tergesa-gesa, bahkan kakinya sampai terantuk meja karena berlari kecil di dalam rumah dan tak memperhatikan sekitar.Mas Dani menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu. Tak sampai satu jam ia sudah kembali dengan obat oles dan beberapa pil. Aku tak tahu bagaimana Mas Dani mendapatkan obat itu.Dia menuju dapur, mengambil segelas air putih untuk membantu istri mudanya minum obat. Dengan telaten dia memberikan obat itu kepada Anggita, sama sekali tak ada rasa cemburu. Sepertinya rasa cemburu kalah dengan rasa marah. Secepatnya aku ingin menendang mereka semua dari rumah ini. Namun aku harus bersabar sedikit lagi.“Dek, kenapa kamu suruh Anggita tidur di kamar pembantu? Kasihan kan? Kamarnya kecil begitu?” tanya Mas Dani sepulangnya dari kantor.Ya, setelah memberi obat itu, ia kembali ke kantor. Dan menjelang malam, dia baru pulang. Kami berbincang di ruang tengah.
Enak saja! Jangan harap kamu bisa seenaknya mengambil uangku, Mas!“Betul itu, Mas kemarin temanku ada yang nikah di hotel bintang tiga, katanya habis hampir lima ratus juta. Aku tak mau kalah, besok untuk resepsi kita sewa bintang lima ya, Mas.” Mata Anggita berbinar. “Bisa diatur, Sayang. Sekarang layani Mas dulu. Udah enggak tahan ini.”Mereka melanjutkan dengan hubungan suami istri. Terdengar Anggita mendesah. Aku merekam, tapi tak mau melihatnya. Tak kuhiraukan rasa sakit di hati. Aku harus terbiasa. Toh aku sudah melepaskan Mas Dani untuk wanita itu.Hingga satu jam lamanya, aku sama sekali tak bisa tidur. Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi seseorang. Aku segera mengubah tampilan layar ponselku, mencari kontak asistenku.(Halo, Bu Rara?) Ucap Lani.“Maaf, mengganggu malam-malam, tapi tolong besok kalau Bapak atau siapa pun anggota keluarga suamiku yang kalian kenal mau minta uang harus memakai tanda tanganku dulu sebelum mengeluarkan uang!” (Baik, Bu! Ada lagi?) tanyanya
Suara azan subuh mulai terdengar. Meskipun masih mengantuk karena tidur larut, aku segera beranjak untuk mengambil air wudhu. Kulakukan kewajiban pagi dua rakaat itu. Saat keluar kamar aku mendengar suara di dapur, aku melihat jam, masih jam lima pagi. Siapa yang sudah sibuk di dapur? Ibu dan Mbak Dian tidak mungkin jam segini sudah bangun Aku menengok ke arah Mas Dani. Dia masih tidur nyenyak.Oh, aku lupa kalau di rumah ini bertambah lagi orang yang numpang. Anggita berdiri di depan kompor menggunakan celemek milikku yang biasa kugunakan. Sepertinya dia memasak nasi goreng. Rupanya dia ingin menarik simpati Ibu dan Mas Dani dengan menyiapkan sarapan. Aku hanya mengawasinya dari pintu dapur, hingga akhirnya dia menyadari ada aku di sini.“EH, Mbak Rara sudah bangun, aku pinjam dapurnya ya, mau buat sarapan untuk kalian.” Anggita ramah mengajak bicara tapi buatku seperti dibuat-buat agar aku menerima kehadirannya. Meskipun aku bilang nasi goreng, tapi kenapa ada semua bumbu di atas
“Dek, kamu kan biasanya naik motor, kenapa mengambil kunci mobil?” tanya Mas Dani yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya, Nampak di belakangnya Anggita juga sudah rapi.“Lho? Anggita kerja juga? Kalau punya kerjaan ngapain numpang di sini? Mending cari kos atau Kontrakan saja, kan?!” Aku mengabaikan pertanyaan Mas Dani. Lantas Angggita salah tingkah.“kok malah gantian tanya, Dek? jawab dulu pertanyaanku!” tegurnya. “Aku bingung, Mas. Atas alasan apa dia tinggal di sini? Kalau dia anak lima tahun dititipin di sini aku tidak masalah. Butuh pengawasan dan bantuan tidak bisa mandiri. Lah ini? Dia wanita dewasa, bekerja, masih numpang juga di rumah orang? Hanya satu alasan, Mas. Dia punya maksud tersembunyi!” sindirku meliriknya. Tapi Anggita tak berucap sepatah katapun. Dari tadi Mas dani yang menjawab.“Sudah-sudah, malah jadi kemana-mana. Balik lagi, Dek. Mana kunci mobilnya?” tangan Mas Dani maju terarah kepadaku.“Mulai sekarang kamu yang bawa motornya, Mas. Mobil ini akan aku
Lani meneleponku untuk segera ke kantor. Maka, dari kantor Papa aku segera meluncur. Sampai di sana di sambut dengan pegawaiku yang Nampak panik.“Untunglah Ibu sudah datang, kami baru saja akan menghubungi Ibu.”“Memangnya ada apa?” tanyaku heran“Pak Dani marah-marah karena tak diberi uang, Bu. Sebaiknya Ibu lihat sendiri saja.” Dia mengajakku masuk ke ruang staff.Di sana aku melihat Mas Dani berkacak pinggang di depan Lani. Salah satu orang kepercayaanku di sini. Lani hanya bisa menunduk mendengar Mas Dani membentaknya “Ada apa ini? Kamu kenapa di sini, Mas? Bukannya ke kantor?” sarkas ku.“Eh, kamu di sini, Dek. Aku sedang tugas luar, lalu mampir ke sini untuk mengecek karyawanmu. Ternyata dia gak becus kerjanya. Makanya aku hendak memecatnya,” ucap Mas Dani tanpa dosa.“Nggak becus gimana, Mas? Selama ini justru Lani lah yang menjadi tangan kananku. Lagian apa yang ia lakukan sampai kamu merasa bisa memecatnya?” tantangku kepada Mas Dani. Aku marah! Tak terima dia seenaknya me