Share

Bab 7 Terkuak

Berulang kali kutanyakan kepada Ibu, tapi Ibu selalu berkelit. Begitu pun Mbak Nia. Mereka tetap tak mau mengaku.

Baiklah, aku sendiri yang akan mencari tahu nanti.

Tak lama kemudian, terdengar deru mesin mobil memasuki halaman. Ku hafal suara mesin itu. Mas Dani pulang.

Aku membukakan pintu. Mas dani mengulurkan tangannya untuk kucium. Hal yang biasa kulakukan selama ini.

“Dek, aku—“

Aku tahu Mas Dani langsung ingin menjelaskan masalah tadi, tapi ucapannya dipotong Ibunya

 “Dani, akhirnya kamu pulang ke sini juga. Ibu sudah menunggu. Lihat ini.” Ibu merongrong Mas Dani yang baru saja pulang kerja. Dia tak menjawab perkataan Ibu yang hendak menunjukkan tiket liburan itu.

Ia justru melirik melihatku yang bersedekap di depannya. Aku tahu ini di luar kebiasaanku. Biasanya saat pulang kerja aku akan menyambutnya dengan senyuman dan membawakan tas kerjanya, kopi pun sudah tersedia di meja. Namun sekarang, tatapan tajam yang kuberikan.

“Dek ....” Dani justru memanggilku

“Dani! Kamu ini, Ibu yang ngajak bicara kenapa malah kamu manggil istrimu!” teriak Ibu mertua.

Mas Dani menoleh, mungkin tak ingin membuat Ibunya murka.

“Ada apa, Bu?” tanya Mas Dani mengajak Ibunya duduk.

“Ibu dapat tiket liburan, ayo cepat siap-siap besok pagi kita berangkat, “ucap Ibu tak sabar.

“Tiket Liburan dari siapa, Bu?” tanya Mas Dani.

“Dari Rara, tumben ya, dia baik. Biasanya juga mukanya sinis terus sama Ibu.”

Dasar Ibu, dikasih tiket liburan bukannya berterima kasih malah mengolokku. Tapi demi rencanaku ini aku harus tahan. Aku pura-pura tak mendengar dan sibuk merapikan majalah dan buku yang berserakan di sana.

“Makasih, Sayang. Kamu tahu banget kalau kita butuh liburan.” Mas Dani menjadi semringah dan berusaha memelukku. Tapi aku menampiknya. Aku masih kesal dengannya.

“Rara nggak usah ikut, dia beli Cuma empat tiket,” ucap Ibu.

“Bener itu, Dek? Memangnya kamu dapat dari mana? Kok Cuma beli empat?” tanya Mas Dani heran.

“Dapat undian, Mas. Dari supermarket aku biasa beli. Aku tidak ikut karena pas tanggal itu aku ada pesanan katering dalam jumlah banyak. Jadi kalian saja yang pergi.”

Tentu saja itu semua bohong. Memang ada pesanan, tapi tak terlalu banyak. Masih bisa di handel oleh karyawanku

“Ada apa, Nih. Kok rame?” tanya adik Mas dani yang baru saja datang entah dari mana.

Karena tak ada yang menjawab, ia langsung merebut kertas yang dipegang Ibu.

“Wah, asyik nih liburan.” Imron menanggapi.

“Iya, dari kakak iparmu ini!” Mas dani merasa bangga sepertinya.

“Punya uang juga, toh. Kirain kismin. Hahahah” kelakar Imron membuatku jengah.

Bersenang-senanglah sebelum akhirnya menangis. Kalian pergilah, aku harus memasang banyak CCTV di rumah ini.

“Dan! Ayo cepat antar Ibu belanja. Masa mau pergi nggak beli baju baru.”

Ibu menyeret tangan Mas dani, tapi Mas Dani kelihatan enggan.

“Tapi, Bu. Aku baru saja pulang, aku harus bicara dulu dengan Rara.” Dani berusaha menolak tapi bukan Ibu namanya kalau terima begitu saja.

“Sudah nanti saja bicaranya kalau sudah malam, sekarang antar Ibu belanja, besok liburan, banyak yang harus Ibu beli.” Ucapnya.

“Nia ... Ken ... Cepet turun, kita mau pergi. Kalian mau ikut nggak?!” Ibu berteriak memanggil anak dan menantu kesayangannya. Suaranya menggelegar, aku sampai harus menutup telingaku. Jarak ruang tamu dan kamar atas lumayan jauh memang.

“Iya, Bu. Aku ikut, bentar aku ambil baju yang di setrika Rara dulu!” sahut Mbak Nia tak kalah nyaring.

Aku terkikik, sebentar lagi pasti akan ada teriakan, saat Mbak Nia melihat baju itu.

“Raraaa!!” Mbak Nia memanggilku dengan suaranya yang menggelegar.

Dengan penuh amarah, Mbak Nia turun dari tangga sambil membawa bajunya. Rara sengaja melubangi baju itu dengan setrika. Enak saja menyuruhku padahal dia sendiri menganggur. Rasain kamu Mbak! Aku nggak mau lagi meladeni kalian, keluarga tak tahu diri!

“Apa yang kamu lakukan dengan bajuku? Aku kan menyuruhmu menyetrika biar gak kusut bukan malah merusaknya.” Hardik mbak Nia.

Matanya melotot karena marah.

Tapi aku sama sekali tidak takut. Sudah cukup selama dua tahun ini ia menjadi pembantu di rumahnya sendiri.

Selama ini aku berpikir demi baktinya kepada suami, tapi ternyata justru Mas Dani sendiri yang berlaku curang. Maka jangan salahkan aku kalau melakukan hal yang sama. Bahkan lebih.

“Ups, maaf, Mbak. Aku sengaja.” aku tersenyum mengejek.

“Kau ... Dani ajari istrimu agar jadi istri penurut! Bukan seperti ini. Lihat nih, dia merusak bajuku, padahal mau kupakai malam ini.” Mbak Nia mengadu kepada Mas Dani.

Aku bergeming, memandang tajam Mas Dani. Apa dia berani memarahiku juga?

“Sudahlah, Mbak. Mungkin Rara capek. Cuma baju kan? Bajumu masih banyak, cari saja yang lain.” Mas Dani membela.

“Kenapa kau seperti ini sih? Lembek! Awas hati-hati Rara akan menindasmu kalau kamu lembek. Harusnya kamu marahi dia bukan malah membelanya!” Mbak Nia tak mau kalah.

“Sudah-sudah ayo kita berangkat sekarang. Nia, kamu cari baju yang lain saja.” Ibu menengahi lebih tepatnya tidak mau waktunya terbuang mendengar ocehan kedua anaknya.

“Ambil baju di lemarimu, Mbak. Bukan ditempatku, karena tak akan muat.”

Mbak Nia mendengus dan berlalu pergi.

“Dek, nanti setelah pulang mengantar belanja kita harus bicara,” ucap Mas Dani. Ibu sudah di mobil, menunggu Mbak Nia ganti baju.

“Aku akan jelaskan semuanya,” katanya lagi lalu masuk ke dalam kamar, mungkin akan mandi terlebih dulu.

Malas kujawab ucapan Mas dan memilih ke dapur membuat teh hangat untukku. Saat melewati ruang tengah, mataku melihat Imron sedang melongok ke kolong-kolong meja, membolak balikkan bantal di sofa. Sepertinya sedang mencari-cari sesuatu.

“Kamu ngapain?” aku yang penasaran mulai mendekat ke arah Imron.

“Hem ... Mbak nemuin sesuatu nggak di sini?” tanya Imron ragu-ragu

“Sesuatu apa? Aku tidak menemukan apa pun.” Aku mulai mengerti apa yang dia cari. Pasti bungkusan

Plastik putih itu. Ternyata Imron pemiliknya.

Dia mendesah kecewa. Sepertinya urung mencari lagi karena aku telah memergokinya.

“Ya sudahlah kalau begitu. “ Imron pun segera keluar menyusul Ibunya yang sudah berteriak memanggil namanya.

Mas Dani berpamitan saat hendak mengantar Ibunya. Mau tak mau Aku tetap salim demi menghormatinya.

Sepeninggal mereka, aku segera ke kamar mengambil ponselku dan menghubungi Alex agar segera memasang CCTV itu. Mereka janji akan datang esok hari. Setelah keluarga Mas Dani pergi.

Pagi hari, mereka sudah bangun. Sudah ada bungkusan berisi nasi kuning di masing-masing piring, Karena tahu aku tak memasak sarapan lagi untuk mereka.

Tentu saja tak ada jatah buatku, dan aku juga tak mengharapkan pemberian dari mereka. Aku masih bisa masak sendiri untuk sarapan.

Hanya Mas Dani yang berpamitan, yang lain melengos begitu saja. Bang Ken juga, untunglah sejak kejadian itu Bang Ken tak pernah berbuat macam-macam lagi. Mungkin kemarin karena pengaruh alkohol.

Bel pintu depan berbunyi. Aku yakin itu adalah Alex. Tak berapa lama Alex dan tim datang. Ia menunjukkan CCtV canggih, hanya sebesar baterai jam dinding tapi dengan kemampuan yang menakjubkan. Alex menjelaskan bahwa ini Dapat diakses secara online langsung terhubung dengan gawainya. Kamera pun dapat diputar melalui telepon genggamnya.

Puas dengan benda itu, aku menyuruh segera memasangnya di beberapa tempat, hampir seluruh rumah kupasangi.

Rumah sudah aman, kutinggalkan alex dan timnya memasang cctv, selanjutnya aku menuju kamar Ibu mertua.

Yang kutuju pertama adalah lemari. Saat membuka lemari, terlihat baju-baju bermerek. Ada juga beberapa bajunya yang diangkut ke lemari mertuanya. Biarlah, hanya baju. aku bisa membeli lagi. Lagipula malas rasanya kalau memakai barang yang sudah diambil secara diam-diam. Mekipun barang itu milikku sendiri. Yang jelas cukup tahu saja, ternyata sebanyak ini bajuku yang pindah ke lemari Ibu.

Di bawah sendiri terdapat laci. Aku membuka laci paling bawah. Ada sekotak perhiasan. Setelah kuamati perhiasan itu satu persatu, aku pun menyadari bahwa perhiasan itu adalah milikku yang sempat hilang beberapa kali.

Awalnya ku berpikir mungkin aku sendiri yang lupa menaruhnya. Namun ternyata tidak. Perhiasan itu pindah ke sini, yang artinya suaminyalah yang mengambil dan memberikan kepada Ibunya. Atau Ibu yang mengambil sendiri di kamarnya? Karena aku tak tahu, belum ada CCTV di rumah ini.

Aku mengambil kembali perhiasan yang hanya milikku, lainnya ku letakkan lagi. Kuperiksa kembali lemari Ibu. Kali ini di bawah tumpukan baju aku menemukan buku rekening atas nama ibu mertuanya. Terlihat setiap bulan ada transferan lima juta rupiah, ada juga beberapa juta setiap transfer. Entah nominal satu juta, dua juta rupiah. Aku total semuanya, ada yang lebih dari sepuluh juta sebulan.

Miris, rasanya. Gaji Mas dani yang besar, lebih banyak diberikan kepada Ibunya. aku hanya mendapatkan lima juta. Itu pun masih sering diminta Mas Dani dengan alasan uangnya habis. Belum lagi adik lelakinya yang nggak kerja itu. Sering meminta uang padaku dengan alasan membeli kuota.

Kuhidupkan fitur kamera dalam ponselku dan mengambil foto rekening tersebut. Cukup tahu saja, ternyata Mas Dani memang menyembunyikan banyak hal selama pernikahan kami.

Karena tak ada lagi yang perlu kucari, aku pergi ke kamar yang lain. Selanjutnya adalah kamar Mbak Nia. aku kaget melihat kamar yang sangat berantakan. Banyak tumpukan baju di kasur, di meja bahkan di lantai. Entah mana baju yang bersih dan kotor, tak ada bedanya. Aku pun tak mau kalau harus membereskan ini.

Kuletakkan saja baju-baju ini di pinggir kasur. Lemari juga menjadi sasaran sidak. Isi lemari pun tak kalah berantakan. Ia hanya melipat sekenanya untuk memudahkan pencarian. Akhirnya aku Menemukan barang-barang yang selama ini kupikir hilang, ternyata semuanya berpindah tangan ke lemari Mbak Nia.

Dasar kakak Ipar tangan panjang. Aku pun segera mengambil barang-barang milikku Dan mengembalikan lainnya ke tempat semula. Di sini juga aku menemukan beberapa perhiasan. Namun saat kutahu perhiasan itu bukan milikku, aku taruh begitu saja.

Di laci meja rias ia menemukan sebuah foto lama, tampak Mas Dani berfoto dengan seorang wanita dan Mbak Nia. Mungkin itu foto mantan pacar Mas Dani. Terlihat dari Mas Dani yang merangkul pinggang wanita itu. Kenapa Mbak Nia masih menyimpannya sampai sekarang? Walaupun terasa nyeri di dada, tapi ia mencoba mengabaikannya. Ia pun kembali mengambil gambar foto tersebut.

Kurasa sudah cukup. Lebih baik aku keluar sekarang. Kamar berikutnya adalah milik Imron. Awalnya ingin kuabaikan, tapi tak ada salahnya melihat kamar adik iparnya itu.

Pintunya terkunci, jadi aku harus mengambil kunci cadangan terlebih dulu. Aku berlari kecil mengambil kunci serep di kamar, lalu membuka pintu kamar Imron. Aroma rokok seketika menguar. Kamar ini tak kalah berantakan dengan kakaknya. Aku mencari-cari, lalu menemukan sebuah alat aneh di sana.

Sebuah botol air minum kemasan yang dilubangi tengahnya, seperti alat untuk menghisap. Meskipun aku tak begitu paham, tapi aku tahu apa itu. Aku pun mengambil dan menyimpannya. Besok akan kubuang saja. Kukunci lagi kamar itu karena tak ada hal lain yang kutemukan.

Baru saja keluar kamar, di depan sana sudah ada Alex yang membawa minuman untuk dirinya sendiri dan teman-temannya.

“Apa yang kamu temukan, Tuan Putri?” ucap Alex setelah meletakkan nampan itu di meja.

“Hentikan panggilan itu, kita sudah bukan anak kecil lagi, Alex,” Alex hanya terkekeh mendengarnya.

“Bagiku kamu akan selalu menjadi Tuan putriku.” Alex tersenyum.

“Kau ini selalu bercanda.” Tak kugubris gurauan dari Alex dan menepuk pundaknya pelan.

“Di bawah ada makanan, ajaklah teman-temanmu makan,” ucapku

“Siap! Selesai makan aku akan pulang. Kau hati-hati di rumah sendirian.” Alex turun dan melambaikan tangannya.

Beberapa saat setelah Alex pulang, rombongan Mas Dani tiba. Aku heran, padahal kemarin baru saja pergi belanja, pagi tadi keluar, belanja lagi. Benar-benar pemborosan.

Takut ketahuan memasang cctv, Aku pun segera ke kamar, pura-pura tidur. Tak lupa ia menyimpan kunci duplikat kamar mertua dan iparnya itu.

Pintu kamar dibuka, tanpa melihat pun aku yakin itu Mas Dani.

“Dek? Kamu tidurkah?” Panggil Mas Dani. Namun aku tetap diam, dan masih pura-pura tertidur. Tiba-tiba gawai Mas Dani berbunyi nyaring. Tanda ada panggilan masuk. Aku mengintip, Mas Dani berdiri membelakangi. Kupasang telingaku lebar-lebar, menajamkan pendengaran mencoba mendengar percakapan mereka.

“Aku tak bisa ke sana. Aku baru saja pulang, Rara bisa curiga kalau aku pergi lagi. Tolong bersabarlah besok aku akan jemput ke rumah, kan kita mau liburan bareng.”

Mas Dani diam, mungkin sedang mendengarkan orang di seberang telepon berbicara.

“Jangan! Baiklah aku akan datang, tapi tidak bisa menginap! Aku tutup dulu!”

“Oke. Love You too.”

Mataku membelalak begitu mendengar kalimat penutup itu. Seketika aku lupa kalau sedang berpura-pura tidur.

Mas Dani meneguk ludahnya. Kecerobohan dia adalah mengangkat telepon tepat di depanku. Mungkin dia merasa aman karena melihatku tertidur. Padahal hanya bersandiwara. Lucu sekali, Mas. Ekspresimu seperti maling ayam yang ketahuan warga. Pucat pasi!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
anak orang kaya tapi berhasil dibohongi krn ketololannya sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status