Share

Pesan Talak dari Suamiku
Pesan Talak dari Suamiku
Penulis: Pena_yuni

Bab 1

[Aletta Azzahra aku ceraikan dirimu dan aku bebaskan kamu dari pernikahan ini. Mulai saat ini, kau bukan lagi istriku dan gugur sudah tanggung jawabku terhadapmu.]

Aku memegangi dadaku saat membaca satu buah pesan yang dikirim suamiku. Kontak dengan nama ‘My Love’ itu, terakhir aktif sepuluh menit yang lalu.

Aku menghubungi suamiku lewat sambungan telepon. Namun, sayang nomornya sudah tidak aktif. Beberapa kali aku mengulangi panggilan, tapi hanya suara operator yang menjawab.

“Mama, kok malah main hape, sih? Rambut Thalita, ‘kan belum selesai diikat. Emh ... Mama kebiasaan deh, suka main hape terus.” Anakku bersedekap dada dengan bibir mengerucut.

Pagi ini, Thalita putriku memang memintaku untuk mengikat rambutnya dengan ikat dua di atas. Baru selesai sebelah, bunyi ponsel mengalihkan konsentrasiku. Apalagi setelah membaca pesan yang masuk, hatiku jadi tak enak dan ingin cepat menghubungi Mas Mirza.

Setelah menyelesaikan ikatan rambut Thalita, aku kembali mengambil ponsel dan mencoba menghubungi suamiku lagi.

“Thalita, anak Mama yang cantik, sekarang Thalita sarapan duluan sama Bibi, ya? Mama harus menelepon seseorang dulu,” kataku pada putriku.

“Mama mau telpon siapa, Papa?” tanya putriku.

Sesak dada ini melihat ekspresi wajah Thalita yang langsung berbinar bahagia. 

“Iya, siapa tahu sekarang sudah ada sinyal.”

“Yeee! Nanti, kalau sudah tersambung sama Papa, bilangin ya, kalau Thalita, kangeeeen banget sama Papa. Oke, Ma?” ucapnya antusias.

“Iya, Sayang. Sekarang Thalita sarapan dulu, ya?” kataku lagi.

Akhirnya Thalita menurut dan pergi ke ruang makan. Setelah Thalita keluar, aku terus menghubungi nomor suamiku. Namun, hasilnya tetap sama. Tidak ada jawaban, dan nomornya kembali tidak aktif.

Sebulan yang lalu, Mas Mirza ijin untuk pergi ke luar kota. Katanya kantor cabang membutuhkan dia di sana. Tanpa curiga dan banyak bertanya, aku pun mengiyakan. Karena ini bukan yang pertama juga dia pergi untuk urusan pekerjaan. 

"Ini tidak mungkin," lirihku seraya menatap ponsel.

Kejanggalan memang sudah aku rasakan sejak satu minggu dia di sana. Mas Mirza jadi jarang menghubungiku. Mas Mirza bilang, di tempatnya tinggal kini sangat susah signal. Jangankan untuk bervideo call, untuk sekedar sambungan telepon tanpa internet pun, sangat sulit.

Jika bertukar kabar, dia hanya berpesan agar aku selalu menjaga kesehatanku dan menjaga Thalita buah hatiku.

Kembali aku membaca pesan yang dia kirim. Sama, tidak berubah satu kata pun. Seperti ada belati yang menancap hati, perih dan sangat sakit. Air mata yang sedari tadi menggenang, kini tumpah dan mengalir deras membasahi pipiku.

“Benarkah kamu yang menulis ini, Mas?” lirihku dengan tetap melihat pesan yang Mas Mirza kirim.

Apa yang membuat Mas Mirza menalakku tanpa alasan? Itulah yang ingin aku tahu. Setahuku, aku tidak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat dirinya sakit hati atau kecewa.

Aku mengingat kembali kejadian-kejadian sebelum keberangkatannya. Kami masih sangat mesra dan saling melempar canda. Tidak ada tanda kalau dia pergi dengan membawa amarah atau luka dariku.

[Mas, kenapa kamu menalakku? Apa alasan kamu menceraikanku, Mas?]

[Mas, hanya bercanda, kan?]

[Tapi, aku sedang tidak ulang tahun. Anniversary kita juga masih tiga bulan lagi, Mas.]

Aku mengirimkan beberapa pesan melalui W******p ke nomor Mas Mirza. Seperti biasa, tidak ada balasan. Jangankan dibaca, pesannya pun hanya centang satu.

[Mas, Leta sangat merindukan, Mas. Satu bulan loh, kita tidak jumpa, masa Mas mengerjaiku dengan menalakku. Tega, deh.]

[Jangan main-main sama talak, Mas. Aletta takut, nanti kalau beneran gimana?]

Tanganku lihai mengetik pesan yang langsung aku kirim pada suamiku. 

[Nanti, kalau sudah ada sinyal, hubungi Leta ya, Mas. Thalita juga sangat merindukan Papanya.]

[Oh ... aku tahu, Mas pasti sudah jalan pulang, ya? Mas ngerjain aku nih, nanti taunya meluk aja dari belakang seperti waktu dulu. Iya, 'kan?]

Lagi, aku kirimkan rentetan pesan kepada suamiku, berharap ada satu saja pesan balasan dari Mas Mirza untukku.

Aku tidak boleh panik. Aku harus berpikir positif, tidak boleh suudzon pada suami. Meskipun hatiku sudah tidak baik-baik saja.

Aku keluar dari kamar. Pergi ke dapur dan menemani putriku yang sedang sarapan.

“Mama, gimana ada telpon dari Papa?” Putriku yang berusia lima tahun itu langsung menanyakan Papanya. Hampir saja air mataku kembali keluar, tapi aku tahan dengan sekuat tenaga.

Aku harus tetap berpikir positif, tidak ada apa-apa antara aku dan Mas Mirza. Dia hanya mengerjaiku.

“Belum, Sayang. Sepertinya masih tidak ada sinyal di sana. Doakan Papa, ya ... supaya selalu sehat dan Allah selalu jagain Papa,” ujarku mengelus kepala putriku.

Hatiku kembali berdenyut, sesak kini kurasakan. Tapi, aku selalu meyakinkan hati ini bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah selesai sarapan, aku berinisiatif untuk memasak beberapa makanan kesukaan Mas Mirza. Karena aku yakin, kalau saat ini dia sedang dalam perjalanan pulang. Namun, dia merahasiakan kepulangannya.

“Wah, Ibu mau masak banyak, kok itu isi kulkas dikeluarin semua begitu?” ujar Niar ART-ku.

“Iya, Ni. Aku mau masakin makanan kesukaannya Mas Mirza, sebentar lagi dia pulang. Kamu bantuin potong-potong sayur sama daging, ya?”

“Siap, Bu.” Niar bergegas mengambil beberapa sayur untuk dipotong.

*

Setelah hampir dua jam aku berkutat di dapur dengan peralatan masak, akhirnya semua makanan kesukaan suamiku telah terhidang di meja makan. Biasanya, Mas Mirza akan sampai pukul satu siang, itu artinya masih ada waktu untukku mempercantik diri menyambut kedatangan Mas Mirza.

Aku gegas pergi ke kamar untuk mandi dan bersolek. Tidak lupa aku membuka kembali ponsel, berharap Mas Mirza akan mengirim balasan pesan padaku.

“Tidak, ada.” Aku mendengkus, kembali aku masuk ke kamar mandi. 

Dalam guyuran air shower, ingatanku kembali pada pesan yang masuk ke ponselku. Sesak kembali terasa, tapi aku segera menepisnya. Yakin, kalau itu bukan pesan dari Mas Mirza.

Setelah selesai, aku mengenakan pakaian terbaikku. Kupoles wajah ini dengan makeup natural andalan. Biasanya Mas Mirza langsung memujiku jika aku berdandan seperti ini.

“Aduuh ... istrinya siapa ini cantik sekali? Jadi tambah jatuh cinta terus, sama Mamanya Thalita.” Itu pujian yang selalu aku dengar dari bibir suamiku.

Setelah selesai, aku kembali ke bawah. Duduk di kursi meja makan dan menunggu datangnya pujaan hati.

Thalita sengaja aku suruh bermain di taman kompleks bersama Niar. Aku sangat merindukan suamiku, aku ingin menyambutnya dengan sepenuh hati. Ini adalah kepergian terlamanya. Biasanya hanya tiga hari atau satu minggu dia berada di luar kota. Sekarang sudah satu bulan, jelaslah aku sangat menunggu kepulangannya.

Sekarang sudah pukul dua, tanda-tanda mobil masuk ke garasi pun tidak ada. Ponsel yang sedari aku letakan di dekatku, tidak berbunyi satu kali pun. 

"Mas Mirza sudah di mana?" kataku seraya megetuk-ketukan jari pada meja.

Makanan yang aku masak mulai dingin. Hatiku semakin gusar. Bayangan sebuah perpisahan menari indah di pelupuk mata. Secepat mungkin aku mengusir bayangan itu.

Aku menundukkan kepala, menempelkan kening pada tangan yang aku lipat di atas meja. Aku mendongak saat pundakku diusap lembut.

“Mas Mirza!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Irmawati Irma
kaget bacanya
goodnovel comment avatar
Athour Rohman
oke bagus banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status