Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Dion. Tentang pesan terakhir yang dikirim Mas Mirza padaku.
“Aku harus apa, Dion. Aku harus apa?” Aku tertunduk, kedua tanganku kugunakan untuk menyangga kepalaku yang pusing dan sakit.
“Aku gak tau, Al. Apa kamu sudah bertanya pada keluarganya?” tanya Dion.
“Sudah, Mama tidak bilang di mana Mas Mirza berada, dia hanya mengiyakan dugaanku tentang Mas Mirza yang berselingkuh.”
Sebenarnya aku enggan menceritakan masalah pribadiku pada siapa pun, tapi aku tidak kuat jika harus memendamnya sendiri. Aku rapuh, aku tidak sekuat wanita di luar sana yang dengan mudah merubah cinta jadi benci. Apalagi sampai membalas perbuatan suaminya.
Bagaimana aku bisa membalas sakit hatiku, aku saja tidak tahu keberadaan Mas Mirza. Apa aku harus ke kantor cabang untuk menemui Mas Mirza di sana? Sepertinya bukan ide yang buruk. Tapi, Thalita. Tidak mungkin aku akan meninggalkan putriku. Hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya.
"Aku tidak percaya jika Mirza pergi dengan wanita lain," tutur Dion dengan pandangan lurus ke depan.
"Aku pun tidak ingin percaya, tapi ... inilah kenyataannya, Yon. Aku tidak tahu harus bahagia sekarang," kataku seraya menelungkupkan wajah pada tangan yang dilipat di atas meja.
Setelah berbincang dengan Dion, aku keluar dari ruangan Mas Mirza. Tatapan heran terlihat dari semua orang yang aku lewati. Mungkin mereka kira ada yang tidak beres antara aku dan Dion.
Aku keluar dari ruangan suamiku dengan mata sembab dan wajah yang memerah karena menangis. Mas Mirza memang sangat keterlaluan, dia membohongiku hampir satu tahun ini. Setelah masuk ke dalam mobil, aku tidak langsung menghidupkan mesin.
Aku berdiam diri dengan menyandarkan punggung. Mengadahkan kepala ke atas menghirup udara yang akhir-akhir ini semakin kurang kurasakan. Pembicaraanku dengan Dion membuka satu persatu kebohongan yang dilakukan Mas Mirza.
“Mas Mirza ijin padaku untuk ke luar kota, dia bilang kantor cabang membutuhkannya di sana. Benar begitu, Dion?” tanyaku tadi.
“Sebentar, akan aku ambilkan beberapa berkas yang mencatat kegiatan apa saja dan pergi ke mana saja suamimu akhir-akhir ini.” Dion pergi sebentar, lalu kembali dengan beberapa kertas di tangannya.
“Menurut catatan di sini, Mirza tidak ada kunjungan kerja ke mana pun selama setahun ini. Dia juga tidak pernah datang ke kantor cabang. Karena memang, di sana juga semuanya sudah stabil dengan staf yang cukup kuat untuk menjaga kesetabilan dan kemajuan perusahaan.”
Keningku berkerut mendengarkan penjelasan dari Dion yang mengatakan jika Mas Mirza tidak pernah pergi ke luar kota. Lalu, ke mana dia jika bukan untuk bekerja?
“Jadi, Mas Mirza tidak pernah ke kantor cabang selama setahun ini?” tanyaku memastikan.
“Iya, tidak ada. Mirza memang setiap bulannya suka tidak masuk, kadang hanya dua hari, atau satu minggu. Aku kira, itu karena ada masalah keluarga atau hanya sekedar ingin berlibur. Secara, dia seorang direktur utama dan suami dari pemilik perusahaan. Menurutku itu tidak masalah. Aku tidak menyangka kalau kedudukannya malah dia salahgunakan.”
Kata-kata Dion tadi masih begitu sangat jelas di telingaku. Tidak ada kunjungan kerja, tapi selalu libur setiap bulan. Ke mana sebenarnya Mas Mirza pergi? Di rumah tak ada, di tempat kerja pun dia tidak ada.
Jahat sekali Mas Mirza. Dia berhasil telah menghancurkanku. Selama satu tahun dia membodohiku dan bersandiwara seolah tidak ada masalah dalam rumah tangga kami. Nyatanya, dia menusukku. Membunuhku perlahan dengan bayangannya.
“Aarrggh!” Aku memukul setir mobil berkali-kali. Menumpahkan kekesalanku terhadap mantan suami.
Dering ponsel menghentikan aksiku. Aku mengambil dan mengangkat panggilan.
“Halo, Aletta. Kamu di mana? Cepat pulang Kakak sudah di rumahmu!”
Rupanya Kak Rasyid, kakak kandungku yang menelpon. Aku pun mengiyakan kalau aku akan pulang sekarang. Sepertinya ada yang penting, hingga kakakku datang jauh-jauh ke rumahku.
Setelah sampai, ternyata benar saja sudah ada mobil Kak Rasyid yang terparkir di halaman rumah. Aku turun dan masuk menemui keluargaku satu-satunya itu.
“Kak, sudah lama?” Aku mencium takzim tangan kakakku. Berbasa-basi dengan menanyakan kabar mereka.
Rupanya Kak Rasyid tidak datang sendiri, melainkan dengan anak dan istrinya. Aku senang, karena bisa bertemu dengan Kak Melati dan Naima anak mereka.
“Al, kedatangan Kakak ke sini bukan tanpa alasan. Kakak dapat kabar yang amat sangat mengejutkan. Kakak dan Kak Mel, sampai tidak bisa tidur karena memikirkan ini.” Kak Rasyid mulai bicara pada inti alasannya berkunjung ke rumahku.
Aku tahu, Kak Rasyid bukan orang yang tidak punya pekerjaan. Dia juga mengurus perusahaan yang diwariskan Papa padanya. Kesehariannya sangat sibuk, dan susah untuk sekedar berlibur.
“Masalah apa yang membuat Kakak, sampai harus memikirkannya, terlebih sampai datang menemuiku ke mari?” tanyaku, kakakku dan istrinya saling pandang lalu Kak Rasyid kembali membuka suara.
“Masalah apa? Bukankah kamu yang punya masalah, Al?” Kini Kak Melati ikut bertanya.
Mungkinkah yang mereka maksud tentang perceraianku dengan Mas Mirza. Tapi, aku tidak pernah menceritakan tentang itu pada mereka. Terlebih, aku masih belum bisa menghubungi Mas Mirza untuk mengkonfirmasi tentang nasib pernikahanku ini.
“Aletta? Ah, tidak, Kak. Aku tidak punya masalah apa-apa,” kataku berbohong.
“Lalu, apa dengan semua ini, Letta?” Kak Rasyid menyerahkan ponselnya padaku.
Mataku terbelalak membaca tulisan yang ada dalam ponsel Kak Rasyid.
“Ceritakan semuanya pada Kakak. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Apa maksud Mirza memulangkanmu pada Kakak. Kalian punya masalah apa hingga harus berakhir dengan penceraian?”
Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ternyata, Mas Mirza bukan hanya mengirim pesan talak padaku. Rupanya dia juga telah mengembalikanku kepada kakakku.
[Kak, mulai hari ini saya kembalikan Aletta kepada Kakak selaku wali dari Aletta. Saya sudah bukan lagi suaminya dan saya kembalikan tanggung jawab saya pada Kakak kembali. Maafkan saya, Kak. Saya tidak bisa menjaga amanah dari almarhum Papa untuk selalu menjaga Aletta. Saya juga mengingkari janji yang dulu saya ucapkan sebelum melakukan akad.]
[Apa pun alasan saya, yang jelas tidak akan merubah kenyataan bahwa saya bukan lagi suami dari adiknya Kak Rasyid. Maaf, saya tidak bicara langsung dan malah bicara melalui pesan. Saya tidak mempunyai keberanian untuk bertemu dan megucapkannya langsung. Sekali lagi, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.]
Seperti itulah bunyi dua pesan yang dikirim Mas Mirza pada kakakku. Waktu dia mengirim pesan pun, hanya selisih dua puluh menit sebelum dia mengirimkan pesan talak padaku.
Aku tidak bisa mengelak lagi. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya air mata yang kembali mewakili hati. Kak Melati berpindah duduk menjadi di sampingku. Mengusap pundakku yang bergetar karena menangis.
Nyatanya, sakitnya di campakkan jelas terasa sangat begitu pedih. Beruntung sekali wanita di luaran sana yang mampu menahan sakitnya dikhianati. Sedangkan aku, aku terlalu lemah untuk menerima semua ini.
“Menangislah, jika itu bisa membuat hatimu lega. Tapi, setelah itu bangkit dan berjalanlah lagi, tanpa harus kembali melihat ke belakang,” ujar Kak Rasyid.
Akhirnya dengan terbata, aku pun menceritakan semuanya tentang masalahku. Aku juga menceritakan tentang kebohongan Mas Mirza selama ini. Dia yang selalu ijin kerja ke luar kota, tapi nyatanya malah main gila dengan wanita lain.
Semuanya aku beberkan pada kakak dan kakak iparku. Kak Rasyid begitu sangat geram saat aku mengatakan bahwa adik ipar kebanggannya telah bermain api di belakangku, hingga akhirnya lebih memilih wanita lain dan mencampakkanku beserta Thalita.
“Sabar, Al. Mungkin akan ada kebahagiaan besar yang menanti di depanmu,” Kak melati mengusap kepalaku lembut. Wanita yang selalu tampil anggun dengan hijab lebarnya itu, selalu berkata dengan penuh kelembutan.
“Kurang ajar! Di mana lelaki pecundang itu sekarang berada? Akan aku patahkan kakinya, beraninya dia menduakan adikku!” Kak Rasyid berucap dengan penuh amarah.
“Sabar, Kak. Jangan terbawa emosi. Amarah tidak akan menyelesaikan masalah kita,” ucap Kak Melati pada suaminya.
Kak Rasyid mengusap wajahnya kasar seraya beristighfar.
“Siapa wanita yang kamu curigai sebagai simpanan si Mirza?” Kembali Kak Rasyid bertanya.
“Emh, mungkin Cantika, sekertaris lama Mas Mirza.”
“Cantika?”
“Cantika?”
Keduanya begitu kaget saat aku menyebut nama itu.
Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b
“Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid
Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju
Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari
“Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki
Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay