Share

Bab 2

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2022-07-20 21:36:41

Namun, ternyata dia bukan suamiku.

“Bu, sebaiknya Ibu pindah tidur di kamar, di sini udara semakin dingin.” Niar mengelus kembali pundakku.

“Pukul berapa ini, Ni?”

“Sudah jam sembilan malam, Bu.”

Aku terhenyak dan mengumpulkan ingatanku. Tadi aku sedang menunggu suamiku dan aku malah ketiduran di sini?

“Apa, Mas Mirza sudah pulang saat aku tidur, Ni?” tanyaku pada wanita muda itu. 

Niar menggeleng, itu artinya tidak ada Mas Mirza di rumah ini. Aku melihat kembali ponsel yang tergeletak di sampingku, tidak ada pesan atau panggilan dari Mas Mirza.

“Thalita sudah tidur?”

“Sudah, Bu.”

“Sudah makan?”

“Sudah, Bu. Apa Makanan ini perlu saya hangatkan kembali, Bu?” Niar menunjuk hidangan yang masih utuh di atas meja. Hanya berkurang sedikit, mungkin Niar yang mengambil waktu memberi Thalita makan.

Hatiku kembali seperti disayat pisau. Perih dan pedih merajai sanubari. Aku menggigit bibir, meredam sakit saat kembali mengingat pesan terakhir suamiku.

“Terserah, mau kamu apakan makanan itu,” ucapku sendu.

Aku berdiri dan pergi ke kamarku. Membanting tubuhku ke atas ranjang besar tempat ternyamanku jika bersama Mas Mirza. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan amarah lewat air mata.

Jadi pesan yang tadi pagi dia kirim untukku memang nyata dari Mas Mirza? Dia tidak sedang mengerjaiku dan bukan memberi kejutan padaku. Apa yang membuat Mas Mirza dengan berani menceraikanku? Mungkinkah di luar sana Mas Mirza memiliki wanita lain, dan aku tersisih oleh wanita yang baru?

“Tidak, ini tidak mungkin, TIDAK!!”

Aku menjambak rambutku frustrasi. Kembali aku mencoba menghubungi nomor Mas Mirza. Namun, hasilnya tetap sama. Hanya operator yang selalu menjawab panggilanku.

*

Pagi ini aku bangun dengan keadaan yang memprihatinkan. Mataku membengkak dan menghitam karena terlalu banyak menangis. Kepalaku berat dan sedikit sakit. Hal pertama yang aku lakukan, mengecek ponsel untuk melihat mungkin ada satu pesan dari suamiku. Masih sama, tidak ada pesan maupun panggilan darinya.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini, aku akan pergi ke rumah Mama mertua, untuk menanyakan putra pertamanya.

Setelah beberapa saat bersiap, aku turun ke bawah mencari Niar yang mungkin sedang di dapur. Benar, wanita muda itu masih berkutat dengan alat masak. Niar menghangatkan makanan yang kemarin aku masak.

“Ni, saya akan pergi ke rumah Mama. Titip Thalita, ya. Jangan bilang aku pergi ke rumah Oma-nya, dia akan ngambek jika aku pergi tanpa mengajaknya.”

“Iya, Bu. Apa sebaiknya Ibu sarapan dulu?” tawar Niar.

“Tidak usah, Ni. Saya harus buru-buru, takut Thalita keburu bangun.”

Setelah berucap demikian, aku berlalu dari hadapan Niar. Hari masih terlalu pagi untuk berkunjung. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain menemui Mama untuk mendapatkan penjelasan dari pesan yang dikirim Mas Mirza.

Aku menghela napas panjang saat tubuh ini duduk di belakang kemudi. Menyalakan mobil dan langsung melesat membelah jalan di pagi hari.

Tiga puluh menit berlalu, kini mobilku sudah terparkir di halaman rumah bernuansa pedesaan. Tumbuhan hias dan bunga menjadi pelengkap keasrian rumah yang sudah tua dimakan usia. Namun, tidak sedikit pun mengurangi keindahan dari tempat dilahirkannya suamiku.

“Eh, Non Aletta, silahkan masuk?” Bibi yang bekerja untuk Mama membukakan pintu dan menyuruhku masuk.

“Mama ada, Bi?”

“Ada, Non. Sedang sarapan. Silahkan duduk, biar saya panggilkan dulu,” ucap Bibi.

Aku menggelengkan kepala. Aku bukan tamu di rumah ini, melainkan menantu yang bisa masuk kapan saja. 

“Gak papa, Bi. Biar saya temui Mama saja di ruang makan,” kataku dengan terus melangkah masuk.

“Tapi, Non ....”

“Kenapa?” tanyaku heran. Tidak biasanya si Bibi bersikap begini.

Biasanya aku selalu masuk dan menemui Mama di mana saja. Dia juga tahu itu. Tapi, sekarang dia aneh dan menunjukkan kekhawatiran di wajahnya. Ah, mungkin hanya perasaanku saja.

“Aletta!” Mama memanggilku dari ambang pintu ruang makan. “Ada apa, Sayang pagi-pagi sudah ke sini. Apa Thalita sakit, mana cucu Mama?” tanyanya lagi penuh dengan kelembutan. 

Melihat Mama, aku semakin merindukan sosok putra pertamanya. Mas Mirza mewarisi kelembutan dan rasa penuh kasih dari Mamanya ini.

Mama berjalan dari tempatnya berdiri, lalu menggiringku untuk duduk di sofa ruang tengah.

“Thalita tidak ikut, Ma. Ada yang ingin Letta tanyakan pada Mama.”

“Apa?”

“Ini tentang Mas Mirza, Ma. Apa dia ada menghubungi, Mama?” Aku menatap lekat mata indah wanita yang telah melahirkan suamiku.

Bibirku tertarik ke atas saat Mama menganggukkan kepala.

“Kapan, Ma? Apa yang dia katakan sama Mama?” tanyaku antusias.

“Hanya menanyakan tentang kesehatan Mama, Papa juga adiknya. Tidak ada yang terlalu serius dengan percakapan kami.”

Hatiku lega mendengar suamiku ada menghubungi keluarganya. Setidaknya, mungkin mereka akan bisa menjawab kegundahan hatiku.

“Kapan?” Lagi aku bertanya.

Mama seperti mengingat-ngingat lalu berkata, “Tadi malam.”

Deg!

Tadi malam Mas Mirza ada menghubungi Mama, tapi dia tidak menghubungiku yang selalu menunggunya untuk menjelaskan maksud dari kata talak yang dikirim padaku.

Itu artinya, Mas Mirza memang sengaja mendiamkanku setelah mengirim pesan singkat itu. Itu artinya juga, dia benar-benar menceraikanku?

“Kenapa, Letta?” tanya Mama melihat kebisuanku.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Membuka pesan Mas Mirza dan memperlihatkannya pada Mama.

“Dia menceraikanku lewat pesan, Ma.” Aku berkata dengan menahan tangis. Tidak, jangan menangis di sini, mungkin saja itu bukan dari Mas Mirza. Tapi, dari orang yang iseng.

“Jadi ... Mirza sudah mengatakannya?” Pertanyaan Mama bagaikan bongkahan batu yang mengimpit dadaku.

“Ma-maksud, Mama ... jadi benar, Mas Mirza menceraikanku, begitu?”

Mama menggenggam tanganku, matanya menatapku sendu.

“Maafkan, Mirza, Aletta. Mungkin ini yang terbaik buat kalian.”

“Maksud Mama apa, bicara seperti itu? Tidak mungkin Mas Mirza menceraikanku, kita tidak punya masalah, Ma. Kita baik-baik saja,” sergahku.

Mama hanya menatapku iba. Aku mencekal lengan Mama yang hendak pergi meninggalkanku.

“Ma, jangan pergi. Jelaskan dulu kenapa Mas Mirza menceraikanku. Apa dia juga cerita ke Mama untuk bercerai dariku?”

“Iya, Aletta iya. Dia bilang akan menceraikanmu, dan sekarang kamu sudah bukan istri dari putraku lagi. Puas kamu?!” Mama menghempaskan tanganku yang mencekalnya.

Mama pergi meninggalkanku dengan sejuta tanya. Aku berusaha mengejarnya, aku butuh penjelasan kenapa Mas Mirza tega menceraikanku, sedangkan kita tidak punya masalah apa pun.

“Ma, tunggu! Aletta belum selesai, kenapa Mas Mirza menceraikanku, Ma? Setidaknya, beri satu alasan kenapa dia meninggalkan aku dan Thalita!” ujarku lagi memohon.

Mama tidak menggubris teriakanku. Dia berjalan setengah berlari menaiki anak tangga satu persatu.

“Ma, tolong jawab!” Aku tidak bisa membendung air mataku. Kini aku sudah menangis dengan terus memanggil Mama mertuaku.

“Ma ...!”

Setelah di ujung tangga paling atas, Mama berbalik dan melihatku yang berdiri penuh harap.

“Apakah Mas Mirza meninggalkanku karena wanita lain, dia memiliki—“

Tenggorokanku tercekat, tidak bisa aku selesaikan kata-kataku saat Mama menganggukkan kepala. Sebilah pisau kembali menggores luka hati yang masih basah. Lalu Mama berjalan dan hilang di balik pintu kamarnya.

Brukk!

Aku menjatuhkan bobot tubuhku ke lantai. Aku tertunduk bersimpuh. Air mataku kian deras berjatuhan ke pangkuan. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis sesegukkan melepaskan kesakitan. Tapi, sayangnya semakin aku menangis, semakin sakit pula aku rasakan.

“Bangunlah, Letta. Tidak ada gunanya kamu menangis.”

Aku melihat ke samping, pada orang yang berdiri tidak jauh dariku. Dia ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isabella
baca lagi mewek lagi
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mampir thoorr
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesan Talak dari Suamiku   Extra part 2

    Setelah melewati drama yang panjang, kita pun berangkat ke acara yang sangat penting bagi kita. Ya, hari ini adalah peresmian dibukanya, rumah sakit yang Reza bangun dari nol. Berawal dari sebuah klinik, kini Reza bisa mewujudkan impiannya. Memiliki dan membangun rumah sakit atas nama dirinya sendiri.Tujuh tahun menjalani rumah tangga dengan Reza, aku merasa hidupku begitu sempurna. Memiliki suami yang baik dan bertanggung jawab, juga memiliki banyak anak.Dari pernikahan keduaku ini, aku sudah memiliki dua putra kembar, yang lahir lima tahun yang lalu. Dan saat ini, aku juga tengah mengandung sembilan bulan. Kehamilan kedua dari pernikahanku dengan Reza.“Razi, Riza, kok diam saja dari tadi. Marah sama, Mama, ya?” tanyaku pada kedua putra kembarku.“Tidak, biasa saja,” ujar mereka bersamaan.“Kok, pada cemberut, kenapa?” tanyaku lagi.Saat ini kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Mama, mereka itu lagi marahan,” ujar Thalita yang duduk di belakang bersama mereka.“Kok, b

  • Pesan Talak dari Suamiku   Extra part 1

    “Aduh, sakit, Mas. Pelan-pelan, dong.”“Ini juga udah pelan, Sayang. Kamu tahan dikit, ya?”“Mas-nya jangan buru-buru.”“Iya, ini juga nyantai, kok. Sekarang kok, jadi susah masuknya, ya, Al? Perasaan, waktu yang pertama enggak sesusah ini, deh.”“Apa karena sekarang aku gendutan, terus lubangnya jadi mengecil, ya Mas? Aw, sakit.”“Bisa jadi, Al. Kita udahan aja, ya, gak tega aku liat kamu meringis kesakitan kayak gitu, Al.”“Tapi, aku pengen, Mas. Ayo, coba lagi. Kamu masukinnya yang bener, dong. Jangan salah-salah mulu.”“Iya, ini juga bener. Kita coba lagi, ya?”“Aduuh, sakit!”“Aduh, Al. Aku nyerah, aku gak bisa lanjutin!”Mas Reza mengangkat kedua tangannya, setelah sebelumnya menyimpan sebelah anting berlian milikku di meja rias.Kulihat dari pantulan cermin, dia mengusap keningnya yang berkeringat, lalu memutar pinggang ke kanan dan ke kiri. Mungkin pegal, dari tadi dia membungkukkan badan.Aku merengut, melihat diri di pantulan cermin. Sungguh menyedihkan, sebelah antingku tid

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 65

    Ruangan yang tadinya gelap gulita, kini menjadi terang menderang. Semua orang bersorak menyambut kedatanganku. Aku diam mematung, tidak percaya dengan semua ini. Thalita putriku, dia baik-baik saja dengan memakai gaun berwarna merah muda, dia terlihat sangat cantik dan anggun.Aku menutup mulutku dengan air mata yang sudah berjatuhan. Mereka mengerjaiku? Mereka menipuku dengan kabar penculikan Thalita?“Masuk, dong. Masa diam saja di sana,” ujar orang yang tak asing untukku.Aku melihat satu persatu wajah mereka. Ternyata semuanya ada di sini. Mama dan Papa, Kak Rasyid beserta keluarga istrinya pun turut hadir. Dan juga Dion dia ada di sini.Astaga, aku benar-benar telah mereka tipu.Reza menggiringku untuk semakin mendekati mereka. Aku masih diam, tidak bisa aku berkata-kata.“Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh adikku tersayang,” ucap Kak Rasyid dengan memeluk dan mencium pucuk kepalaku.Aku membalas pelukannya dan menangis di sana. Aku bingung harus berbuat apa. Aku terkeju

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 64

    Dengan diawali kata bismillah, Reza mulai melajukan mobil meninggalkan kediamanku. Tidak ada percakapan antara aku dan Reza. Aku sibuk dengan pikiranku yang terus teringat Thalita. Rasa was-was dan takut akan keselamatan putriku terus membayangiku. Dalam hati aku pun merasa senang karena sebentar lagi akan bertemu dengan dia.Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalan ibu kota di malam hari.“Kita mampir ke klinik dulu, ya, Al?” ucap Reza membuatku menatapnya.“Untuk apa?”“Sebentar saja, aku hanya ingin memberitahu para perawat di sana, kalau aku akan pergi dan tidak akan bisa masuk kerja besok,” ujarnya lannsung berbelok ke arah klinik.Aku berdecak sebal. Sebenarnya aku tidak mau karena akan mengulur waktu untuk aku bertemu Thalita. Entah kenapa, Reza sangat santai dan seperti yang tidak mengkhawatirkan keadaan Thalita.Aku tidak bicara lagi, aku diam sampai dia kembali ke dalam mobil. Saat hendak akan melajukan mobil, tiba-tiba kaca mobil diketuk seseorang dari

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 63

    “Jangan melihatku seperti itu, aku hanya asal bicara,” ujar Reza mengerti isi hatiku.Aku pun mulai menyuapkan sedikit nasi ke dalam mulut. Dengan susah payah aku mengunyah hingga menelannya. Rasanya nasi yang aku makan terasa keras dan mengganjal di tenggorokanku.“Apa kalian punya musuh sebelumnya? Atau adakah yang kalian curigai sebagai penculik Thalita?” tanya Mama. Aku yang hendak menyuapkan nasi lagi, menghentikan tanganku di udara.Seketika ingatanku mengarah pada seseorang yang punya masalah denganku. Lita, apakah mungkin dokter itu yang menculik anakku?“Mungkinkah Lita yang menculik Thalita, Za?” tanyaku pada Reza.Reza mnggeleng cepat.“Itu tidak mungkin, Lita tidak akan melakukan hal senekad ini, Al. Lagipula, jika dia yang menculik Thalita, dia tidak akan meminta imbalan uang, tapi ... mungkin yang lain,” ujar Reza membuatku emosi.Bagaimana mungkin dia seyakin itu kalau bukan Lita yang menculik Thalita, sedangkan dia juga tahu kita sempat terlibat percekcokkan.“Aku yaki

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 62

    Sekarang, kami semua tengah berkumpul di ruang makan. Tidak sedikit pun makanan yang masuk ke dalam perutku. Bagaimana aku bisa makan, kalau putriku saja tidak aku ketahui rimbanya.“Al, dimakan, jangan didiamkan begitu makanannya,” ujar Papa mengingatkan.“Kita juga kehilangan Thalita, bukan Cuma kamu saja. Kamu harus makan agar kamu tidak sakit dan dengan cepat kita akan menemukan anakmu,” ucap Mama.Aku bergeming, bukan karena tidak mendengar teguran mereka, tapi aku tidak memiliki selera makan. Jangankan untuk makan, ingin bernapas lega pun aku tidak bisa jika belum mendapat kepastian tentang Thalita.Dering ponsel milik Reza berbunyi, aku mengangkat kepala berharap Thalita yang menghubungi kita.“Halo,” ucap Reza.Volume ponsel di loadspeaker oleh Reza agar kami bisa mendengar siapa yang menelpon.“Papa.” Aku mengambil ponsel dari tangan Reza.“Sayang, anak Mama, kamu di mana, Nak? Kamu sudah makan belum, Sayang?” tanyaku dengan berurai air mata.“Sudah, Ma. Thalita makan sama ay

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 61

    “Bu, Pak. Maaf, ini tabungan saya selama bekerja di sini, saya ikhlas jika uang ini dipake untuk menebus Thalita, Bu.” Niar, datang dengan membawa amplop berwarna cokelat yang berisikan uang.“Saya juga ingin memberikan tabungan saya untuk menebus Non Thalita,” ucap Pak Ari yang diikuti istrinya Bi Wati.Kami semua tertegun melihat mereka yang datang dengan membawa uang ke hadapan kami.“Maafkan saya, Bu. Ini salah saya, seandainya saya punya kekuatan untuk melawan mereka, Non Thalita tidak akan berhasil mereka culik,” ujar Pak Ari.Aku dan Reza saling pandang, begitu pun Mama dan Papa. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa pun, juga aku tidak pernah berpikiran akan meminta mereka untuk membayar tebusan untuk Thalita. Karena aku pun masih mampu untuk menyediakan uang sebesar itu.“Ni, Pak Ari, juga Bi Wati, saya tidak menyalahkan kalian, saya juga tidak akan menerima uang kalian itu. Saya masih mampu untuk membayar para penculik itu,” kataku melihat mereka yang duduk di lantai.“Kam

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 60

    “Sanggupi, katakan pada mereka, aku menyanggupi memberikan uang satu miliar pada mereka, asal Thalita kembali dalam keadaan selamat,” lanjutku.“Ok, sekarang kita pulang dulu sambil menunggu kabar dari mereka tentang di mana mereka menyekap Thalita.”“Bukannya kita akan ke kantor polisi? Kita lanjutkan saja ke sana,” kataku mengingatkan.“Mereka melarang kita melaporkannya ke polisi, kalau kita nekad, nyawa Thalita taruhannya.”Ya Allah Tuhan. Siapa sebenarnya mereka? Kenapa mereka menculik anakku. Aku semakin tergugu, anakku, belahan jiwaku dalam bahaya.Reza membawaku pulang ke rumah. Sebenarnya aku tidak ingin pulang tanpa Thalita, tapi aku juga tidak ingin bertindak gegabah yang nantinya akan membahayakan Thalita.Bayang-bayang kehilangan orang yang aku sayangi sangat jelas mengganggu pikiranku. Aku sudah kehilangan Mas Mirza, dan sekarang aku juga kehilangan putriku. Tidak, aku tidak mau itu terjadi. Akan aku berikan apa pun yang mereka inginkan asalkan Thalita bisa kembali dalam

  • Pesan Talak dari Suamiku   Bab 59

    Reza pun mengikuti saranku. Meskipun tidak ada petunjuk tentang siapa yang menculik Thalita, tapi aku berharap polisi bisa membantuku menemukannya.Suara ponsel di saku jas milik Reza membuat dia dengan terpaksa menghentikan laju mobilnya. Reza menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi. Dalam hati aku berdoa kalau bukan dari klinik yang menghubungi Reza. Kalau telpon itu dari klinik, sudah bisa dipastikan Reza akan memutar arah.“Halo, siapa ini?”Aku mengerutkan kening, berarti bukan dari klinik.“Halo, siapa ini. Kenapa menghubungiku?” tanya Reza pada penelpon.“Siapa, Za?” tanyaku.“Tidak tahu, Al. Mungkin orang iseng.”Reza menyimpan ponselnya di dashboard. Baru saja Reza akan menyalakan mobil, dering ponsel kembali mengalihkan fokusnya.“Kamu saja yang angkat, Al,” ujar Reza.Aku pun mengambil ponselnya dan menggeser tombol hijau menerima panggilan.“Halo,” ucapku.“Mama!”Deg!Aku yang menyender, seketika menegakkan tubuh. Menajamkan pendengaran dari suara ponsel yang aku tempe

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status