Share

Bab 7

“Kalian? Ada apa datang ke sini?” Wajah Mama Marta telihat kaget saat aku datang bersama Kakakku.

Aku hanya berdua dengan Kak Rasyid, sedangkan Kak Melati di rumah bersama anak-anak.

“Seharusnya Anda tahu, untuk apa saya datang ke sini, Nyonya Marta,” ucap Kak Rasyid. Terkesan tidak sopan, karena Kak Rasyid biasanya akan memanggil mertuaku dengan sebutan Mama dan Papa.

Tidak berselang lama, Papa datang dan ikut duduk bersama kami. Tidak berbeda jauh dengan Mama, wajah Papa terlihat gusar dengan kedatanganku. Bukan, melainkan adanya Kak Rasyid.

“Saya tahu, apa tujuan kamu datang ke sini. Ini pasti menyangkut hubungan Mirza dan Aletta, iya, ‘kan?” tanya Papa.

“Bagus, kalau Anda paham. Sekarang, panggilkan putra kalian yang tidak punya adab itu. Suruh dia menemui saya.” Aku memegang lengan Kak Rasyid.

Aku tahu dia tidak terima dengan cara Mas Mirza menceraikanku. Tapi, aku juga tidak mau Kak Rasyid sampai ribut dengan mertuaku. Bagaimana pun mereka adalah orang tuaku juga, yang harus aku hormati.

“Kami, selaku orang tua Mirza, meminta maaf pada kalian. Khususnya pada Aletta. Kami tahu, cara Mirza yang menjatuhkan talak pada istrinya, memanglah tidak sopan. Dan terkesan, tidak punya adab. Memang benar, itu kesalahan anak kami. Kami tidak akan mengelak, karena anak kami memang salah.

Tapi, jika kalian meminta kami untuk memanggil Mirza ke sini, kami tidak bisa. Jangankan kalian, kami pun keluarganya tidak mengetahui keberadaan anak kami sekarang. Kami bahkan tidak bisa sekedar bertukar kabar dengannya.”

Aku lihat Mama mengusap matanya. Menangiskah dia? Apa yang Mama tangisi, perceraianku atau kepergian putranya yang tidak ada kabar? Aku tidak tahu.

Papa pun tertunduk setelah mengatakan hal itu. Wajah tuanya terlihat sendu. Apakah Papa menangis juga?

Sebenarnya aku yang sedang menahan tangis, rumah ini begitu banyak menyimpan kenanganku dengan Mas Mirza. Sebenarnya ke mana dia, kenapa harus bersembunyi?

Papa mengangkat kepalanya, matanya menatapku sendu. Tidak tahan aku melihat wajah Papa, karena di sana ada garis wajah Mas Mirza. Tanpa bisa aku tahan, satu tetes air mata jatuh dari sudut mataku.

Papa menghampiriku, mengelus kepalaku lalu menciumnya.

“Maafkan Mirza, Al. Maafkan Mirza ... dia telah menyakiti hatimu. Dia melukaimu begitu dalam,” ucap Papa dengan masih memeluk kepalaku.

Aku semakin tidak bisa menahan kepedihanku, akhirnya aku menangis di pelukan Papa mertua. Yang akhirnya membuat Papa pun ikut menangis.

“Apa salah Aletta, Pa? Kenapa Mas Mirza dengan tega meninggalkan Letta. Katakan pada Letta, di mana letak kekurangan Aletta, Papa?” Aku menangis dengan tergugu. Tidak peduli aku sedang berada di mana, dan dengan siapa aku menumpahkan air mataku.

“Tidak, Nak, kamu tidak salah. Sedikit pun kamu tidak pernah kurang dalam melayani kebutuhan Mirza. Mirza yang salah, anak Papa yang tidak bisa menjaga imannya.” Papa melepas rengkuhannya, mengusap air mata yang keluar dari mataku dan kembali ke tempat duduknya semula.

Hening. Kami saling diam dengan pemikiran masing-masing. Suasana yang tadinya tegang dan memanas, kini jadi haru dan canggung.

Mama Marta mengusap matanya dengan tisu. Kak Rasyid diam seribu bahasa. Hingga akhirnya, Papa kembali berucap menghilangkan kecanggungan.

“Thalita apa kabar, Al, kenapa tidak diajak ke mari?”

“Thalita dengan Kak Melati di rumah, Pa. Dia baik-baik saja,” kataku.

Kembali hening.

Sepertinya kedua orang tua Mas Mirza pun tidak mengetahui keberadaan anaknya. Terbukti, keduanya yang sangat merindukan dan mengharapkan kepulangan putranya itu.

“Maaf jika kedatangan kami ke sini telah mengganggu kalian, sebaiknya kita pamit untuk pulang. Tapi, jika nanti ada kabar dari Mirza, tolong beritahu Aletta. Bagaimanapun, Mirza punya anak yang selalu menunggu kepulangannya,” ujar Kak Rasyid.

“Iya, Nak Rasyid, tentu kami akan memberitahukannya. Doakan saja, agar Mirza cepat kembali,” jawab Papa.

Akhirnya aku dan Kak Rasyid pamit untuk pulang. Tidak ada jawaban atau pun titik terang yang kami dapat dari rumah ini. Semunya masih menjadi misteri.

“Aletta!” Aku yang hendak naik ke mobil, harus membalikan badan saat Reza memanggilku.

Reza berjalan menghampiriku dan menyerahkan dua benda tipis dan sebuah kunci ke tanganku. Aku menelan saliva dengan sangat susah. Aku terus memandangi kedua jenis benda di tanganku.

‘Kenapa ini ada pada Reza?’ batinku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
apa yg d ttipin k Reza dr Mirza ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status