Rapat yang aku pimpin sudah selesai. Untung saja aku bisa datang tepat waktu dan tidak membuat klien harus menunggu. Kalau saja itu terjadi, akan membuat citra perusahaan sedikit menurun.“Kamu tadi dari mana? Kenapa bisa datang siang ke kantor?” tanya Dion. Saat ini aku dan Dion sedang makan siang bersama di restoran yang tidak jauh dari kantor.“Aku mencari Mas Mirza,” jawabku tanpa menoleh pada Dion.“Bukannya kamu bilang, kalau Mirza berada di luar negeri bersama kekasih barunya? Lalu untuk apa kamu mencarinya di sini?”Aku menyimpan sendok dan mengambil gelas berisi jus mangga kesukaanku. Meminumnya sedikit, lalu menyimpannya kembali.“Aku menemukan beberapa bukti kejanggalan tentang perginya Mas Mirza. Entahlah, aku merasa kalau Mas Mirza tidak mengkhianatiku.”“Kamu terlalu mencintainya, Al.”Ya, benar yang dikatakan Dion. Aku sangat mencintai Mas Mirza. Dia tidak memiliki celah untuk aku membencinya. Selama hidup enam tahun dengannya, Mas Mirza tidak pernah meninggikan suara d
Seandainya aku bisa memutar waktu, ‘tak akan aku ijinkan dia pergi. Seandainya aku tahu yang akan terjadi, ‘ku akan terus berada di sampingnya hingga matahari tidak bersinar lagi.Kupandangi satu persatu gambar dia dalam album foto pernikahan kami. Semuanya sangat nyata tanpa rekayasa. Senyumnya, sorot matanya yang selalu berbinar bahagia.Aku sudah menghilangkan sebagian kenangannya dari kamar ini. Namun, aku tetap tidak bisa melupakan Mas Mirza. Bucin, itu yang selalu mereka katakan jika kita terlalu mencintai pasangan kita. Dan aku, adalah salah satunya.“Bu, maaf ... di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan, Ibu.” Niar mengetuk pintu lalu bicara memanggilku.“Siapa, Ni?” tanyaku dari dalam.“Temannya, Bapak. Teman kerjanya,” ujar Niar.Aku menutup Album foto dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Aku ke luar dari kamar, menemui si tamu yang datang.“Dion? Ada apa kamu datang ke sini malam-malam?” Rupanya Dion yang datang bertamu malam ini.“Maaf, Al mungkin aku tidak sopan b
“Niar, sepulang sekolah, nanti bawa Thalita ke rumah Mama, ya. Kamu masih ingat, ‘kan rumahnya di mana?”Setelah ada pembantu baru yang mengurus rumah, aku fokuskan Niar mengurus semua keperluan Thalita termasuk mengantanya ke sekolah.“Iya, Bu. Saya masih ingat,” ujar Niar.Setelah berpesan pada Niar, dan menemani putriku sarapan, aku pun berangkat ke kantor. Seperti biasa aku akan membawa mobil sendiri dan Pak Ari, akan mengantar jemput Thalita dan Niar ke sekolah.Pemandangan yang sudah biasa aku lihat saat pertama masuk ke ruanganku, ialah tumpukkan berkas yang harus dipelajari dan aku tanda tangani. Juga agendaku yang harus bertemu dengan klien sedang menanti.Seandainya Mas Mirza tidak pergi, biasanya pada jam segini aku sedang maskeran. Mempercantik diri menyuguhkan wajah yang fresh pada suamiku.Aku jadi teringat kembali pada Mas Mirza. Saat dia sedang banyak kerjaan dan membawanya ke rumah. Dia selalu mengajakku untuk ikut duduk bersamanya. Bukan untuk menemaninya, tapi dia m
Pukul empat sore aku sudah pulang dari kantor. Niat awal aku ingin pergi ke rumah Mama sambil menjemput Thalita. Namun, sayang Thalita sudah minta pulang duluan sebelum aku sampai di sana. Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang ke rumahku saja. Saat aku sampai, rupanya ada mobil Kak Rasyid yang terparkir di halaman rumahku. Sepertinya dia baru saja datang. Aku turun lalu masuk ke dalam rumah. Pemandangan yang aku lihat pertama ialah, Thalita yang sedang membongkar tas oleh-oleh dari omnya itu. “Kak, kapan sampai?” tanyaku. Aku mengambil tangannya dan menciumnya. “Baru saja, Al. Kakak sengaja datang untuk melihat perusahaanmu dan melihat keadaanmu juga Thalita.” Kak Rasyid mengelus kepala putriku dengan lembut. Tidak biasanya, Kak Rasyid sepertinya sedang punya masalah. Mata tegasnya terlihat sayu dan sendu. Beberapa kali ia mengecup dan mengelus kepala putriku yang duduk di sampingnya. Ada masalah kah dia dengan anak dan istrinya? Ingin bertanya, tapi rasanya sungkan. Apalagi K
Aku semakin yakin, kalau Mas Mirza ada di rumah Mama. Tapi, kenapa harus sembunyi dari Thalita, apakah dia tidak merindukan putrinya? “Mungkin bajunya hanya sama, Sayang.” Aku berkata sembari menerka-nerka. Rasanya sekarang juga aku ingin mendatangi rumah mertuaku itu. Namun, bagaimana bisa karena ada Kak Rasyid di sini. Dia tidak tahu kalau aku mencurigai keluarga Mas Mirza yang menyembunyikan kebenaran tentang suamiku itu. Setelah mengobrol panjang lebar tentang perusahaan dan pekerjaan, tidak terasa waktu sudah semakin sore. Adzan maghrib sudah berkumandang. Aku pamit untuk mandi dan menunaikan salat tiga rakaatku. Lagi, aku bersimpuh dan meminta pada yang Maha Kuasa agar diberi jalan atas masalahku. Keyakinanku akan adanya Mas Mirza di sekitarku sangat kuat. Sedangkan semua orang yang berhubungan dengannya, selalu mangatakan hal yang sebaliknya. Cerita Thalita tadi semakin membuatku sangat yakin kalau Mas Mirza ada di sini. Tidak pergi ke luar negeri seperti yang dikatakan Rez
Seandainya aku punya keberanian untuk membantah Mama dan memaksa masuk ke dalam. Mungkin rasa penasaranku tidak akan setinggi ini. Tapi sayang, aku tidak punya keberanian untuk melawan, apalagi tempatnya di rumah Mama.Dengan sangat terpaksa, aku ke luar dari rumah Mama dengan perasaan yang masih diliputi banyak tanya.Sesampainya di kantor, seperti biasa aku akan sibuk dengan setumpuk pekerjaanku. Apalagi ada Kak Rasyid yang menemani serta membimbingku.Saat aku tengah fokus bekerja, suara denting ponsel membuyarkan konsentrasiku. Rupanya Niar yang memberi laporan dari rumah Mama.[Bu, Thalita nangis ketakutan, tadi dia bilang melihat tuyul.]Aku memicingkan mata membaca pesan dari Niar. Masa iya, ada tuyul di rumah Mama. Tidak mungkin juga Mama melakukan pesugihan.[Gimana Thalita sekarang, apa masih menangis?] tanyaku pada Niar.Aku melanjutkan pekerjaanku dengan perasaan tidak tenang. Mungkinkah yang dikatakan tuyul sama Thalita adalah pasiennya Reza? Bisa saja memang dia.[Sudah
Pintu kamar mandi terbuka, wajah Mama terlihat pucat. Setengah badanku masuk ke dalam. Melihat kemungkinan kalau ada seseorang di dalam sana. Namun tidak, kamar mandi pun kosong.Aku menutup kembali pintu kamar mandi dan berdiri tegak di depan Mama.“Ada siapa di sana? Apa ada orang, atau hantu yang kamu temui?” tanya Mama mengejekku.Aku menggeleng. Tidak mungkin kalau aku salah dengar tadi. Jelas sekali kalau tadi ada suara batuk dari sini. Tapi kenapa tidak ada siapa-siapa di sini.“Sudah, kita ke luar. Menganggu saja,” ujar Mama menggerutu.Aku pun akhirnya ke luar dengan diikuti Mama di belakangku. Sekitar lima langkah aku berjalan dari pintu kamar, aku berhenti dan berdiri di sana.“Kenapa lagi Aletta?” tanya Mama. Mungkin heran kenapa aku malah berhenti.“Kepalaku kok pusing dengan tiba-tiba ya, Ma.” Aku mengusap keningku.“Kamu sakit? Ayo kita ke depan biar ada udara segar,” ajak Mama.“Sebentar, Ma. Aku tidak kuat jalan. Kepalaku keleyengan, Ma.”“Terus Mama harus gimana, man
Setelah Mas Mirza pingsan di pelukanku, Mas Mirza dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak mau kehilangan dia untuk kedua kali. Aku terus menemani dia hingga sampai di ruangan yang Mas Mirza tempati.Dokter sedang melakukan pemeriksaan pada Mas Mirza, dan aku tidak diijinkan masuk. Aku hanya bisa menunggu di luar dan hanya bisa melihat dari kaca yang menempel pada pintu.Aku tidak sendiri, ada Mama Marta yang ikut denganku. Dia mengampiriku dan menggenggam tanganku.“Aletta, maafkan Mama harus merahasiakan ini darimu,” ujar Mama dengan suara bergetar.Aku tidak menanggapi ucapannya. Sungguh, aku sangat kecewa dan marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa pada wanita di sampingku ini. Selama ini dia menyembunyikan suamiku di rumahnya sendiri.“Ma, bagaimana keadaan, Mas Mirza.” Reza datang dan bertanya pada ibunya. Wajahnya terlihat kaget saat dia bersitatap denganku.“Dasar pembohong! Kau bilang dia pergi ke luar negeri, tapi nyatanya dia ada di sini!” Aku menyerang Reza. Tanganku memukul-mu