Nathan memandang bola kristal dengan seksama, nampak cahaya putih keluar dari bola itu dan memantul pada cermin besar yang tadi dibawa para pengawal. Seperti sebuah film layar lebar, Nathan tak menghiraukan pembicaraan antara Raja dan Permaisuri. Dia sedang fokus menatap cermin. Matahari mengintip dari celah pohon-pohon yang rindang. Beberapa pemuda nampak membawa kapak dan parang, kapak di tangan kanan dan parang di tangan kiri. Salah seorang diantara lima pemuda itu terdapat sosok pemuda yang sangat tampan dengan tubuh atletis, kulit sawo matang dan kumis tipis. Pemuda itu bernama Aris. "Ayo buruan, keburu malam," rupanya Aris sebagai penunjuk jalan. "Matahari baru juga di atas kepala, santailah, yang penting kita sampai di hutan yang penuh dengan kayu jati," komentar salah satu pemuda di antara mereka. "Kalau aku sih pinginnya sampai malam, siapa tau ketemu bidadari dari kayangan atau penunggu hutan yang cantik jelita," celetuk salah satu pemuda yang bertubuh cekung. Aris berp
Lima menit kemudian mereka berada pada jalan setapak. Kini jalan yang mereka lalui tak lagi berbatu, terdapat tapak kaki kuda di sepanjang jalan. Lalu diujung jalan dekat dengan pohon bambu yang berdiri berjejer, terdapat tiga ekor kuda sedang merumput. Sahara mendekati hewan lincah dan kuat itu, terdengarlah ringkikan ketiga kuda tersebut, seekor kuda putih mengangkat kakinya tatkala Sahara mengelus-elus perutnya. Gilang berjalan dengan perasaan takut ketika keempatnya tiba disamping Sahara, "Aku tak bisa naik kuda." "Aku juga!" Ketiga pemuda lainnya ikut berucap. "Naiklah, masing-maisng berdua. Kalian pasti bisa," titah Sahara. Mereka bagai terhipnotis, Nuril lebih dulu naik ke atas kuda disusul Gilang di belakangnya, Lalu Nanda dan Abit. Kini tinggallah Aris dan Sahara, tanpa diminta Aris segera naik kuda lalu tangannya diulurkan ke arah Sahara, dengan lincahnya Sahara menerima uluran tangan itu lalu duduk di belakang Aris. Mereka memacu kuda dengan pelan, tak berapa lama kemu
Raja menatap Aris tak berkedip, pantas saja anaknya menyukai pria ini, ternyata dia memiliki aura maskulin. Aura yang jarang dimiliki pria di kerajaannya. "Mendekatlah," Titah Raja. Aris bergeser kedepan diikuti teman-temannya. Keempat temannya saling sikut menghilangkan ketakutan yang menghantui mereka saat ini. "Kenapa kalian bisa tersesat di kerajaanku ?" Aris sedikit mendongak, "Maaf paduka, kami sedang mencari kayu jati, tak taunya kami bertemu tuan puteri." "Karena kalian sudah masuk ke kerajaan ini jadi kalian tak bisa kembali lagi ke desa." Keempat teman Aris saling melirik satu sama lain, jika ditanya mereka tak akan kembali ke desa asalkan mereka bisa menikah dengan salah satu wanita cantik disitu. Jarang menemukan wanita cantik di desanya, andaipun ada pastilah mereka akan memilih pria tampan seperti Aris. Aris sedang menimbang-nimbang, tak mungkin baginya untuk tinggal di kerajaan ini, rumah yang diwariskan orang tuanya harus dijaganya, itu adalah harta satu-satunya
Cahaya kristal tiba-tiba redup, lalu gelap. Pantulan dicermin pun hilang. Nathan menatap Raja dengan kebingungan yang kelihatan sangat jelas di wajahnya yang sangat polos. "Kenapa berhenti ?" Protes Nathan. "Kami tidak memantau perjalanan manusia yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan kami." Nathan hendak membantah namun dilihatnya permaisuri yang mirip ibunya itu berdiri dan memerintahkan dayang untuk menyiapkan makanan. "Ayo kita makan dulu nak, setelah itu kami akan menceritakan bagaimana ibumu masuk ke dunia manusia." Terlihatlah dayang istana menyuguhkan makanan yang diletakkan pada meja-meja kecil yang bulat dan berukir, meja kecil unik yang dilapisi emas berkilau. Nathan mencoba menerka, berapa banyak emas yang tersimpan di istana ini ? Dia nanti akan mencari tahu sendiri, sekarang ini dia merasa lapar ketika melihat hidangan yang menggugah selera. Lalu dia teringat adiknya Nela. Raja melihat kegelisahannya dan dengan gerakan tangan segera menyuruh kasim mengantarka
Setelah pertemuan dengan Raja, Nathan kembali ke Istana Timur. Dilihatnya Nela belum juga bangun. Makanan sudah tersaji di atas meja kecil berlapis emas. Nathan ingin tahu apakah Nela bisa melihat meja atau tidak. Dia menepuk-nepuk bahu adiknya. Nela menggeliat, matanya masih sulit untuk dibukanya. Dia terlalu menikmati tidurnya sehingga tepukan keras dibahunya tak dirasakannya. Mendengar teriakan Nathan membuatnya gelagapan. "A..ada apa kak ?" Nela tergagap, "Wuahhh!" Walau masih terus menguap dia tetap memaksakan diri untuk bangun. "Balok kayu ini terasa sangat empuk," Ucap Nela sambil menepuk-nepuk bantal. "Apa kau tidak lapar ?" Nathan menarik tangan adiknya. Nela buru-buru memakai sandalnya. Dilihatnya makanan sudah tersedia pada sebuah batang kelapa. "Dimana kakak menemukan batang kelapa untuk menaruh makanan itu ?" Nathan menepuk jidatnya, "Oh Tuhan, meja berukir kok jadi batang kelapa ?" "Cuci muka dan berkumur-kumur dulu baru makan" Nathan tidak ingin memperpanjang m
Nathan tak mengajak adiknya lagi, pagi ini dia ingin menuntaskan latihan ilmu bela dirinya, kemudian sorenya dia akan belajar ilmu sihir pada dayang tertua di istana.Pagi-pagi sekali Nathan sudah pergi ke arena latihan, dan meninggalkan adiknya yang tertidur pulas.Di lapangan sudah menunggu Putera Mahkota dan beberapa pengawal kerajaan. "Maaf saya terlambat," Nathan meminta maaf dan membungkukkan badannya memberi hormat."Tidak apa-apa, kami juga baru tiba," Jawab Putera Mahkota dengan datar. Dia lalu segera mencabut pedangnya.Nathan tak tinggal diam, dia segera meraih pedang yang disodorkan pengawal dan mulai memasang kuda-kuda.Hari ini Nathan berlatih dengan serius, semua jurus sudah dipelajarinya. Dia sendiri bingung bagaimana mungkin hanya dalam dua hari dia mampu mempelajari ilmu bela diri dengan sempurna.Dunia lain ini benar-benar berbeda, dimana waktu sehari terasa sangat lama. Atau jangan-jangan sehari di dunia manusia di sini seminggu atau sebulan. Pikir Nathan.Matahari
Sementara itu di desa, hilangnya Nathan dan Nela membuat Ningsih tidak tentram. Berbagai upaya sudah dilakukannya bahkan mengundang dukun terhebat di desa tetangga untuk menerawang keberadaan kedua anak sambungnya, namun tak membuahkan hasil. Bahkan dukun yang dibayarnya mahal itu terpaksa angkat tangan."Maaf, sepertinya ada roh halus penunggu hutan itu yang melindungi mereka," Kata dukun pada Ningsih."Ah bapak bagaimana sih, cari sekali lagi pak," pinta Ningsih setengah memaksa.Bukan tanpa alasan mengapa dia terus mencari anaknya. Dia takut ketika suaminya pulang dan tidak menemukan mereka, maka dia harus menerima nasib. Masih untung jika suaminya hanya akan memukulnya. Namun bagaimana jika suaminya sampai menceraikannya ?"Maaf bu Ningsih, aku sudah melakukan semua cara. Tapi menurut mata batinku, kedua anak itu masih hidup. Hanya saja mereka dibawah kendali makhluk penunggu hutan itu." "Lalu apa yang harus kulakukan ?" tanya Ningsih yang merasa sia-sia membayar dukun dihadapanny
Desa nampak sangat gelap gulita di malam hari, maklumlah lampu penerangan jalan hanya terpasang sampai di balai desa dan belum menjangkau sampai ke dusun empat dimana Aris tinggal.Dengan gemuruh di dada menahan amarah, Aris sengaja mampir di rumah Tetua Adat dan Kepala Desa. Malam ini dia meminta kedua tokoh masyarakat itu untuk ikut dengannya ke rumah."Ada apa Aris ?" Tanya Tetua Adat."Mohon ikutlah denganku kerumah pak, hari ini aku akan membuat keputusan.""Keputusan apa ?" Tanya Kepala Desa yang kebetulan hari itu sedang berada di rumah Tetua Adat."Aku tak bisa menceritakannya sekarang, mohon ikutlah denganku," Pinta Aris.Akhirnya kedua tokoh masyarakat itu ikut ke rumah Aris. Ningsih yang melihat Aris datang bertiga segera membuka pintu dan mempersilahkan tamunya masuk dan duduk di ruang tamu."Apakah kau sudah menemukan mereka ?" tanya Ningsih cemas."Duduk" Aris meminta isterinya duduk bersama mereka.Walau masih tak mengerti Ningsih ikut duduk tepat disamping suaminya."Ma