Melati yang saat itu sedang duduk di pendopo bersama beberapa ustazah dikejutkan dengan mobil paman Badar yang berhenti tepat di depan pendopo. Dan yang lebih membuatnya terkejut lagi saat melihat paman Badar turun bersama Rendy dari mobil. Seketika wajah Melati menjadi pias, dadanya bergemuruh. Dia berusaha menyembunyikan kegelisahannya agar para ustazah yang lain tidak mengetahuinya."Assalamu alaikum!" ucap paman Badar dan Rendy bersamaan."Waalaikum salam!" jawab para ustazah bersamaan.Tak sengaja mata Rendy bertatapan dengan Melati, ada getaran aneh yang menjalar di dada kedua insan ini, namun Melati berusaha memalingkan wajahnya. Rendy semakin penasaran, wajah Melati terlihat bersinar dan sangat cantik. Dia terbayang wajah permaisuri yang berada di kerajaan Bilu, keningnya berkerut mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi.Untunglah dalam situasi itu Kyai Lukman segera datang bersama isterinya."Selamat datang tuan Badar, ini siapa? Adiknya atau ponakan? Mari silakan masuk!
Abilon sedang duduk berbincang dengan Nathan di teras rumah, tak lain yang mereka bicarakan pastilah Nela dan ibu mertuanya."Kapan lagi ibu mertua Nela menjalani terapi, kalau menurutku sih bawa saja ibunya itu ke rumah sakit jiwa biar dia tahu rasa!" ucap Abilon."Hahahaha...kau ada-ada saja, oh ya Dewi kapan kembali ke kerajaan, kita sebentar lagi akan masuk kuliah, jika kelak setelah wisuda apakah kau akan melanjutkan terus untuk menggapai profesi dokterku?" tanya Nathan.'Sepertinya tidak lagi, aku sudah cukup tau banyak hal tentang medis dari kampus, mungkin setelah wisuda aku akan kembali ke kerajaan Goro, mengingat ayahanda sudah sangat tua jadi aku harus sudah bersiap-siap menggantikan posisinya sewaktu-waktu, dan Dewi besok sudah harus kembali ke kerajaan Goro," jawab Abilon.Sementara itu di rumah keluarga tuan Budi, ibu Astrid sudah bangun dari tidurnya, sesuai petunjuk ustad saat bangun ibu Astrid diminumkan air ruqyah dan setelah itu di mandikan di halam belakang rumah.
Suara seorang gadis yang sedang merintih kesakitan terdengar sampai ke pintu halaman, Nathan yang hari itu baru saja pulang dari sekolah segera berlari menuju arah suara. "Ibu...!" Teriak Nathan. "Apa yang kau lakukan ?" Nathan segera merampas sebilah bambu yang sering digunakan ibu sambungnya untuk menghukum Nela. "Apa kau tidak lihat Nathan, sekarang sudah jam berapa ? Bukankah ibu sudah bilang jangan pulang terlambat, anak gadis yang suka keluyuran seperti dirinya patut di hukum." Ibu sambung yang bernama Ningsih dengan wajah penuh kemarahan berusaha merampas kembali bilah bambu yang dirampas Nathan. Ini bukan pertama kalinya dia menghukum Nela, hampir setiap hari Nela harus menerima pukulan atau cubitan disekujur tubuhnya walau itu hanya kesalahan kecil. Menumpahkan nasi sebakul, masak nasi terlalu lembek salah, terlalu keras juga salah, lalu untuk anak sekecil itu, bukan diajari dengan baik tapi malah semakin diintimidasi. Nathan menahan geram, sebelum dia menolong memapah ad
Terdengar suara Nela dari dalam kamar yang memanggilnya. "Kak...!" Nathan segera masuk, dia kini sudah mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian rumah. Nampak Nela berusaha berdiri dengan susah payah. "Udah kamu rebahan dulu, pekerjaan rumah biar aku saja yang kerjakan." Nathan membantu membaringkan adiknya ke tempat tidur, dan menyelimutinya. "Aku yakin kamu pasti belum makan, tinggal sebentar dulu ya ?" ucap Nathan. Ketika hendak berdiri Nela menahan tangannya. "Aku takut kak, nanti ibu marah," Nela nampak ketakutan, hal ini terpampang jelas di wajahnya. Nathan menatap iba adiknya itu, dalam hatinya bertanya, mengapa Tuhan tidak adil pada adiknya ? Bukankah dia dan Nela bersaudara ? Apa rencanamu ya Rabb ? Batin Nathan dan segera menghapus bulir-bulir air mata yang menetes di kedua pipinya. Dia hanya menepuk punggung adiknya perlahan untuk menenangkan, dan dia segera beranjak ke arah dapur untuk mengambil makanan. Nathan mengambil piring dengan sangat pelan, dia tak ingin
Dahulu ketika ibunya masih hidup, kehangatan dan kebahagiaan tak pernah ada habisnya dirasakan keluarga itu. Ibunya bernama Sahara, cantik dan anggun. Di desa itu ada dua wanita tercantik menurut beberapa warga, Sahara dan seorang gadis bernama Alena. Kedua gadis itu bagaikan bidadari yang turun dari kayangan, kata orang Aris beruntung mendapatkan isteri secantik Sahara pasca kecelakaan yang menimpanya ketika masuk hutan. Tak ada yang tau Sahara berasal dari desa mana, tiba-tiba ayahnya menyampaikan kepada tetua adat disana jika ia akan menikah. Semula mereka sempat mempertanyakan asal usul Sahara, tetapi setelah melihat KTP yang disodorkan Aris, akhirnya pernikahan itupun dilangsungkan dengan sederhana. Walau Sahara sangat cantik namun dia ramah dan berhati mulia, penduduk desa sangat menyayanginya, selang satu tahun menikah, lahirlah sang buah hati yang diberi nama Nathan. Ayahnya bekerja serabutan, terkadang bertani di lahan orang, terkadang pula sebagai tukang batu, namun semuanya
Aris telah melewati garis polisi, semakin ke dalam, hutan itu semakin menyeramkan. Sebuah bayangan berkelebat, Aris waspada. Rupanya hanya seekor kelelawar. Ada jejak tapak kaki ukuran anak kecil di sepanjang jalan, Aris semakin yakin jika anaknya masuk ke hutan ini. "Siapa itu ?" Teriak Aris tatkala melihat sebuah bayangan yang menurutnya itu adalah bayangan yang sangat dikenalnya. Tak ada rasa gentar dalam hatinya, apapun yang terjadi, anaknya harus selamat. "Nathan ?" Panggilnya dengan pelan. Karena tak ada sahutan dia terus meneriakan nama anaknya dengan keras sehingga menggema di seantero hutan itu. "Siapapun kalian, kembalikan anakku !" Tak ada sahutan, sebuah bayangan berkelebat lagi lalu terdengar tangisan anak kecil. Itu suara Nathan. "Nathan ! Jangan takut nak, ayah disini, ayah akan melindungimu." "Ayah!" Terdengar suara Nathan yang sangat ketakutan. Aris yang hanya mengandalkan cahaya dari senter kecilnya tak bisa melihat dengan jelas dimana Nathan berada. Seketika
Karena tarikan rambutnya sangat keras, tubuh Nela ikut tertarik, Nathan segera melepaskan tangan ibunya dari rambut Nela. "Jangan keterlaluan bu !" Nathan menghempaskan tangan ibunya dengan kasar, beberapa helai rambut Nela ikut tertarik. Dia meringis kesakitan. Nathan melindungi Nela, Nela terus berada di sampingnya sampai dia selesai memperbaiki penyebab korslet listrik. Lampu kembali dinyalakan. Ningsih dengan wajah geram menarik tangan Nela menuju ruang makan. Terjadi tarik menarik antara Nathan dan Ningsih. Karena melihat Nela meringis kesakitan akhirnya Nathan melepaskan tangan Nela. Dia mengikuti arah dimana Ningsih membawa Nela. "Duduk" ! Ningsih menyuruh Nela duduk di bangku dengan kemarahan yang tak juga hilang dari wajahnya. Nela terus menunduk karena merasa bersalah, Nathan duduk tak jauh dari keduanya, dia akan bersiap-siap melawan ibunya jika terjadi kekerasan lagi. "Sekali lagi aku peringatkan padamu, jangan berlagak seperti orang kaya, lihat ini !"Ningsih menunjuk
Sebuah pohon yang besar terlihat oleh Nathan. Hatinya berkata, mereka bisa beristirahat di pohon itu dan mengisi perutnya yang sudah mulai keroncongan. "Tahan dek, sebentar lagi kita sampai," Nathan memapah adiknya dan berjalan perlahan menuju arah pohon yang ditujunya. Suhu pada malam hari sangat dingin, lalu terdengar suara fauna, burung hantu babi hutan dan masih banyak lagi. Suara-suara itu terdengar sangat menyeramkan, namun Nathan membisikkan kata-kata menghibur agar adiknya tidak ketakutan. Kedua kakak beradik itu akhirnya mencapai pohon besar lalu menyandarkan tubuhnya disana. Nela berbaring dipaha kakaknya, dia sangat lelah bahkan nyaris pingsan. Nathan mengangkat kepala Nela dan meminumkan air seteguk demi seteguk. Nyaris terlelap, sayup-sayup terdengar suara warga dari kejauhan. Nathan tersentak, nyala obor dan senter terlihat dari kejauhan. Laki-laki berusia remaja ini ketakutan, bagaimana jika Ningsih menemukan mereka ? Dia tak terlalu mengkhawatirkan dirinya, namun ad