Share

SYMPHONY: MENJUAL JIWA PADA IBLIS
SYMPHONY: MENJUAL JIWA PADA IBLIS
Penulis: Secret Dita

Boneka

Tepat tengah malam. Antara sadar tak sadar, Dahlia meregangkan tubuh. Penglihatan Dahlia memang masih sedikit buram, tapi ia yakin jarum jam menunjuk angka dua belas. Apa yang membangunkannya?  Ah, ya... Dahlia sempat tersentak oleh musik menyeramkan di dalam mimpinya.

            Dahlia terduduk di pinggir ranjang kecil, sibuk menggosok matanya yang lekat. Tunggu. Di tengah rasa dahaga yang memuncak, wanita berusia empat puluhan itu mendadak tertegun. Ia fokus menajamkan indera pendengaran. Seiring kesadaran Dahlia sepenuhnya pulih, sayup-sayup musik lambat laun terdengar semakin jelas.

            Oh, tidak. Rupanya ini bukan mimpi. Musik aneh itu sungguh hadir di dekatnya. Dahlia lekas beranjak. Hanya ada dirinya dan Aluna Cathryn di rumah, sedangkan sopir berada di bangunan lain. Jadi sudah jelas tujuan asisten rumah tangga adalah memeriksa keadaan majikannya terlebih dulu. Apalagi akhir-akhir ini, Aluna tampak sering melamun dan lebih baik diam. Seakan-akan mengisyaratkan kondisi hatinya sedang baik-baik saja. Suaminya sendiri, Tuan Tiger, telah meminta bantuan Dahlia untuk terus mengawasi Aluna selagi ia dalam perjalanan bisnis.

            Sembari menjaga langkahnya agar tak membuat majikannya terusik, Dahlia mengintip di celah pintu. Lagi, Aluna membiarkannya terbuka. Padahal sebelum tidur, Dahlia sempat menutupnya rapat.

            Semakin dekat, lirik dari lagu terdengar jelas. I feel fantastic. I feel fantastic.

            Suara anak kecil yang menyanyikannya membuat bulu kuduk Dahlia merinding. Melodinya bergelombang dan memusingkan. Dahlia tak habis pikir, mengapa majikannya bisa terlihat sangat menikmatinya sembari memeluk lutut di kursi dan menatap ke luar jendela. Apa dia tidak takut makhluk menyeramkan di balik kegelapan malam?

            Dahlia ingin menghampiri, tapi ia tak berani mendekat. Terlalu lancang rasanya mengganggu waktu menyendiri Aluna. Di sisi lain, ia khawatir ada sesuatu yang  salah pada diri primadonna terkenal itu. Jika memang terkaan Dahlia soal mental Nyonya Aluna yang sedang tak baik benar adanya, maka wajar bila ia takut Aluna bisa melakukan hal berbahaya. Paling parah kalau sampai menyakiti dirinya sendiri.

            Tidak ada pilihan lain. Dahlia segera merogoh ponsel dari sakunya. Sekali jepretan punggung Aluna cukup untuk dikirimkan ke Tiger. Dahlia juga mengimbuhkan keterangan kalau Aluna tengah beringkah aneh.

            Tak butuh waktu lama, dua menit kemudian Dahlia menerima balasan. Dalam pesan singkat, Tiger langsung bertanya apakah Aluna seperti itu sambil mendengarkan lagu aneh. Yang mana, artinya Tiger tahu lebih dulu. Jadi ini alasan Tuan menyuruhku mengawasi Nyonya, Pikir Dahlia. Fakta bahwa hal itu termasuk salah satu hal janggal yang dilakukan istrinya membuatnya ngeri.

            Meski begitu, Dahlia bersyukur sebab tuannya bilang tengah dalam perjalanan pulang dan akan sampai kurang lebih lima belas menit lagi.

La Chanson D’Olympia! Ah~! D’Olympia! Ah~!

Jiwa boneka yang seolah tersayat-sayat merasuki Aluna Cathryn di atas panggung opera. Suara sopran Aluna terdengar kuat, luas, sekaligus indah. Penampilannya saat ini amat melenceng dari pertunjukkan biasa. Biasanya, primadona yang melantunkan aria boneka bakal mengenakan kostum boneka. Namun, Aluna berbeda.

Balutan mermaid dress putih ketat dan berbulu yang menunjukkan lekuk tubuh sempurna Aluna. Usia kehamilannya baru dua minggu, jadi Aluna merasa baik-baik saja mengenakannya. Seperti biasa, rambutnya diikat rapi dengan poni dibelah. Dibanding menutupi kisah pilu dengan kelucuan, Olympia ingin menunjukkan bahwa meski ia sebuah boneka, ia dapat memukau semua orang.

Olympia. Boneka mekanik yang dicintai pria bernama Hoffman. Karena terkena sihir ilmuwan gila, Hoffman menganggap Olympia seorang wanita sejati. Dan, pada akhirnya, tidak ada yang berubah.

Sementara di kursi penonton, tentunya ada pria muda yang benar-benar menatap Aluna dengan penuh cinta dan kebanggaan.

Dia adalah Tiger Letto.

Simfoni sampai pada notasi akhir. Riuh tepuk tangan pun spontan memenuhi seisi gedung. Jari-jemari Tiger menyisir rambut merah menyalanya, lalu berdiri dan ikut bertepuk tangan.

Senyuman yang tertahan sepanjang lagu, kini merekah sempurna.

Aluna membalas dengan senyuman terbaiknya. Satu tangannya ditaruh di dada, lalu membungkuk anggun pada semua yang hadir.

Sebelum Aluna menarik diri, dia bertemu pandang dengan Tiger. Binar di pelupuk mata dan senyum hampa menunjukkan berbagai emosi. Perihal cinta kasih, penyesalan mendalam, dan permintaan maaf.

Iris Aluna bergerak ke atas. Senyuman surut, tergantikan oleh ketegangan luar biasa. Orang-orang itu—para pria yang mengenakan setelan pemakaman modern—bagai alarm kematian baginya.

Dan, Tiger tidak pernah menyangka, pertunjukan elok itu berakhir getir.

***

“Aluna di mana?” Tiger memang bertanya pada nona stylish, tapi pandangannya mengendar ke segala penjuru ruang cordi.

“Loh, dia langsung pulang, Tuan. Oh iya, sebentar,” pinta Nona itu, lalu memberi Tiger sebuket bunga sweetpea. Setelahnya, ia pamit meninggalkan ruangan.

Jantung Tiger berdegup kencang tak beraturan. Udara di sekitar terasa mencekik, padahal penyejuk udara diaktifkan. Dia memandangi lagi bunga di pangkuan. Tiger sadar bunga itu melambangkan perpisahan dan ucapan terima kasih.

Namun, Tiger mencoba tetap berpikir positif. Barangkali Aluna asal beli bunga yang terlihat cantik. Sayangnya, sepucuk surat yang terselip mengungkap bahwa dunia mereka sedang tidak baik-baik saja.

Tungkai kaki Tiger lemas begitu membaca kalimat pertama. Dia terduduk lesu di kursi rias.

            Aku menjual jiwaku pada iblis. Amandeus, nama perkumpulan mereka. Enggak, Tiger Sayang. Aku nggak bercanda. Setelah semua kehidupan gemerlap yang aku miliki, termasuk kamu yang sangat kucintai, hari ini waktunya aku membayar semua itu.

Maaf, aku benar-benar pantas mati. Tapi, aku tetap Aluna yang serakah. Aku mau kita bersama, tapi aku gak setangguh itu. Bunganya... cuma itu yang bisa aku berikan. Tapi, untukmu, ada yang bisa kamu lakukan. Hanya kalau kamu benar-benar mau kita bersama.

Tolong bunyikan Divje Babe dan nyanyikan Epitaph Seikilos sebelum purnama berada di puncaknya. Itu akan menghancurkan mereka.

Setelah itu, temui aku di tempat Olympia terakhir kali tersenyum pada Hoffman.

You’ll always have my heart, Tiger Letto.

 

***

Satu-satunya rumus jalanan New York bagi Earl Zerikyu: kayuhan sama dengan irama. Ia menyelaraskan dorongan pada pedal dengan apa yang mengalun di balik earphone-nya.

Air on The G String by J.S Bach, ya, tidak salah. Memang pilihan musik klasik yang aneh untuk mengawali hari. Ketimbang mendengarkan lagu ceria, bahkan rock yang cocok untuk meningkatkan laju langkah, Zerikyu memilih mendengarkan instrumental sendu dan mendayu.

Setiap orang punya cara tersendiri untuk menaklukkan mood di pagi hari, kan?

Namun, sepelan apa pun laju pria tinggi dan ramping bak model remaja itu, dia tahu akan sampai di kampus tepat waktu.

Kenapa? Karena jarak dari apartemen ke Marionette Music College kurang dari 2KM. Lagi, Zerikyu memutuskan tinggal di apartemen dibanding asrama yang disediakan kampus, toh jaraknya sama-sama dekat. Satu-satunya poin plus-nya adalah Zerikyu merasa lebih leluasa.

“I’m here, My Baby Milky,” ucap Zerikyu. Selesai memarkirkan sepeda, satu tangan Zerikyu merangkul pundak seorang perempuan yang sudah menunggu. Perempuan itu langsung digiring berbalik, sementara tangan Zerikyu lainnya mendorong pintu kaca berbingkai putih.

Keduanya berjalan bersama di lorong kampus. Melewati pintu demi pintu studio.

Dari jendela kecil di permukaan pintu, para mahasiswa ada yang sibuk memainkan gitar. Gema nyanyian juga terdengar dari mereka yang sedang berlatih vokal. Ada juga yang sibuk mengotak-atik seperangkat device dan mencoba menciptakan lagu-lagu terbaik abad ini.

“Kakak telat lima detik dari biasanya,” canda Milky seraya meniup poni tipis dan diakhiri cemberut ala bebek.

Rikyu terkekeh. Mata bulat kecilnya ikut tersenyum saat menatap puncak rambut curly gold pacarnya.

Wilky Milkya, gadis berperawakan mungil yang berusia satu tahun di bawahnya selalu tampak menggemaskan. Kadang Zerikyu geregetan ingin menyaingi gadisnya itu, toh dia baru berusia dua puluh dua tahun, tapi selalu saja kalah start.

Zerikyu mengelus rambut Milky. “Iya maaf, cacing perut kamu pasti ngomel-ngomel. Kedengeran sampe sini soalnya, hahaha.”

“Merdu gak?”

“Iyalah, kamu kan best vocalist in this town.” Pujian Zerikyu terdengar seperti lelucon, tapi tetap saja membuat pipi mandu Milky merah merona.

Setelah melewati berbagai belokan, mereka akhirnya sampai di dining hall. Cahaya matahari sepenuhnya menerangi bagian terluas di Marionette.

Zerikyu memeriksa ponselnya sesaat untuk mengonfirmasi sesuatu. Ia lantas mengendarkan pandangan sesuai pesan singkat yang diterimanya.

“Skyder sama Elz udah nunggu di situ!” terang Zerikyu. Milky pun mengikuti ke mana telunjuk Zerikyu mengarah.

“Oh iya, bener. Ayo ambil sarapan dulu,” ajak Milky. Ia hendak ke pantri tempat roti-roti berbentuk lucu berada. Namun, Zerikyu lekas menahan pundak gadisnya itu.

“Biar kakak aja,” sergahnya, “kamu langsung gabung bareng anak-anak gih.”

“Beneran?” Milky menyipit dengan seringai khas anak kucing.

“Mickey blueberry, lava cakes, sama milk avocado, kan?”

“Kak Rikyu pinter!” seru Milky.

“Oiya dong!” Zerikyu tak mau kalah. Bicaranya berubah jadi suara bayi sambil menggelitik dagu Milky.

“Dih! Udah ah, aku tunggu di sana, ya?”

“Iya, sayang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status