Jemari Jason Skyder lincah menari di atas kibord laptop. Sesekali punggung tangannya menyeka pelipis, padahal dia tidak berkeringat, hanya perasaannya saja yang kepanasan.
Satu gadis pirang di samping Skyder saling beradu pandang terheran-heran dengan Milky.“Dia daritadi kayak gitu? Ngapain?” bisik Milky.Elz mengangkat bahu. “Aku gak tau dia kenapa.”Milky lantas mengetuk-ngetuk meja di depan Skyder. “Lo kenapa? Ada tugas dadakan?” “Lo tau, kan, gue suka banget teori konspirasi?” Skyder balik bertanya.“Terus?” Milky mengangkat alis.“Gue lagi ngumpulin teori soal musik-musik nyeremin. Liat dah!” Skyder memutar laptopnya ke depan muka Milky.Mata gadis itu menyipit, berusaha membaca baris demi baris jurnal yang diberi judul, ‘Musik Tidak Benar-Benar Musik Sampai Kita Tahu Sihir yang Di Baliknya’.“Apaan, nih? Lo gak puyeng apa baca kayak gini? Kalau Milky mending baca ratusan lembar patrikur deh.”“Ih, lo gak tau ini seru, tau. Gue ngumpulin semua riset ini buat bikin lagu—” Skyder menelan ludah.“Lagu kematian?” Elz menyahuti.Skyder menunjukkan wajah berseri ke gadis itu. “Pinter, Si Cantik.”“Anda waras? Psikopat kah?” cecar Milky.“Pokoknya gue mau bikin lagu melegenda. Contohnya nih, Gloomy Sunday yang bikin orang-orang bunuh diri. Terus, karya Paul Enca judulnya My Way, gila banget sih bisa ngebuat orang-orang mati di tempat karaoke kalau nyanyiin tuh lagu. Ada lagi—”“Requiem For A Tower,” Milky menimpali, kelopak matanya nyaris mengatup seperti orang ngantuk.“Kok lo tau?”“Yang lo sebutin ada di jurnal ini, Dodol.”“Eh? Bukannya itu OST film fantasi yang terkenal rumah makhluk hobbit?” tanya Elz. Tampaknya dia ikut tertarik dengan pembahasan itu. Makin-makin saja Skyder bersemangat.“Nah iya, pernah ada kasus—seseorang ngebunuh orang secara masal sambil dengerin lagu itu pake headset. Seremnya, muka dia datar aja pas ngambil nyawa manusia,” tutur Skyder.“Ah, ngarang kali lo! Tau darimana dia dengerin lagu itu? Kan pake headset. Bohong nih, bahaya lo nyebar berita hoax. Mau jadi kriminal lo?” Milky mengegas.“Ih, si anjir! Lo ngapa mau jadi primadona, hah? Gak ada lembut-lembutnya sama gue. Lo cocoknya jadi rock ‘n roll!” Skyder menjambak rambutnya sendiri. Sefrustrasi ini menghadapi skeptisan dari Milky.“Gue juga gak mau kali jadi primadona!” pekik Milky. Kedua kepalan tangannya memukul meja, sementara pipinya mengembung. Tatapan gadis itu bak singa yang siap menerkam mangsa menyebalkan.“Eh? Eh? Jangan ribut ….” Elz berusaha menengahi.“Pokoknya, bener atau kagak, tapi lagunya viral kan? Nah! Itu poin gue! Paham gak?”Skyder menoleh ke Elz. Entah kenapa wajahnya sok memelas. “Kamu paham, kan?” “Ya … sedikit, hehe. Semoga berhasil.” Kadar endorfin dalam tubuh Skyder langsung naik hanya karena kalimat singkat Elz. Semoga berhasil. Skyder mendengungkan lagi suara halus gadis itu di benaknya. Skyder tersipu. Eliza Moonshimmer, gadis yang selalu dalam perhatiannya sejak tahun pertama mengharapkannya sukses. Tekad Skyder membulat. Ia menggigit sandwich-nya lebar-lebar sampai sausnya belepotan di pinggir bibir. Rasanya tidak sabar kembali ke kelas studio dan bekerja keras menciptakan lagu legendaris. “Wey, kelaparan luh?” celetuk Zerikyu yang datang sembari menaruh paperbag di atas meja, lalu duduk di samping kekasihnya. “Lama amat bang, gue digalakin istri lo tuh,” rengek Skyder. “Dih, ngadu. Masa dia mau bikin lagu sihir, Kak,” Milky enggan mengalah. “Dia emang muka-muka dukun, Yang,” sahut Zerikyu membuat semua orang di meja itu—kecuali Skyder—terbahak. “Ya gak apa-apalah, asal bukan dukun beranak.” Skyder sudah terbiasa pasrah kalau di-roasting kawan-kawannya. “Eh, kalian udah mulai packing buat ke Slovenia nanti lusa?” tanya Zerikyu. Kedua tangan Rikyu sibuk mengeluarkan makanan, membuka bungkusannya, sampai Milky tinggal menyantapnya saja. “Belom. Santai aja, besok kan libur,” ujar Skyder. “Aku juga belom. Masih nge-list yang mau dibawa,” terang Milky. Elz ikut mengangguk pertanda punya jawaban yang sama. “Wah, bener-bener kita berempat tuh satu hati semua.” “Iya dong, Funtastic Four.” Selalu saja Skyder asal celetuk apa yang spontan terlintas di benaknya. Tidak. Ketiga temannya sama-sama tahu kalau itu plesetan dari kelompok superhero. “Haha, dia kebanyakan nonton film,” kekeh Zerikyu. “Yang bener itu kita Funstatic Fools,” Milky menunjuk Skyder. “Yang satu gak selesai-selesai bikin lagu.”Dia beralih ke Elz dan membuat teman perempuannya itu berkedip cepat.“Yang satu ini, gak peka-peka sama cowok.”“Setuju!” sela Skyder. Giliran Milky menunjuk dirinya sendiri dengan cara melahap kue. Ekspresinya muram dan tak bersemangat. “Yang satu ini, gak bisa keluar sangkar.” Milky mendesah sesaat. Ia memakai perumpamaan supaya tidak terdengar terlalu menyedihkan. “Dan, yang satu ini ….” Milky menoleh pada Zerikyu yang justru sedang mesam-mesem. “Yang satu ini paling bodoh, karena dia bisa begitu bahagia dalam sangkar bareng kamu,” ungkap Zerikyu mengambil alih. “Kak Rikyu kurang ajar!” Milky berhenti makan, lalu membenturkan dahinya. Ia bergeming menahan malu bercampur hati berbunga. Sekarang, semburat kemerahan pasti terlukis di pipinya. Meleleh sudah. Milky merasa dirinya bakal segera jadi genangan air korban kehangatan pria bernama Earl Zerikyu. Biasanya, ini kejadian kalau Milky tengah mendengarkan melodi piano yang dimainkan oleh Rikyu.Namun sekarang, baik yang dia lakukan maupun katakan padanya layaknya melodi hidup.“Hoam, adegan Drama Korea mana lagi yang mesti gue tonton hari ini,” sarkas Skyder setengah meratapi kejombloannya.Selesai menguap, dia menegakkan tubuh. Satu tangannya merangkul Elz. Tatapan sengaknya tertuju pada Zerikyu.“Eh, tapi Bang, selain Elz yang kemampuan main violinnya sekeren Lady Ann, keknya beneran lo yang paling beruntung di sini. Bulan depan lo udah mau adain mini concert, keluarga lo ngasih full support, mana dapetin calon primadona opera, ya … walau kayak emak-emak—”Kepala Milky terangkat, refleks memelototi Skyder. Tentu saja, laki-laki itu berdeham, lalu memilih bungkam.“Ah, lo terlalu berlebihan.” Deretan gusi Rikyu terlihat. Sedaritadi, dia dibuat tersenyum lebar terus oleh obrolan seru den gan sahabat dan kekasihnya.Segala pujian yang terlontar rasanya lebih dulu membangkitkan rasa haus Rikyu, padahal ia baru merespons satu kalimat. Namun di pikirannya, Zerikyu sudah menyiapkan berbagai kalimat rendah hati untuk pujian yang setiap hari mengalir tanpa sebab.Ada kalanya, dia kelelahan.Zerikyu mengambil sebotol air mineral. Baru selesai ia memutar tutup botol, tiba-tiba Zerikyu tidak bisa merasakan apa yang tengah dia genggam.Teriakan Milky dan Elz nyaring terdengar. Orang-orang di sekitar mereka spontan menoleh, sejenak memeriksa, sampai kemudian bertindak seolah terjadi apa-apa.Karena memang, hanya sebotol air yang jatuh. Berbeda dengan yang Zerikyu rasakan. Dia tertegun dengan satu tangan yang memegangi pergelangan tangan yang lain.Ada sesuatu yang salah. Panas menyerang sebelah tangan Zerikyu. Kemudian lambat laun menyisakan rasa sakit dan kebas yang sulit dijelaskan. “Kakak, kenapa?” tanya Milky cemas. “Yah, celananya basah ….” Zerikyu menarik napas dalam-dalam. Mati-matian mengesampingkan kesakitan seiring terlepasnya genggaman. “Gak apa-apa. Tadi tangan kakak licin, hehe. Ada baju ganti kok di loker.” Zerikyu menorehkan seulas senyum, meski tampak getir. Ia mencoba mengangkat tangan, berharap masih bisa digunakan. Beruntung. Sungguh. Embusan napas Zerikyu terdengar lega mendapati tangannya masih bisa mendarat di kepala Milky; membelai lembut dengan penuh pensyukuran. “Waktu sarapan udah habis, ayo kita masuk kelas.” Zerikyu menandaskan. Zerikyu menaikkan sebelah penyangga tasnya ke pundak. Bersama helaan napas yang berat, ia berjalan lamban menelusuri lorong rumah sakit. Langkahnya terhenti di depan ruang dokter ahli tulang. Pikiran dan hatinya bergumul satu sama lain. Masuk, periksa, dan pastiin semuanya dalam keadaan baik.Zerikyu meremas pergelangan tangan di mana kesakitan sempat bersemayam. Sudah nyaris setahun ke belakang Zerikyu mengalami gejala yang sama. Dia tak ingin menduga hal-hal buruk. Lagi pula, senior-seniornya sering mengeluh hal yang sama. Jadi, anak itu berpikir wajar bagi seorang pianist merasakannya.Ditambah di waktu-waktu ini, Zerikyu tak merasakan apapun. Seolah sejak awal tidak ada yang salah. Memang sedikit melegakan. Sayang, kegelisahan kadang menghantui dirinya. Lebih baik mendapat kepastian daripada mendiagnosa sendiri. Begitulah batinnya berkecamuk.Namun, seharusnya kakinya lekas bergerak maju. Akan tetapi, ada hal lain yang menahannya.Ego.Di sisi lain, Zerikyu takut.Bagaimana kalau keadaan tak sebaik yang ia kira?Bagaimana kalau dia mendengar lagi kalimat terburuk yang dilontarkan seorang dokter? Sudah cukup sebelumnya dia mendengar tentang kanker rahim yang diderita ibunya. Dunia Zerikyu kala itu seketika runtuh. Dan sepertinya, bila hal buruk itu terjadi kembali, dia merasa akan kehilangan dirinya, selamanya.Terkadang, akan lebih baik jika kita tidak melihat semua yang terjadi.“Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri.” Althar menggeser dari podium.Ia mantap melanjutkan. “Saya Althar Dominic, Grandmaster dari Marionette Theater School,“ ucapnya sembari membungkukkan setengah badan.Decak kagum menguar. Mata mereka membulat. Sulit percaya bagaimana pria semuda itu bisa bergelar Grandmaster yang mana posisi tertinggi. Mereka saling menebak berapa sesungguhnya umur Althar. “Jangan-jangan beliau udah empat puluhan?” “Yang bener aja, mukanya gak berkerut sama sekali.” “Dia ikut pendidikan yang cepet itu kali, apa sih namanya?” “Akselerasi.”Sahut-menyahut berakhir saat Althar menegak dan mengarahkan telapak tangan ke belakang.“Di belakang saya ada Elizabeth dan Skyder selaku master orkestra. Kalian tahu apa itu orkestra?”Tiga detik hening. Murid-murid berpandangan bingung. Tak lama kemudian, Elizabeth mengambil biola di belakang kursi, lalu mulai menggesek. Alunan melodi membulatkan semua pasang mata. Beberapa orang menangkup mulut tidak percaya.“What
“Sekarang.” Zerikyu mengomando dari gerbang utama Marionette seiring mendekatnya sek. Mini earphone yang tertaut di satu telinganya terkoneksi dengan headphone Milky di ruang kontrol. Milky menoleh sebentar pada Skyder di belakangnya. Skyder menekan saklar. Tulisan “MARIONETTE THEATER SCHOOL” berjalan dihiasi lampu warna-warni di dalam kotak persegi panjang yang menempel di atas gerbang. “Welcome to Marionette Theater School. Di sini adalah tempat pembinaan untuk menggabungkan seni peran dengan suatu hal yang baru yaitu ... musik.” Lewat speaker, tutur kata Milky yang bulat dan mendayu Milky membuat orang-orang terkesima. Beberapa di antara mereka saling berpandangan. Bertanya-tanya apa maksud dari satu kata asing yang baru saja disebutkan. “Musik? Apaan tuh?” “Mumgkin budaya asing dari suku pedalaman?” “Hahaha, kepikiran aja. Duh jadi penasaran. Pengen cepet masuk.” “Gue tahu.” Sementara anak-anak muda saling menyahut bercanda, Ditto tersenyum tipis. Ia menaikkan ransel hitam d
Althar menarik kain merah jambu yang menutupi papan tulis beroda. Rahang Skyder seolah jatuh terkesima pada rangkaian panah merah yang menghubungkan skema perang. Milky mengeratkan kepalan tangan tersembunyinya di bawah meja. Dia sama sekali tidak menyangka harus membuang-buang waktu untuk berperang dengan dimensi sihir. Jalan cerita film yang sulit dia percaya. Milky ingin cepat-cepat ini berakhir agar kehidupan normalnya kembali. Banyak mimpi yang belum tercapai, termasuk rencana masa depannya bersama Zerikyu. Semua ini memuakkan. Namun di sisi lain, dia takut akan kekalahan. Bagaimana jika dunia ini hancur sebelum ia mencapai akhir bahagia? Rubanah atau ruang bawah tanah kampus Marionette memang kebanyakan diisi perabotan bekas dari kayu. Selain tempatnya yang tenang, Althar menyarankan tempat ini sebab segala macam sihir tidak bisa mendeteksi keberadaan di bawah tanah. Althar, laki-laki istimewa. Dia enggan pergerakan tercium oleh makhluk lain, terutama dari Tiga Anjing Nera
Aluna mual saat seringai pria itu muncul. Ketika ia melirik lagi layar ponsel dalam genggamannya, semua kembali ke angka nol. Ajaibnya, pria anjing itu mendadak di belakang Aluna dan bersiul di dekat telinganya. Siulan bernada lirih dan menyedihkan yang langsung mengambil kesadaran Aluna. Siulan aneh membangunkan Aluna. Berlesehkan di atas rumput basah, bola matanya mengendar getir ke sekeliling. Ia terjebak dalam jeruji besi. Dingin dan bau. “Sudah bangun ya?” Aluna terperangah, langsung meluruskan pandangan. Tiga orang berjejer di luar. Aluna memelototi orang yang berdiri di sisi kiri, Caspian. Sementara yang tadi bertanya ialah seorang gadis berperawakan kecil, Lilith Anna. Semua aman jika rambut biru menyalanya tertutupi tudung hitam. “Kenapa bengong? Ada kata-kata terakhir? You next.” Giliran Neill Hasby yang mengoceh. Laki-laki pirang. Ia mencabut sehelai rambutnya. Memang keriting, tapi kekuatannya lurus dan sanggup membelah gunung. Mereka dikenal Tiga Anjing Neraka. Utusa
Aluna mengangguk lemah. "Kalau aku gagal di audisi Paris Orkestra, mereka menertawakanmu. Aku hancur saat mereka menyebutmu pemilik perusahaan rekaman terbesar yang menikahi pengamen jalanan. Sampai akhirnya, orang-orang pemakaman itu datang," Aluna mengungkapkan. "Amandeus? Mereka datang sendiri?" "Ya, sepertinya mereka punya radar yang mendeteksi orang-orang sekarat. Kamu tahu maksud dari, 'Anak Burung Mati Putus Asa'?" tanya Aluna seraya mengarahkan dagunya ke layar. Kalimat terakhir tadi merupakan arti dari kata kunci ‘Oiseau mort desespere’. Tiger menggeleng. "Entahlah ... saya tidak pernah mendengar frasa itu." "Tepatnya alarm kematian bagi musisi-musisi gagal. Mereka yang menjual jiwa ke Amandeus akan diberi jangka waktu kesuksesan tertentu. Musisi sepertiku setidaknya harus merilis lagu yang mereka kirimkan," terang Aluna. "Coba sekarang aku tanya, gimana keadaan Bi Milky?" Aluna melontarkan pertanyaan misterius. Otak Tiger rasanya melambung, kemudian dijatuhkan dalam la
Roda-roda mungil berputar menyusuri lantai yang membelah auditorium. Tidak ada satu pun orang di sana, sehingga bunyi deraknya memenuhi teater. Koper hitam itu diam di tempat persis saat Tiger berhenti. Binar menghiasai mata hazel Tiger. Bertekuk lutut di hadapan tirai merah, terlampau lusuhlah punggung seorang wanita yang terduduk di atas panggung. Kain putihnya dibercaki noda-noda lumpur. Lolongan kerinduan di batin Tiger kini tak terelakkan lagi. Saking bergumulnya kata di tenggorokan pria itu, hanya satu kata yang pada akhirnya sanggup terucap lirih. "Aluna?" Kepala Aluna terangkat. Wanita itu berdiri dan ketika ia berbalik, tubuhnya tersentak oleh pelukan hangat. Setitik air menetes dari pelupuk mata Aluna. Semakin erat Tiger melakukannya, semakin besar pula sesal di relung hati. Pria ini terlalu layak mendapat seluruh cinta dan ketulusan, tapi ia malah menyerahkan segalanya pada seorang wanita bodoh yang hidup selayaknya boneka. Aluna mendorong pelan bahu Tiger sebab ia bis