Share

Jatuh

Anak-anak Funtastic mulai terbiasa dengan berbagai macam bentuk menara di sepanjang jalan yang mereka lalui. Bahkan mayoritas rumah warga sendiri beratap lengkung. Warna pastel pun mendominasi, serasi bersama kelopak bunga yang bermekaran.

            Tak banyak warga setempat yang berada di luar. Karena bukan musim libur panjang, damainya situasi di sana masih kental terasa.

            Gemericik aliran sungai terdengar mengantar kicauan burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Lampu-lampu kuning pun dinyalakan kala hari mulai temaram. Yang pasti, seratus delapan puluh derajat dari Kota New York yang tak pernah padam.

            Keempat muda-mudi itu berhenti di puncak jembatan kecil. Ikan-ikan kecil berlalu-lalang di bawah mereka.

            "Liat! Ikannya mirip kamu pas misuh-misuh," ledek Zerikyu, menunjuk salah satu ikan berpipi kembung.

            Sontak, Milky meninju pelan pundak laki-laki itu. "Pacar kamu ikan?"

            Zerikyu mengendikkan bahu. "Gak apa-apa, asal namanya Wilky Milkya," goda Zerikyu sambil mengelus rambut Milky pakai kepalanya.

            "Haduh, adem banget udaranya. Rasanya kuping gue abis di-vacum cleaner. Kota ini mana lengkap banget. Bangunannya cakep-cakep, pemandangannya asik, makanannya enak-enak—" Skyder menoleh pada Elz. Gadis pirang itu tampak manis saat memberi roti ke ikan. "Ada bidadari lagi."

            "Kak Rikyu!" Ketiga kawan Milky terperajat karena teriakannya. Termasuk Skyder yang mengentak-entakkan kaki gara-gara gombalannya keburu disalip Milky.  Kesal. Padahal dia menantikan reaksi lucu Eliza. Hati Skyder meringis kenapa dia selalu kehilangan momen bareng Elz, tapi kalau memisahkan diri dari Zerikyu dan Milky, Elz pasti menolak.

            "Apa? Apa? Apa?" tanya Zerikyu segera mengapit Milky, sementara pandangannya meliar waspada.

            Berseri-seri, Milky menunjuk ke seberang di mana terdapat pohon yang menaungi sebuah benda.

            "Ada piano di sana!" seru Milky.

            "Ayo, Bang! Lu pasti gatel kan seharian ini gak mencet tuts." Tanpa basa-basi lagi, Skyder beralih ke sisi Zerikyu dan menarik lengan sohibnya. Empat sekawan melanjutkan perjalanan lagi sebelum matahari benar-benar terbenam.

            "Ih lucu! Pianonya warna-warni!" Bunyi do - re - mi - fa - sol memecah belah keheningan. Milky iseng menekan tuts pakai telunjuknya sesampai mereka di sana.

            "Keren banget ada piano umum di sini," puji Elz.

            "Orang-orang di komplek ini emang estetik." Skyder menimpali.

            Sementara itu, Zerikyu duduk manis di depan piano, ditemani Milky di sampingnya. Skyder membuka jaket, berisiniatif menghamparkannya di bawah pohon sebagai alas duduk.

            "Ke sini, Cantik. Nanti pegel," lontar Skyder tanpa aba-aba menarik lengan Elz. Keduanya pun duduk bersila menantikan melodi pengiring kepergian senja.

            Jari-jemari Zerikyu bersiap di kunci F mayor. Dalam benak laki-laki itu, telah terukir simfoni indah bersama bayang-bayang dua wanita berharga di hidupnya.

            Reanna dan Milky.

          "Kinderszenen, Op. 15: No.7, Traumerei - Giovanni Umberto Battel," ucap Zerikyu.

            "Adegan dari masa kecil?" Milky mencoba mengungkapkan artinya. Namun, tetap tak mengurangi penasaran kenapa kekasihnya memilih karya musik berusia hampir 2 abad. "Kenapa pilih itu?"

            "Hm ... anak kecil selalu punya impian yang utuh. Semakin dewasa, impian itu makin rapuh, sama kayak yang aku rasain. Sekarang, alesan kakak pengen terus bermimpi cuma untuk mama—" Zerikyu memiringkan wajah ke Milky. Bibirnya nyaris menyentuh daun telinga gadis itu, sekaligus berbisik, "Dan, kamu."

            "Apaan sih, Kak! Bikin geli!" Milky bergidik, sementara Zerikyu terbahak-bahak. Merasa keren seperti pemeran utama pria dalam drama romantis.

            Skyder melongo saja sambil mengangguk-angguk. "Ah, ternyata ilmu Bang Zerik emang jauh di atas gue. Keknya gue mesti sering-sering berguru sama dia."

            Zerikyu kembali memfokuskan diri.

            Satu tarikan napas terembus, bersiap mencurahkan segala rasa. Namun ketika Zerikyu hendak notasi pertama, badai tak dikenal menerpa dirinya.

            Dua punggung Zerikyu benar-benar tertunduk rapuh. Ia meringis. Tangan kirinya meremas tangan kanannya. Dimulai dari telunjuk yang tiba-tiba kaku, berlanjut dengan urat-uratnya yang terasa putus di satu tangannya. Rasa sakit yang familier, tapi datang dalam jumlah berkali-kali lipat.

            "Kak? Hey? Kenapa?" Sorot mata Milky bergetar ketakutan. Baik Skyder dan Elz sudah siaga berdiri, mengamati Zerikyu sama paniknya.

            "Diem!" bentak Zerikyu, napasnya berburu.

            "Kak ...." Milky dibuat membeku di tempat.

            "Enggak, tunggu—" Bicara Zerikyu melembut. Sungguh, dia sadar terlalu kasar pada Milky dan seketika merasa bersalah. Di sisi lain, berusaha mengendalikan diri seperti mencoba memaksa keluar dari kobaran api.

            Sebentar. Ini cuma sebentar. Zerikyu meyakinkan diri. Gigi atas dan bawahnya saling menggertak. "Ah!" Lagi, rasa sakit itu berkedut.

            "Bang, lu sakit!" teriak Skyder.

           Milky tersentak berdiri. "Papah dia ke rumah sakit cepet!" instruksinya tegas.

            "Aku panggil taksi," cetus Elz.

            Zerikyu susul berdiri, malah menghindari Skyder begitu kawannya mendekat. "Gue baik-baik aja!"

            "Bang, jangan ngeyel!"

            "Kak Rikyu mau nyiksa aku?!" teriak Milky.   

            Peluh keringat membasahi sekujur tubuh Zerikyu. Selain sakit di tangannya yang tak kunjung reda, beban kecemasan menghantamnya tanpa ampun. Isi kepala Zerikyu dipenuhi suara-suara asing yang menakutkan.

            Sakit ini bakal bertahan selamanya. Mimpi lo hancur. Lo pianist gagal.

            Zerikyu berjalan terhuyung-huyung. Ia ingin mengenyahkan diri dari semuanya. Sayangnya, kedua kaki pria itu kini lupa bagaimana cara berpijak pada tanah.

***

17 Mei. Tiger Letto menatap nanar tanggal di kalender yang ditandai coretan merah. Ini sudah bulan ketiga sejak kepindahannya dari Perancis ke Ljubljana 3 bulan lalu. Setelah melewati penantian panjang. Bersabar akan ketidakpastian nasib kekasihnya yang entah berada di mana.

            Akhirnya, puncak purnama tepat di atas kepala.

            Tiger beralih menuju jendela hotel yang berukuran kotak kecil. Hamparan jalan aspal tampak sunyi didampingi penerangan minim. Meski begitu, mata cokelat kegelapan Tiger berfokus pada satu titik.

            Menara Museum Nasional Ljubljana.

Langkah kaki Zerikyu limbung. Tersisa sedikit pengaruh anestesi dalam tubuhnya. Masa bodoh. Yang penting tidak ada yang melihatnya kacau balau saat ini, terutama Milky. Ia ingat sempat membentak gadis itu sebelumnya. Kilatan kekecewaan dan gamang di wajah Milky jauh menyiksa Rikyu. Dia takut akan semakin menyakiti orang-orang yang dicintainya bila terus di sekitar mereka sekarang.

            Zerikyu berhenti di depan museum yang tadi pagi sempat dikunjunginya. Jam kunjung sudah berakhir. Berbeda dengan lampu halaman yang menyala, bagian dalam museum tampak gelap gulita dilihat dari jendela-jendela kecil berteralis besi di permukaan pintu.

            Jadi mestinya tidak ada siapapun yang berada di lingkungan museum, kecuali barangkali ada penjaga yang sibuk berkeliling di dalam.

            Awalnya Zerikyu berniat kembali ke hotel dan mengunci diri karena dia sendiri telah memesan kamar pribadi. Namun setelah dipikirkan lagi, lebih baik benar-benar menjauh dari sekitar Milky dan teman-temannya. Setidaknya, untuk malam ini.

            Berusaha memegang kendali penuh atas dirinya, satu per satu anak tangga dinaiki. Zerikyu lantas memilih duduk di tengah-tengah dan menikmati hawa dingin. Ia menuduk, sadar masih memakai baju pasien.

            "Hadeh, bau obat-obatan," keluh pria itu.

            "CTS, Carpal Tunnel Syndrom." Dada Zerikyu rasanya seperti dipukul ribuan beton. Itulah yang diucapkan Milky sambil menahan isak pada Skyder dan Elz di lorong rumah sakit. Memang bukan hal yang mengejutkan, tapi tetap saja memukulnya hingga akhir.

            "Dia mesti istirahat panjang main piano atau hal terparah bakal terjadi. Saraf mediannya membengkak, aliran darah terhambat, dan itu bakal mengganggu aktivitas sehari-hari dia. Bahkan buat sekedar ngancingin baju pun bakal sulit. Gue bener-bener gak mau dia sengsara. Dia harus berhenti sekarang, tapi gue ragu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status