Ah! Aku baru ingat. Tadi banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang, dan belum sempat aku melihatnya. Terlalu asik bermain dengan Aqilla. Apakah karena hal itu yang membuat Mas Attar memeriksa ponselku!
Mas Attar melihat ke arahku dan dengan cepat aku bersembunyi di balik dinding sekat. Berarti ada ketakutan darinya, jika aku memergokinya memegang ponselku.
'Siapa yang mengirimiku pesan, sampai-sampai membuat Mas Attar merasa terganggu dan harus pulang kantor jam segini! Atau, Mas Attar tidak berangkat kerja sejak tadi pagi?' batinku mulai berkecamuk.
Aku bergegas mandi, lalu menyiapkan diri, agar Mas Attar tidak terlalu lama menunggu, dan yang pasti aku ingin melihat reaksinya setelah memegang ponselku.
"Masih lama, Yumna?" tanyanya, tanpa memanggilku sayang, seperti biasanya.
"Udah, Mas. Tinggal pakai hijab saja!" balasku.
Setelah memantaskan diri di cermin. Aku baru sadar sesadar-sadarnya, jika tubuhku mulai tidak berbentuk lagi. Benar saran Mbak Naura, aku harus senam dan perawatan. Bagaimana pun, Mas Attar adalah laki-laki normal, yang akan tergoda oleh tubuh berbentuk gitar spanyol seperti Shanum.
"Ayo, Mas!" ajakku, ketika dia sedang fokus pada Aqilla.
"Eh, ayo!" Mulai kurasakan perubahan Mas Attar.
Mas Attar memberikan Aqilla padaku, untuk kugendong. Sedangkan dia, menghidupkan mesin motor dan mengunci pintu, sebelum kami pergi. Sepanjang perjalan, tidak ada yang kami bahas. Diam membisu, seperti ada tumpukan lem pada bibir kami.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, Mas Attar sempat berhenti. Seperti sedang berpikir, dan tidak lama kemudian,
"Loh, kok ke showroom, Mas?" Cukup terkejut, saat motornya dia belokkan ke sebuah Showroom mobil.
"Kan, mas sudah bilang kalau mau beli mobil untuk kita!" ujarnya dengan nada agak tinggi.
Ingin membantahnya, tapi ini sedang berada di luar rumah. Tidak mungkin kami bertengkar di sini, lebih baik aku diam.
Mas Attar memilih mobil yang hendak di belinya, tanpa meminta pendapatku. Bukan seperti Mas Attar yang kukenal. Sepertinya tidak mungkin, jika aku meminta pembelian mobil tersebut atas namaku. Ah, iya. Aku hubungi Mbak Naura saja.
"Halo, Mbak. Mas Attar tiba-tiba mengajakku beli mobil, tapi sepertinya dia agak aneh dan aku sepertinya tidak akan berani meminta Mas Attar, mobil itu atas namaku," aduku pada Mbak Naura.
"Iya, kamu kasih aja teleponnya ke dia, biar mbak yang bicara," ujarnya dengan suara geram.
"Mbak saja yang telepon ke nomorku, pura-pura bertanya aku sedang di mana!" Ideku dan langsung disetujui oleh Mbak Naura.
Iparku itu terlalau the best, langsung mengerti tanpa harus aku menceritakan secara detail apa yang sedang terjadi.
Ponsel kumatikan dan berjalan mendekat ke Mas Attar, berpura-pura menimang Aqilla. Melihat mobil yang dipilihnya, ternyata berbeda jauh dari yang dia inginkan dulu.
"Mas, Mbak Naura telepon, aku angkat dulu, ya," tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menggeser layar ponselku.
"Halo, Mbak. Aku enggak di rumah, lagi menemani Mas Attar. Eh, tahu enggak mbak, Mas Attar mau beli mobil, loh. Aku aja kaget," ujarku.
Aku melihat ke arah Mas Attar, terlihat dia mengusap wajahnya dengan kasar. Bukan sekali atau dua kali, tapi berkali-kali. Dia sepertinya kesal, saat aku menerima panggilan dari kakaknya.
"Oh, mau ngomong sama Mas Attar, bentar, ya mbak?" tuturku bohong.
Posel kuulurkan pada Mas Attar dan disambut dengan malas. Kulihat Mas Attar memutar bola matanya, dan kembali melihat mobil di hadapannya, sambil sesekali menimpali ucapan Mbak Naura di ujung telepon.
Aku sengaja menjauh darinya, agar memberi ruang Mas Attar untuk berkelit dan membiarkan Mbak Naura marah padanya.
"Nih!" Dia menyodorkan ponsel dengan suara kesal, dan gestur tubuhnya sangat kentara, jika dia tidak suka didikte oleh orang lain.
'Sepertinya, ini sudah menjurus!' gumamku.
Aku ingat beberapa novel yang kubaca, untuk mengisi waktu luang. Jangan biarkan pelakor menang dari istri sah, seorang istri harus mempertahankan rumah tangganya sekuat mungkin selama tidak ada KDRT. Perempuan yang tahu suaminya selingkuh, jangan asal ngelabrak, harus main cantik. Saat ini, itu yang sedang kulakukan, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Pengorbananku dan Mas Attar bukanlah singkat. Saat dia melamarku dulu, kedua orang tuaku menolaknya dengan halus, Dikarenakan ayah Mas Attar seorang lelaki yang suka selingkuh. Bapak bilang, penyakit seperti itu pasti menurun pada anak lelakinya. Namun, kami berdua berusaha membuktikan, jika itu tidak benar. Setelah menikah, kami diuji masalah anak yang tidak kunjung hadir selama enam tahun lamanya dan sekarang, kami bisa menimang Aqilla, buah hati kami. Belum lagi masalah ekonomi, yang pasang surut dan mengharuskan aku bekerja. Setelah doa yang panjang, kami berhasil melaluinya dengan baik dan saling bergandeng tangan. Aku masih berharap, Mas Attar tidak tergoda oleh gitar spanyol, dan melupakan wanita yang selalu menemaninya dari nol.
"KTP-mu, mana?" tanyanya, dengan mengulurkan tangan.
"Buat apa, Mas?" tanyaku.
"Sudahlah, aku mau selesaikan pembayaran dulu," Mas Attar membuang muka.
Baru seperti ini saja, rasanya sudah sakit. Apalagi saat aku harus mengetahui kenyataan, jika Mas Attar benar-benar berselingkuh dengan Shanum.
Mengingat gadis itu, aku jadi teringat pesan beruntun dan panggilan yang belum sempat kulihat. Begitu aku membuka alikasi hijau, di sana tidak ada pesan baru yang belum terbaca atau panggilan yang tidak terjawab. Pasti Mas Attar telah menghapusnya, saat aku mau mandi tadi.
"Hilman, ya, Hilman!" ocehku.
Aku ingat Hilman pernah membantuku. Saat aku sedang dekat dengan seseorang dan dia mengirim pesan padaku, tapi tidak sengaja kuhapus. Kuhubungi dia untuk bertanya,
"Kita ketemuan!" ujarnya dengan nada serius, bahkan terdengar tidak ingin dibantah.
"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman."Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya."Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku."Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.***Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu
Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana. Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya. Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla. "Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura. "Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko. Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!" "Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku ding
"Bapak!" seruku.Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun."Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu."Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria."Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya."Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak ba
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l
"Maksud kamu?" geramku, wajahku mungkin sudah sangat merah padam, karena sindiran halus dari Radit.Radit tertawa melihatku marah, dia memintaku untuk duduk kembali dan menenangkanku. Kemudian memberikan penjelasan versi dia sebagai laki-laki."Mbak, jika laki-laki memilih perempuan lain, itu banyak faktornya dan tidak bisa seratus persen disalahkan. Semua ada sebab musababnya, coba mbak perhatikan baik-baik apa saja yang terjadi tujuh tahun belakangan," Radit seakan menyadarkanku. "Semua bisa, karena Magic, atau memang Attar mata kerangjang, karena jatuh cinta lagi, karena bosan. Ingin merasakan sensasi berbeda, entah itu dari perilaku wanita padanya, masakan wanitanya, harum wanitanya, dan masih banyak yang lainnya. Ini tergantung istrinya sanggup atau tidak mengembalikan keharmonisan keluarganya,"Aku mendengarkan penuturannya dengan sangat baik, meski dia belum menikah, Radit di kelilingi oleh teman-teman yang sudah membina rumah tangga cukup lama. Pastinya dia sudah mengenal berb
"Sudah, sekarang kamu jangan terlalu fokus pada wanaita itu. Kamu fokus bagaimana bisa menjadi lebih baik, dan membuat Attar bisa kembali menjadi dia yang kamu kenal!" Nasehat ibu yang ingin kubantah. Namun, aku ingat dengan diriku yang belum bisa menjaga berat badan, apakah hanya karena ini, Mas Attar hatinya tergoda, dan membuatnya bisa di guna-guna, bukan karena suka. Tentu saja, hal ini membuatku semakin putus asa. Mas Attar adalah lelaki yang bisa menjaga pandangannya, selama kami menikah dan belum dikaruniai anak, dia pernah kuminta untuk menikah lagi, tapi langsung ditolak olehnya. Mas Attar mengatakan akan berjuang dan hidup hanya bersamaku. Kenyataannya, baru tujuh tahun dia sudah berubah. Benar kata pepatah, lelaki diuji, ketika memiliki harta dan tahta. Sedangkan wanita akan diuji, saat suaminya tidak memiliki apa-apa. "Mau ibu antar, atau Radit?" tawar ibu. Tangan ibu mengusap punggungku dengan lembut, terasa sekali kasih sayang yang dia berikan. Terkadang aku merasa se
Aku bertanya, ketika Mas Attar masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam dan langsung menerobos masuk ke kamar, setelah seminggu tidak pulang. Mengobrak-abrik lemari pakaiaan, dan terlihat sangat panik. “Kamu ke mana, kan sertifikat rumah?” tanya Mas Attar marah. “Aku tidak tahu, Mas! Kamu kenapa jadi kasar begini?” tanyaku lirih, berusaha menghormati dia yang selalu membersamaiku selama ini. “Kamu!” Tangan Mas Attar terulur ke leherku, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Bebarengan dengan tangis Aqilla yang tidak biasa, sehingga membuat cengkraman tangan Mas Attar terlepas. Aku langsung berlari ke ruang santai, di mana Aqilla tidur di dalam box bayi. Kuangkat anakku, memeriksa tempat tidurnya dengan seksama, takut jika ada semut atau hewan lainnya. Sekilas, kulirik Mas Attar yang terduduk lesu di pinggir ranjang. Tangannya mengacak-acak rambut yang mulai panjang dengan sangat kasar, kemudian memukul ranjang dengan membabi buta. Hatiku cukup mencelos dibuatnya, tidak lagi mengena