Share

Bab 3

Author: Blade Armore
last update Last Updated: 2022-08-09 07:01:42

Apa-apaan ini, bisa-bisanya mendukung perselingkuhan, aku dibuat geram karenanya. Langsungku stalking kedua akun, yang me-mentionku dan orang di balik komentar aneh. belum selesai akun mencari tahu siapa di balik akun-akun itu, suara seseorang di depan sana mengalihkan perhatianku.

"Assalamualaikum," salam sesorang yang kuyakin Mbak Naura.

Kuletakan posel di atas nakas dan bergegas membuka pintu, untuk menemuinya.

"Waalaikumusalam, Mbak. Ada apa?" tanyaku bingung, karena jarang sekali dia datang pagi-pagi.

Mbak Naura masuk tanpa aku suruh, dan langsung duduk. Memijat pelipisnya berulang kali. Apa dia ada masalah, ya, batinku.

"Mbak sudah sarapan?" tanyaku.

Dia tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan sendu. Kemudian memelukku erat, menepuk punggungku pelan.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku.

Aku benar-benar bingung dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya saat pulang dari sini semalam. Kuurai pelukan darinya dan bertanya ada apa, untuk kesekian kalinya.

"Kamu adalah adik mbak, apa pun yang terjadi, mbak akan selalu di belakangmu!" serunya dengan menahan isakan.

Aku mengeryit, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang diucapkannya. Perlahan aku bertanya padanya, tentang dirinya yang tiba-tiba seperti ini. Tapi dia hanya diam saja, dan beralih menanyakan aset milik Mas Attar.

"Semua atas nama Mas Attar, Mbak." Aku menjawab setelah yakin dengan pertanyaannya.

"Sekarang kamu harus memindahkan semuanya atas nama kamu, bagaimanapun caranya!" Dengan dagu terangkat, Mbak Naura mengatakan hal yang membuatku merasa semakin aneh.

"Mbak kenapa, sih?" Mata kusipitkan, saat bertanya.

Sepertinya mulai kebiasaan Mbak Naura yang mendadak diam saat aku tanya, dia malah asik bermain ponsel. Kemudian, dia berjingkat. Menatapku sayu dan kembali memelukku erat.

"Brengs*ek si Attar!" makinya.

"Mbak! Ada apa sih?" tanyaku yang benar-benar ingin jawaban darinya.

Dengan tangan bergetar, Mbak Naura menunjukan status seseorang yang kuyakini Shanum, karena hanya dia yang selama tiga bulan ini mengirimkan pesan untuk Mas Attar. Namun, status yang ini berbeda dengan status yang tadi aku baca.

"JIKA SUDAH SAMA-SAMA CINTA, KENAPA HARUS MENUNDA UNTUK BERSAMA. KITA TIDAK MERUGIKAN ORANG LAIN!"

Ujar status yang kembali me-mention akunku dan akun Mas Attar. Apa maunya gadis itu, apakah dia benar-benar mencintai Mas Attar, dan apakah Mas Attar juga mulai main hati dengannya?

"Udah, jangan kamu pikirkan. Sekarang kamu harus cerdik, untuk mempertahankan rumah tangga kamu. Minimal memiliki hak untuk masa depan Aqilla.

Aku tersenyum bangga melihat kakak iparku yang satu ini, jika di luar sana banyak sekali ipar yang saling sikut, tidak halnya dengan wanita yang selalu mendukungku.

Kecurigaanku mulai tumbuh pada Mas Attar, meski dia terbuka padaku. Akan tetapi aku tidak tahu isi hatinya yang terdalam.

"Mbak, tapi Mas Attar sudah mengatakan tidak melakukan itu!" ucapku seraya meringis.

"KIta tidak tahu hatinya, kan?" tanyanya seperti apa yang kupikirkan.

Aku mengangguk dan bertanya harus bagaimana menghadapi ini, karena aku tidak ingin keutuhan rumah tanggaku terganggu, apalagi di rusak oleh wanita lain.

"Pertama-tama, semua aset harus di balik nama atas namamu atau Aqilla. Kedua, kamu harus mempercantik diri, ikut semua senam dan perawatan!" saran Mbak Naura. "Jangan biarkan ulut bulu yang masih piyik mengganggu rumah tanggamu!" imbuhnya malah membuatku tertawa.

Aku pun sempat terpana, kala melihat lekuk tubuh Shanum yang aduhai. Benar-benar idaman para lelaki, berbeda denganku yang makin melebar setelah melahirkan Aqilla.

"Tapi aku tidak berani bilang ke Mas Attar, Mbak," lirihku.

"Nanti kita cari caranya," ujarnya. "Sekalian aku mau mencari tahu tentang gadis pengoda itu!" tambahnya penuh semangat.

"Oya, Mbak. Mas Attar bulan ini berniat membeli mobil, lagi nunggu bonus cair," ujarku saat mengingat perkataan Mas Attar yang berniat membeli mobil untuk jalan-jalan dan mengantar ibu mertua berobat, agar tidak terus menerus sewa.

"Bagus, coba minta atas namamu. Kalau tidak boleh, bilang ke Mbak!" tegasnya.

Ponselku beberapa kali menerima pesan beruntun, lalu suara dering terdengar berulang kali. Membuyarkan konsentrasiku berbincang dengan Mbak Naura.

"Mungkin Attar," ujar Mbak Naura dan aku membantahnya, karena ponsel Mas Attar rusak olehku dan tidak mungkin dia langsung membeli yang baru.

Saat ingin melihat siapa yang memberondongku dengan pesan dan panggilan, Aqilla bangun dan menangis kencang. Mau tidak mau aku mengurus Aqilla terlebih dulu, dan Mbak Naura ijin pulang, karena anaknya mau berangkat sekolah.

***

"Loh, kamu kok sudah pulang, Mas?" tanyaku kaget saat melihat Mas Attar pulang dengan wajah pucat, padahal tadi sudah sarapan.

"Aku hanya lelah dan tidak bisa konsentrasi di kantor," terangnya yang membuatku heran.

Kulirik jam dinding, waktu menunjukan jam sebelas siang. Mas Attar membersihkan diri, lalu mengajak Aqilla bermain dan mereka terlihat sangat bahagia, membuatku semakin tidak percaya, jika konsentrasinya hilang.

"Mas, katanya ...," tanyaku terhenti, karena dipotong oleh Mas Attar.

"Yuk, kita jalan-jalan. Tadi kamu bilang mau pergi, kan?" ajaknya, yang makin membuatku curiga.

"Aku siap-siap dulu, Mas!" Aku meninggalkan Mas Attar dan Aqilla.

Perasaanku agak aneh, saat akan berjalan ke kamar mandi. Pandanganku tertuju begitu saja ke nakas tempatku meletakkan ponsel tadi, dan benar saja kecurigaanku, Mas Attar memegang ponsel milikku. Tidak pernah Mas Attar memeriksa ponselku, dan jika ingin menggunakannya maka dia akan bertanya lebih dulu. Sebenarnya mau apa dia, apa yang dia curigai dari ponselku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 121

    Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 120

    Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 119

    "Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 118

    Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 117

    Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 116

    Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 115

    "Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 114

    Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 113

    Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status