"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
Eh ... eh ..., mau ngapain kamu?" Tiba-tiba Kak Norma menghadangku untuk berjalan ke ruang tamu. "Mau antar minuman untuk tamu-tamu ibu, Kak." "Halaah! Bilang aja kamu mau nguping sekalian cari muka. Iya, kan?" sanggah Kak Lina-kakak iparku. "Cari muka terus kamu sama ibu, ya!" lanjutnya lagi dengan wajah sinis. "Kamu mau curi-curi informasi warisan dari notaris yang sedang berbincang dengan Ibu itu, kan?" Kak Norma melotot seraya berkacak pinggang di depanku. Entah kenapa kedua kakak iparku itu selalu saja curiga padaku. Apalagi sejak meninggalnya Bang Irsan-suamiku. Mereka tidak pernah suka jika Ibu mertuaku lebih perhatian padaku."Ini ibu yang menyuruhku membuat minum untuk para tamunya, Kak." "Sudah-sudah sini biar aku aja yang antar ke depan!" Kak Norma langsung mengambil alih nampan yang berisi tiga gelas teh di tanganku. "Hei Salma! Asal kamu tau ya, kamu tidak akan mendapat warisan sedikitpun. Jadi jangan pernah mimpi bisa hidup enak setelah ibu membagikan warisan seha
Aku berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan. Derai air mata menemani langkahku. Aku tak peduli orang menatap heran ataupun iba padaku. Saat ini aku hanya mengikuti kemana kaki ini hendak membawaku. Entah bagaimana nasib anakku nanti. Saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga saja aku segera mendapat pekerjaan untuk melanjutkan hidup. Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Sejak kedua orang tuaku meninggal, aku hanya hidup sebatang kara. Beruntung aku bertemu dengan Bang Irsan. Laki-laki yang begitu baik dan menyayangiku. Hingga Bang Irsan menjadikan aku sebagai istrinya. Namun semua itu tak bertahan lama. Belum genap setahun kami menikah, Bang Irsan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Selama tinggal di sana, aku sadar diri tidak bisa membantu mencari nafkah. Semua biaya hidupku dan Raihan ditanggung oleh keluarga Ibu Mertua. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membantah setiap apapun yang mereka suruh. Bunda dulu perna
Perlahan aku membuka bagian atas amplop yang merekat. Aku ternganga, lalu membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak. Mataku membulat saat melihat sejumlah uang kertas berwarna merah yang sudah diikat-ikat menyembul keluar dari dalam amplop itu. Astaghfirullahaladzim! Uang siapa ini? Selembar kertas terselip pada tepi amplop. Gegas aku membuka kertas yang sepertinya ada tulisan seseorang di dalamnya. [Terima kasih sudah menolong Bapak Saya. Sebagai ucapan terima kasih, gunakanlah uang di dalam amplop ini sebaik-baiknya. Jika anda membutuhkan sesuatu, datanglah ke kantorku. Alamatnya ada di amplop ini. Yuda ] Ya Allah, ternyata uang ini dari anak kakek yang aku tolong tadi. Alhamdulilah. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya bersyukur. Lebih baik uang ini aku gunakan untuk modal usaha. Mungkin akan aku gunakan untuk berdagang di sekitar sini. Aku meletakkan uang itu kembali ke dalam tas. Besok pagi aku akan mencari kontrakan dekat-dekat sini. Kebetulam harga kontrakan disini tidak
"Apaaa? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak, haa ...?" Spontan aku menoleh pada suara yang sangat aku kenal. Kak Norma dan Kak Lina telah berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. "Kamu pasti mencuri uang Ibu!" Lagi-lagi kedua iparku yang nggak ada akhlaq ini memfitnahku seenaknya. Sontak para pengunjung warung Teh Ika menoleh padaku. "Kalian nggak punya kerjaan selain memfitnah aku terus?" ujarku tenang sambil dengan sengaja membuka dompetku yang penuh dengan lembaran uang seratusan ribu. Meraihnya beberapa lembar dan memberikannya pada Teh Ika. Sempat aku melirik pada kedua iparku yang masih ternganga melihat isi dompetku. Mereka saling colek dan berbisik. Aku tersenyum puas melihat ekspresi wajah mereka. "Ini uangnya. Saya tunggu barang-barangnya ya Teh!" ujarku seraya menutup dompetku kembali. Tanpa menoleh lagi pada kedua kakak iparku, Aku dan Raihan beranjak meninggalkan warung Teh Ika. "Sombong sekali kamu, Salma! Baru punya uang segitu aja udah nggak mau n
"Tuan ... tuan ..., ini terlalu banyak!" Namun laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukanku. "Tuan ... Tuan ...!" Namun pria tampan itu sudah masuk ke dalam mobilnya. Lebih baik kembaliannya nanti aku antar ke proyek saja. Gegas aku buatkan pesanannya, selagi Raihan masih di gendong Bang Adam. Setelah semuanya selesai, Aku segera membereskan perlengkapan daganganku dan memasukkannya ke dalam gerobak. Setelah semua rapi, Aku meraih Raihan yang sudah tertidur di pangkuan Bang Adam. "Loh, bukannya kamu mau antar pesanan Bos proyek tadi?"tanya kakak iparku itu. "Iya, Bang. Raihan aku bawa aja." "Biarlah Raihan sama aku dulu. Sana kamu antar pesanannya!" "Jangan Bang! nanti ngerepotin. Proyeknya jauh. Nanti kelamaan aku ninggalin Raihan." "Repot apa, udah sana jalan!" "Ya udah deh kalau maksa. Aku jalan dulu ya, Bang." Bang Adam mengangguk masih tanpa senyum. Kenapa laki-laki baik itu susah sekali untuk senyum. Namun Raihan selalu merasa nyaman setiap bersamanya. Aku berjal
"Ingin apa, Bang? Bang Adam nampak gugup. Keringat mengalir dari keningnya. Tangannya nampak gemetar. Persis seperti ketika Bang Irsan ingin menyatakan cintanya padaku. Kakak iparku itu menatapku agak berbeda dari biasanya. Apa sebenarnya yang akan dia katakan? Aku menunggu dengan jantung berdebar. Berharap agar tidak ada sesuatu yang serius terjadi. Tiba-tiba Raihan merengek. Sepertinya benar kata Bang Adam. Anakku ini haus. Raihan mulai rewel dan berontak. Sesekali tubuhnya hendak merosot turun dari gendonganku. Aku mulai kewalahan. "Bang, maaf, Aku harus segera pulang. Raihan minta ASI," ujarku seraya mengikat kain panjang penggendong Raihan dengan kencang agar tak lepas. Kemudian aku meraih gerobak yang sudah berisi perlengkapan daganganku itu dan mulai mendorongnya. Kulihat Bang Adam terdiam menatapku tanpa kata. Sementara Raihan sudah sangat rewel hingga aku kesulitan mendorong gerobak sambil menggendongnya. Raihan terus berontak hingga kain gendongannya nyaris terlepas.