Share

Bab 3. Amplop Misterius

Perlahan aku membuka bagian atas amplop yang merekat. Aku ternganga, lalu membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak. Mataku membulat saat melihat sejumlah uang kertas berwarna merah yang sudah diikat-ikat menyembul keluar dari dalam amplop itu.

Astaghfirullahaladzim! Uang siapa ini? Selembar kertas terselip pada tepi amplop. Gegas aku membuka kertas yang sepertinya ada tulisan seseorang di dalamnya.

[Terima kasih sudah menolong Bapak Saya. Sebagai ucapan terima kasih, gunakanlah uang di dalam amplop ini sebaik-baiknya. Jika anda membutuhkan sesuatu, datanglah ke kantorku. Alamatnya ada di amplop ini. Yuda ]

Ya Allah, ternyata uang ini dari anak kakek yang aku tolong tadi. Alhamdulilah. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya bersyukur. Lebih baik uang ini aku gunakan untuk modal usaha. Mungkin akan aku gunakan untuk berdagang di sekitar sini.

Aku meletakkan uang itu kembali ke dalam tas. Besok pagi aku akan mencari kontrakan dekat-dekat sini.  Kebetulam harga kontrakan  disini tidak terlalu mahal. Aku akan menyewa kontrakan satu kamar. Setidaknya cukup untuk aku berdua  dengan Raihan.

Sebenarnya ini masih wilayah sekitar rumah ibu mertua. Tapi aku tidak tahu lagi akan  pergi ke mana lagi. Biarlah untuk sementara aku tinggal di sekitar puskesmas ini. Warga yang tinggal di sekitar sini cukup ramai. Sangat pas jika aku berdagang di sini. Namun hal ini masih aku pikirkan. Sebaiknya malam ini aku tidur. Semoga besok Allah memberi petunjuk padaku.

.

.

.

Pagi-pagi sekali Raihan sudah bangun. Setelah membersihkan diri, aku dan Raihan kembali berada di teras belakang sambil menunggu siang. Satu persatu karyawan puskesmas mulai berdatangan hendak menjalankan tugasnya.

"Loh, Mbak Salma pagi-pagi sudah ada di sini? Siapa yang sakit?" Seorang petugas puskesmas yang kebetulan tetanggaku terheran melihat aku berada di teras belakang sambil menggendong Raihan.

"Eh, ...t-tidak ada yang sakit, Pak Cahya.

S-saya numpang menginap di sini semalam."

"Apa? Menginap?" Pria paru baya itu terheran melihatku

Aku mengangguk.

"Apa Mbak Salma diusir dari rumah?" tanyanya lagi seraya matanya menelisik pada tas besar yang sekarang berada di atas kursi teras ini.

Aku mengangguk lemah. Kembali terasa sesak di dada ketika mengingat ibu mengusirku kemarin.  Memang akhir-akhir ini, sejak ibu berencana akan menjual rumah dan semua tanah warisan almarhum ayah, Ibu sering membentakku. Bahkan beberapa kali memarahiku. Padahal sebelumnya Ibu begitu baik dan perhatian sekali.

Mungkin ibu sedang banyak pikiran. Karena terus didesak oleh anak-anaknya untuk segera menjual tanah warisan Ayah.

"Aku udah nggak  sabar mau naik mobil mewah, Bang."

"Pokoknya aku mau jalan-jalan keliling Indonesia. Kuliner di setiap kota."

"Aku mau shoping-shoping tiap hari."

Banyak sekali keinginan dari ipar-iparku itu.

"Trus sekarang Mbak Salma sama Raihan tinggal di mana?" Pertanyaan Pak Cahya membuyarkan lamunanku.

"Belum tahu, Pak. Rencana mau cari kontrakan di dekat-dekat sini saja."

Pak Cahya terdiam sejenak. Pria paru baya itu  nampak berpikir.

"Kalau Mbak Salma mau, bisa berdagang di sekitar puskesmas ini. Karyawan sini agak kesulitan mencari makan untuk sarapan dan makan siang. Karena warung nasi jauh dari sini. Juga tidak mungkin meninggalkan pasien yang masih mengantri."

"MasyaAllah, mau ...! Saya mau, Pak!" Bagai mendapat durian runtuh,  aku terpekik karena bahagia.

"Ya sudah. Jika Mbak Salma sudah siap,kabari saya!"

"Baik, Pak Cahya. Terimakasih!"

Begitu banyak kemudahan yang aku dapatkan, Ya Allah. Tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati.

"Kalau begitu, Saya mau lanjut kerja dulu," pamit Pak Cahya seraya beranjak meninggalkanku.

Aku berjalan menuju halaman depan puskesmas sambil menggendong Raihan. Pasien yang ingin berobat mulai berdatangan. Pandanganku beralih pada seorang wanita paru baya di depan puskesmas. Perlahan aku pun mendekatinya.

"Sini saya bantu, Bu!" Aku meraih sapu dari wanita itu yang ternyata adalah salah seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman puakesmas.

"Jangan, Nak! Nanti merepotkan," tolak ibu itu.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa."

"Terima kasih, Nak. Kalau gitu Ibu sapu belakang ya.."

"Siap, Bu."

Sejak Raihan bayi,  Aku memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan sambil menggendong. Semua pekerjaan tetap bisa aku selesaikan dengan baik. Seperti sekarang ini. Raihan tetap tenang dalam gendonganku walaupun aku sedang menyapu.

"Salma! Apa-apaan kamu? Bikin malu keluarga saja!"

Aku terlonjak mendengar suara Kak Norma yang aku kenali, tiba-tiba sudah ada di belakangku.

"Kenapa, Kak? Memangnya Kak Norma peduli?" tanyaku tetap berusaha tenang.

"Hei, dasar jadi orang nggak pinter-pinter! Kalau diusir tuh pergi yang jauh sekalian. Ini malah masih di sini jadi tukang sapu.  Bikin malu, tahu nggak!"

Aku tidak mempedulikan Kak Norma yang terus mengomeliku habis-habisan. Sudah biasa. Nanti juga kalau capek, dia diam sendiri. Sementara orang-orang sekitar mulai mendekat dan memperhatikan kami

"Salma, Kamu dengar nggak, sih?" Kak Norma memanggilku setengah berteriak

"Ada apa, ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Cahya menghampiri kami.

"Eh, Pak Cahya. Mohon maaf, Pak. Ini saya lagi ngomelin si Salma. Bikin malu keluarga aja.  Semua orang di kampung ini tahu kalau keluarga kami terpandang. Malah jadi tukang sapu!"

Pak Cahya dan orang-orang yang menonton kami geleng-geleng kepala mendengar ucapan kakak iparku itu.

"Oh begitu? Kalau tidak mau malu, saudara sendiri jangan ditelantarkan, dong. Apalagi Raihan itu anak yatim. Keluarga kalian bisa berdosa besar menyia-nyiakan mereka berdua."

Jleb!

Ucapan Pak Cahya membuat kakak iparku itu gelagapan.

Aku melihat wajah Kak Norma yang merah padam memandangku. Aku pura-pura tidak lihat saja. Sementara Pak Cahya sudah berlalu dari hadapan kami.

.

.

.

Bersyukur aku dapat mengontrak tak jauh dari puskesmas.

Hari ini aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk berdagang besok. Jadi sore ini aku berbelanja beberapa bahan makanan di warung Teh Ika. Seperti biasa aku berbelanja sambil menggendong Raihan. Warung Teh Ika kebetulan tidak jauh dari rumah kontrakan tempat tinggalku.

"Teh, belanjaannya tolong di totalin semua, lalu tolong diantar ke kontrakan Pak Haji Hasan!" pintaku pada pemilik warung ini.

Warung Teh Ika memang sangat lengkap. Semua bahan masakan, sembako serta  perabot untuk memasak aku beli di sini. Untuk sayuran dan bahan lauk pauk bisa aku beli besok setelah sholat subuh.

Bersyukur Pak Cahya sudah memesan paket makan siang setiap hari untuk  beberapa karyawan puskesmas.

"Jadi berapa semua, Teh?"

"Totalnya enam ratus tiga puluh ribu, Mbak Salma."

"Apaaa? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak, Salma?"

Spontan aku menoleh pada suara yang sangat aku kenal.

Comments (6)
goodnovel comment avatar
R Nanang Wiratna
hhhhhhhh.ini cuma ceritA harap bersabar dan jangan baper
goodnovel comment avatar
Brexs Adun
sama2 ipar aja sok
goodnovel comment avatar
Muhammad Dzakir Al kahfi
ini iparnya mulutnyaa itu bagus di kasih cabe rawit, biar bisa diam
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status