Perlahan aku membuka bagian atas amplop yang merekat. Aku ternganga, lalu membekap mulutku sendiri agar tidak berteriak. Mataku membulat saat melihat sejumlah uang kertas berwarna merah yang sudah diikat-ikat menyembul keluar dari dalam amplop itu.
Astaghfirullahaladzim! Uang siapa ini? Selembar kertas terselip pada tepi amplop. Gegas aku membuka kertas yang sepertinya ada tulisan seseorang di dalamnya.[Terima kasih sudah menolong Bapak Saya. Sebagai ucapan terima kasih, gunakanlah uang di dalam amplop ini sebaik-baiknya. Jika anda membutuhkan sesuatu, datanglah ke kantorku. Alamatnya ada di amplop ini. Yuda ]Ya Allah, ternyata uang ini dari anak kakek yang aku tolong tadi. Alhamdulilah. Lagi-lagi aku tak henti-hentinya bersyukur. Lebih baik uang ini aku gunakan untuk modal usaha. Mungkin akan aku gunakan untuk berdagang di sekitar sini.Aku meletakkan uang itu kembali ke dalam tas. Besok pagi aku akan mencari kontrakan dekat-dekat sini. Kebetulam harga kontrakan disini tidak terlalu mahal. Aku akan menyewa kontrakan satu kamar. Setidaknya cukup untuk aku berdua dengan Raihan.Sebenarnya ini masih wilayah sekitar rumah ibu mertua. Tapi aku tidak tahu lagi akan pergi ke mana lagi. Biarlah untuk sementara aku tinggal di sekitar puskesmas ini. Warga yang tinggal di sekitar sini cukup ramai. Sangat pas jika aku berdagang di sini. Namun hal ini masih aku pikirkan. Sebaiknya malam ini aku tidur. Semoga besok Allah memberi petunjuk padaku....Pagi-pagi sekali Raihan sudah bangun. Setelah membersihkan diri, aku dan Raihan kembali berada di teras belakang sambil menunggu siang. Satu persatu karyawan puskesmas mulai berdatangan hendak menjalankan tugasnya."Loh, Mbak Salma pagi-pagi sudah ada di sini? Siapa yang sakit?" Seorang petugas puskesmas yang kebetulan tetanggaku terheran melihat aku berada di teras belakang sambil menggendong Raihan."Eh, ...t-tidak ada yang sakit, Pak Cahya.S-saya numpang menginap di sini semalam.""Apa? Menginap?" Pria paru baya itu terheran melihatkuAku mengangguk."Apa Mbak Salma diusir dari rumah?" tanyanya lagi seraya matanya menelisik pada tas besar yang sekarang berada di atas kursi teras ini.Aku mengangguk lemah. Kembali terasa sesak di dada ketika mengingat ibu mengusirku kemarin. Memang akhir-akhir ini, sejak ibu berencana akan menjual rumah dan semua tanah warisan almarhum ayah, Ibu sering membentakku. Bahkan beberapa kali memarahiku. Padahal sebelumnya Ibu begitu baik dan perhatian sekali.Mungkin ibu sedang banyak pikiran. Karena terus didesak oleh anak-anaknya untuk segera menjual tanah warisan Ayah."Aku udah nggak sabar mau naik mobil mewah, Bang.""Pokoknya aku mau jalan-jalan keliling Indonesia. Kuliner di setiap kota.""Aku mau shoping-shoping tiap hari."Banyak sekali keinginan dari ipar-iparku itu."Trus sekarang Mbak Salma sama Raihan tinggal di mana?" Pertanyaan Pak Cahya membuyarkan lamunanku."Belum tahu, Pak. Rencana mau cari kontrakan di dekat-dekat sini saja."Pak Cahya terdiam sejenak. Pria paru baya itu nampak berpikir."Kalau Mbak Salma mau, bisa berdagang di sekitar puskesmas ini. Karyawan sini agak kesulitan mencari makan untuk sarapan dan makan siang. Karena warung nasi jauh dari sini. Juga tidak mungkin meninggalkan pasien yang masih mengantri.""MasyaAllah, mau ...! Saya mau, Pak!" Bagai mendapat durian runtuh, aku terpekik karena bahagia."Ya sudah. Jika Mbak Salma sudah siap,kabari saya!""Baik, Pak Cahya. Terimakasih!"Begitu banyak kemudahan yang aku dapatkan, Ya Allah. Tak henti-hentinya aku bersyukur dalam hati."Kalau begitu, Saya mau lanjut kerja dulu," pamit Pak Cahya seraya beranjak meninggalkanku.Aku berjalan menuju halaman depan puskesmas sambil menggendong Raihan. Pasien yang ingin berobat mulai berdatangan. Pandanganku beralih pada seorang wanita paru baya di depan puskesmas. Perlahan aku pun mendekatinya."Sini saya bantu, Bu!" Aku meraih sapu dari wanita itu yang ternyata adalah salah seorang petugas kebersihan yang sedang menyapu halaman puakesmas."Jangan, Nak! Nanti merepotkan," tolak ibu itu."Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah biasa.""Terima kasih, Nak. Kalau gitu Ibu sapu belakang ya..""Siap, Bu."Sejak Raihan bayi, Aku memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan sambil menggendong. Semua pekerjaan tetap bisa aku selesaikan dengan baik. Seperti sekarang ini. Raihan tetap tenang dalam gendonganku walaupun aku sedang menyapu."Salma! Apa-apaan kamu? Bikin malu keluarga saja!"Aku terlonjak mendengar suara Kak Norma yang aku kenali, tiba-tiba sudah ada di belakangku."Kenapa, Kak? Memangnya Kak Norma peduli?" tanyaku tetap berusaha tenang."Hei, dasar jadi orang nggak pinter-pinter! Kalau diusir tuh pergi yang jauh sekalian. Ini malah masih di sini jadi tukang sapu. Bikin malu, tahu nggak!"Aku tidak mempedulikan Kak Norma yang terus mengomeliku habis-habisan. Sudah biasa. Nanti juga kalau capek, dia diam sendiri. Sementara orang-orang sekitar mulai mendekat dan memperhatikan kami"Salma, Kamu dengar nggak, sih?" Kak Norma memanggilku setengah berteriak"Ada apa, ribut-ribut?" Tiba-tiba Pak Cahya menghampiri kami."Eh, Pak Cahya. Mohon maaf, Pak. Ini saya lagi ngomelin si Salma. Bikin malu keluarga aja. Semua orang di kampung ini tahu kalau keluarga kami terpandang. Malah jadi tukang sapu!"Pak Cahya dan orang-orang yang menonton kami geleng-geleng kepala mendengar ucapan kakak iparku itu."Oh begitu? Kalau tidak mau malu, saudara sendiri jangan ditelantarkan, dong. Apalagi Raihan itu anak yatim. Keluarga kalian bisa berdosa besar menyia-nyiakan mereka berdua."Jleb!Ucapan Pak Cahya membuat kakak iparku itu gelagapan.Aku melihat wajah Kak Norma yang merah padam memandangku. Aku pura-pura tidak lihat saja. Sementara Pak Cahya sudah berlalu dari hadapan kami....Bersyukur aku dapat mengontrak tak jauh dari puskesmas.Hari ini aku mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk berdagang besok. Jadi sore ini aku berbelanja beberapa bahan makanan di warung Teh Ika. Seperti biasa aku berbelanja sambil menggendong Raihan. Warung Teh Ika kebetulan tidak jauh dari rumah kontrakan tempat tinggalku."Teh, belanjaannya tolong di totalin semua, lalu tolong diantar ke kontrakan Pak Haji Hasan!" pintaku pada pemilik warung ini.Warung Teh Ika memang sangat lengkap. Semua bahan masakan, sembako serta perabot untuk memasak aku beli di sini. Untuk sayuran dan bahan lauk pauk bisa aku beli besok setelah sholat subuh.Bersyukur Pak Cahya sudah memesan paket makan siang setiap hari untuk beberapa karyawan puskesmas."Jadi berapa semua, Teh?""Totalnya enam ratus tiga puluh ribu, Mbak Salma.""Apaaa? Uang dari mana kamu belanja begitu banyak, Salma?"Spontan aku menoleh pada suara yang sangat aku kenal."Mas, sepertinya lagi banyak tamu." Langkah Seruni terhenti ketika hendak masuk ke dalam rumah bersama Elkan. "Mereka semua kakak-kakakku. Ayo kita masuk!" Seruni merasa ciut ketika melihat penampilan kakak-kakak Elkan dan keponakannya yang glamour dan elegan. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sangat sederhana. "Kenapa? Takut? Atau malu?" bisik Elkan saat Seruni menolak untuk masuk ke dalam. Seruni menggeleng dengan wajah pucat. Ia takut tidak diterima oleh keluarga besar suaminya. "Ayo Sayang ...!" Seruni menunduk menatap pakaiannya. Untunglah di mall tadi dia sudah berganti pakaian dengan yang baru. Kemeja dan kulot berbahan silk import yang sempat membuat Seruni ternganga melihat harganya. Setelah menarik napas panjang, Seruni menggandeng tangan Elkan untuk masuk ke dalam. "Selamat malam semua ...!" sapa Elkan pada keluarga besarnya yang sedang berbincang di ruang tamu. "Malam ..., nah ini dia yang ditunggu-tunggu2 sudah datang." Semua menoleh ke arah pintu. Seruni m
"Kami akan mengundang kalian di acara resepsi kami minggu depan." Elkan menyerahkan sebuah undangan berwarna perak. "Resepsi?" Salma masih memandang heran dengan keduanya. "Syukurlah. Akhirnya kamu menikah juga. Aku pikir kamu akan seperti Rein." Yuda tertawa lega. Elkan tersenyum namun sesekali masih mencuri-curi memandang Salma dengan lekat. Hal ini pun tidak luput dari penglihatan Seruni dan Yuda. Mereka berbincang hangat. Seruni sesekali ikut tertawa, menjawab secukupnya jika ada yang bertanya. Kesan pertama Seruni pada Salma adalah seorang wanita yang lembut dan ramah. Sungguh Seruni sangat kagum pada sahabat suaminya itu. Seruni pun merasa ada sesuatu antara suaminya dengan Salma. Namun entahlah, dia belum bisa menerka-nerka. Seruni melihat tatapan yang berbeda dari suaminya saat memandang Salma. Raihan dan Maina pun sangat akrab dengan Elkan. Seruni juga melihat suaminya itu sudah sangat familiar dengan lingkungan di rumah itu. Termasuk para pelayannya. Namun Seruni melih
"Elkan .. , akhirnya kamu datang," ucap Salma. Sungguh ia tak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Elkan spontan berdiri, lalu menatap wanita yang hampir menjadi istrinya itu dengan lekat. Semua kenangan itu langsung terlintas begitu saja di benaknya. Banyak waktu yang telah mereka lalui bersama. Kenangan itu masih sangat segar di ingatannya. Salma pun demikian. Ia mampu melewati masa-masa sulitnya bersama Elkan. Pria yang mau menemaninya di saat dirinya tak punya siapa-siapa. Pria yang selalu menyemangatinya di saat dirnya lemah. Entah apa yang terjadi jika tak ada Elkan di dekatnya waktu itu. Elkan bahkan mau berkorban demi kebahagiaannya dan Yuda. Seruni merasakan ada sesuatu diantara suaminya dan wanita yang dipanggil Salma itu. Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Seruni sempat kagum pada kecantikan wajah Salma yang begitu menenangkan.. "Om Elkan, ayo kita masuk!" Yumaina menarik lengan kekar Elkan untuk masuk ke ruang tamu. "Astaghfirullah ... Sampai l
"Maaf, ya ...! Maaf ...! Saya permisi dulu. Istri saya sudah menunggu!" "Apaa? Istri?" "Mas Elkan becanda ya? "Memangnya Mas Elkan sudah punya istri?" Para wanita penggemar Elkan itu bukannya menjauh, malah semakin penasaran ketika Elkan mengatakan ditunggu istrinya. "Oke ... oke, Aku akan perkenalkan istriku pada kalian." Elkan berkata seraya tersenyum menatap istrinya yang sedang cemberut sejak tadi. Mata Seruni melebar mendengar ucapan Elkan. Wanita itu lantas memberi kode dengan tangannya agar suaminya itu tidak melakukannya. Dia belum siap jika Elkan memperkenalkan dirinya sebagai istrinya di depan umum. "Yang mana istrinya Mas Elkan?" "Ayo dong Mas kenalin sama kita-kita!" Para wanita itu penasaran sambil memandang sekeliling. Elkan tak menyia-nyiakan kesempatan itu, perlahan melangkah menuju meja Seruni. Para Wanita itu terus memperhatikan Elkan yang ternyata menghampiri seorang gadis remaja yang sangat cantik walau tanpa riasan wajah. Gadis dengan rambut panjangnya
"Mas, kita ke mall ini?" Seruni memandang takjub mall besar dan megah di hadapannya. "Iya. kita parkir mobil dulu." Mobil Elkan baru saja memasuki Mall besar di daerah cassablanca. Karena akhir pekan, mall itu tampak sangat ramai pengunjung. Bahkan untuk masuk mencari parkir saja harus sabar mengantri. "Mau nonton dulu, atau belanja?" "Nonton bioskop, Mas? Wah, pasti bioskopnya bagus banget di sini." Elkan terkekeh melihat kepolosan Seruni. Gadis yang unik, namun sangat menyenangkan.. "Aku belanja apa lagi sih, Mas?" "Kata Mama, pakaian kamu itu standar remaja banget modelnya. Nanti orang-orang pikir aku ini bukan suamimu. Tapi Bapakmu." Mereka terbahak-bahak. "Tapi aku enggak ngerti model, Mas." "Gampang. Nanti minta bantuin manager tokonya." Setelah memarkir mobil, Elkan membawa Seruni masuk ke dalam mall. Nampak banyak muda mudi yang berpasangan menghabiskan waktu berakhir pekan. Seruni bergelayut manja pada lengan Elkan. Sesekali berdecak kagum melihat kemegahan mall ya
"Loh, Seruni kamu ngapain di sini?" Bu Astrid menegur Seruni yang berada di dapur. "Selamat pagi, Ma. Aku lagi masak sarapan untuk Mas," sahut Seruni tenang. Ia tak menyadari kalau Bu Astrid sudah melotot pada beberapa pelayan di sana. "M-maaf nyonya. Kami tadi sudah melarang. Tapi Non Seruni tetap mau di sini," sahut salah seorang pelayan. "Nggak apa-apa, Ma. Runi sejak kemarin nggak ngapa-ngapain. Bingung, cuma makan dan tidur aja," jelas Seruni sambil mengupas udang di wastafel. Nyonya Astrid hanya menggeleng-geleng kepala, lalu berjalan meninggalkan dapur, kemudian menghampiri putranya yang sedang minum kopi di teras samping. "Elkan, istrimu itu sebaiknya kuliah saja. Sepertinya dia jenuh di rumah." "Apa? Kuliah? Bagaimana nanti jika ada pria seumurannya yang tertarik dengannya?" pikir Elkan dalam hati. Pasti akan banyak pria yang akan tertarik dengan istrinya yang cantik itu. "Elkan, kok malah ngelamun? Kamu setuju, kan?" "Ya nanti aku bicarakan dulu dengan Seruni, Ma."