Share

Bab 2. Kakek Tua

Aku berjalan menyusuri jalan tanpa tujuan. Derai air mata menemani langkahku. Aku tak peduli orang menatap heran ataupun iba padaku. Saat ini aku hanya mengikuti kemana kaki ini hendak membawaku. Entah bagaimana nasib anakku nanti. Saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga  saja aku segera mendapat pekerjaan untuk melanjutkan hidup.

Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini. Sejak kedua orang tuaku meninggal, aku hanya hidup sebatang kara. Beruntung aku bertemu dengan Bang Irsan. Laki-laki yang begitu baik dan menyayangiku. Hingga Bang Irsan menjadikan aku sebagai istrinya. Namun semua itu tak bertahan lama. Belum genap setahun kami menikah, Bang Irsan pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sejak saat itu aku tinggal bersama ibu mertua dan ipar-iparku. Selama tinggal di sana, aku sadar diri tidak bisa membantu mencari nafkah. Semua biaya hidupku dan Raihan ditanggung oleh keluarga Ibu Mertua. Oleh sebab itu, aku tidak pernah membantah setiap apapun yang mereka suruh.

Bunda dulu pernah mengatakan bahwa ada sepupunya yang masih hidup. Namun hingga kini aku belum menemukan alamat tempat tinggalnya. Entah dimana mereka tinggal.

Tiba-tiba langkahku terhenti karena mendengar sesuatu.

"Tolong.., tolong Saya ...!"

Astaga! Tiba -tiba aku mendengar suara rintihan seseorang. Sepertinya dari gerobak yang berada tak jauh dariku.

Segera kupercepat langkahku. Aku terperanjat menemukan kakek-kakek tua sedang merintih kesakitan terbaring di dalam gerobak berisi buku-buku bekas dan botol air mineral bekas. Pakaian kakek itu robek, sepertinya baru saja tersangkut oleh sesuatu yang tajam. Sepertinya dia sangat lemas.

"Ya Allah ...! Bapak kenapa?"  Jantungku berdegup kencang melihat kondisinya yang menyedihkan.

"Tolong saya, Nak!" lirihnya dengan suara yang sangat lemah.

Aku melihat sekelilingku sangat sepi. Namun bapak tua ini harus segera aku bawa ke puskesmas. Kebetulan puskesmas sudah tidak jauh dari sini.

Bismillah .... Beruntung Raihan sedang tertidur di gendonganku. Aku mengikat kain panjang penggendong Raihan lebih erat. Lalu meletakkan tas besarku di dalam gerobak, persis disamping kaki kakek tua itu.

Dengan sekuat tenaga aku mendorong  gerobak itu melewati jalanan yang sepi. Sesekali ada yang lewat menatapku dengan heran. Entah kenapa orang-orang itu hanya melihat saja. Tak satupun dari mereka yang bertanya ataupun peduli dengan apa yang sedang aku lakukan ini. Andai saja ada yang membantu, tentu kakek ini akan lebih cepat tiba di puskesmas dan segera mendapat pertolongan.

Peluh menetes dari wajahku. Hingga hijab dan bajuku basah kuyup. Napasku memburu karena mendorong gerobak itu setengah berlari.  Semoga saja belum terlambat.

"Bertahan ya, Pak! Kita akan segera tiba di Puskesmas!" Aku mencoba untuk memberi semangat pada Bapak tua itu.

Aku merasa lega saat melihat gerbang puskesmas sudah di depan mata. Kupercepat langkahku hingga menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar.

"Dokter ..., Suster ..., tolong !" Aku berteriak sekencang mungkin agar para petugas itu menghampiri.

"Ada apa, Mbak?" Salah seorang security tergopoh-gopoh menghampiriku.

"Tolong kakek ini, Pak. Sepertinya sedang kesakitan."

"Astaghfirullahaladzim ...!" Security itu terkejut mellihat ada seorang kakek-kakek di dalam gerobak.

Dua orang security berusaha mengangkat kakek itu dari dalam gerobak dan membaringkannya di atas brankar. Seorang petugas puskesmas keluar dan ikut mendorong brankar kakek tua itu ke dalam ruang UGD

Aku duduk kelelahan di ruang tunggu pasien di depan poliklinik, seraya memangku Raihan yang sudah terjaga.

Aku kebingungan ketika Raihan menangis minta ASI.

"Maaf, Suster. Ada ruang untuk  menyusui?"

"Ada, Bu. Silakan masuk saja ke ruang itu!"

Gegas aku melangkah menuju ruang tertutup yang ada di deretan ujung.

Raihan sangat kehausan. Bayi lucu dan montok ini meminum ASI cukup lama hingga tertidur kembali.

Setelah hampir satu jam, aku keluar dari ruang menyusui. Kemudian kembali ke ruang pemeriksaan.

Aku bertanya pada salah satu perawat.

"Suster, mana kakek-kakek yang tadi bersama saya? "

"Sudah pulang, Mbak."

"Pulang? Bukankah  tadi beliau masih sakit?"

"Tadi ada anaknya yang menjemput ke sini."

Aku mengangguk mendengar penjelasan suster itu. Syukurlah kakek tua itu sudah bersama anaknya sekarang. Setidaknya beliau sudah ada yang mengurus

Tiba-tiba aku teringat dengan tas besarku yang berada di dalam gerobak sang kakek.

Saat aku keluar, gerobak itu masih ada dan tasku masih ada di dalamnya.

"Pak, gerobak kakek tadi kenapa tidak dibawa pulang?" tanyaku pada security yang berjaga di depan puskesmas. 

"Orang si kakek pulang naik mobil bagus, Mbak. Itu gerobaknya buat Mbak sajalah!"

Apaa? Mobil bagus?

Ah, sudahlah. Yang penting si kakek sudah selamat.

Aku melihat kembali gerobak yang masih cukup bagus itu. Tiba-tiba aku ada ide. Segera aku lihat isinya. Masih sambil menggendong Raihan aku bersihkan dan rapikan gerobak itu. Kemudian menidurkan Raihan didalamnya dengan alas kain panjang.

"Pak, Saya boleh bermalam di depan puskesmas ini ? Satu malam saja, Pak. Biar nanti saya dan anak saya tidur di dalam gerobak ini."

"Kalau satu malam saja boleh, Mbak. Tapi jangan di sini. Di teras belakang saja.

Betapa senangnya aku mendengar jawaban bapak security itu.

"Kalau  numpang ke kamar mandi boleh, Pak?"

"Silakan, Mbak. Kamar mandi yang di luar itu bisa untuk umum."

"Alhamdulilah. Terima kasih, Pak!"

Tak henti-hentinya aku bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan.

Raihan pasti lapar. Sebentar lagi dia akan bangun dan minta makan. Kebetulan tadi aku lihat ada tukang bubur di depan gerbang puskesmas ini.

Gegas aku berlari menuju gerbang dan berteriak pada tukang bubur yang berada di seberang jalan.

"Buburnya satu porsi di bungkus, Pak!"

Kemudian aku kembali berlari ke gerobak, menengok Raihan yang ternyata masih tertidur pulas. Anak itu sudah mulai aktif. Aku tidak mau ambil resiko jika meninggalkannya walau hanya sebentar.

Tak lama bubur diantar oleh si tukang bubur, benar saja Raihan terjaga. Aku menyuapinya. Anak itu makan dengan lahap.

.

.

.

Raihan guling-guling dengan riang di dalam gerobak. Mungkin udara malam yang sejuk membuatnya nyaman. Krim anti nyamuk sudah aku oleskan pada tubuhku juga Raihan. Bagaimanapun juga malam ini kami tidur di luar. Pasti akan banyak nyamuk nanti malam.

Sambil berpikir apa yang akan aku lakukan besok, aku membuka tas besarku untuk mencari selimut untuk Raihan. Tiba-tiba mataku tertuju pada kantong samping tas ini yang nampak begitu tebal. Padahal aku sama sekali tidak mengisi apapun di situ.

Perlahan aku buka resleting tas itu. Nampak menyembul sebuah amplop coklat. Aku mulai mengeluarkan amplop yang berukuran cukup besar itu.

Apa kira-kira isi amplop itu ?

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
penasaran jangan2 kakek meninggalkan uang?
goodnovel comment avatar
Brexs Adun
mantaaap thor, seruu
goodnovel comment avatar
Muhammad Dzakir Al kahfi
good, terimakasih ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status