Share

Bab 10

"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya.

"Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya.

***

Delikan tajam diterima Vania dari Rendi, namun tak begitu ia pedulikan. Vania menegakkan punggung dan kepalanya seakan ingin menantang.

Vania tahu sikapnya di meja makan ini akan berakhir dengan pertengkaran. Bukan maksudnya untuk memancing keributan atau mengundang kemarahan pasangan suami istri dihadapannya itu. Tapi, ia lelah melihat hal yang sama setiap pagi, berulang-ulang. Ditambah dengan kekesalannya semalam.

Sebenarnya, Vania juga tidak mengerti. Mengapa beberapa hari ini emosinya seakan tidak stabil. Harusnya ia senang dengan sikap Rendi yang acuh, itu artinya memudahkan dirinya untuk bisa segera melupakan lelaki itu jika kelak mereka berpisah.

Mungkin saja karena rasa cemburu dihatinya, itulah yang dipikirkan Vania saat ini.

Sekuat tenaga ia berusaha menepis perasaan cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Sudah cukup. Ia sudah tak mau lagi berharap. Rasa cinta tak berbalas ini membuatnya lelah. Vania memutuskan untuk membuang cinta yang terlanjur bersemayam di hatinya.

Tak mudah memang untuk melakukannya, dan tapi Vania sudah bertekad untuk melepas semuanya. Dalam hatinya sekarang hanyalah menginginkan pernikahan ini segera berakhir.

Rendi masih memandang Vania dengan tatapan yang intensif. Lelaki itu seakan tidak terpengaruh dengan perkataan yang baru saja di lontarkan istri keduanya itu. Sorot matanya yang dingin menyebabkan orang sulit untuk membaca apa yang sedang dipikirkannya.

Rendi melirik Karin dan memberi kode pada istri pertama itu agar diam, lelaki itu menggelengkan kepalanya ketika ia melihat Karin yang hendak melayangkan protes.

Untuk beberapa saat hanya keheningan yang tercipta, hingga helaan nafas berat seseorang akhirnya memecah kebuntuan mereka.

"Mengapa berkata seperti itu, Vania. Jika kau kesal padaku, lebih baik atakan saja," ujar Rendi dengan nada suara yang rendah.

Mendengar respon Rendi, pandangan mata Vania beralih pada manik obsidian gelap milik suaminya itu. Delikan tajam kembali ia lemparkan. Seakan mewakili perasaan kesalnya.

"Aku akan pindah ke kontrakan siang ini. Dan iya, jangan coba berusaha menghalangi atau mencegahku." Balas Vania ketus.

"Aku tidak mengizinkan. Kuharap kau tidak lupa jika esok lusa kita bertiga akan pulang menemui mama dan papa." Rendi mengingatkan.

"Aku tidak lupa, kita bisa bertemu saja nanti di rumah mama." Jawab Vania cepat.

"Kenapa harus pindah, Vania? ini juga rumahmu." Karin menyela.

Vania menghela nafas berat. Seulas seringai tipis nampak di wajah porselinnya yang mulus. Rasanya ia nyaris gila karena selalu saja berada dalam posisi terpojok jika mengutarakan apapun keinginannya.

Vania berdehem, sepertinya ia harus mengingatkan kembali kakak madunya itu jika rumah ini bukan miliknya. Bahkan ucapan itu masih segar dalam ingatannya karena baru beberapa hari yang lalu ia mengatakannya.

"Aku sudah mengatakanya beberapa hari yang lalu mbak, ini bukan rumahku." Tegas Vania dengan tangan meremas ujung blouse maroon yang dipakainya.

Karin memilih diam, tak menanggapi ucapan Vania barusan. Wajah teduh dengan gelengan kepala yang diperlihatkannya membuat Vania gusar dan gemas.

"Setidaknya selesaikan sarapanmu dulu," pinta Karin sesaat kemudian.

Vania menggeleng," aku sudah tidak lapar, lagipula seleraku juga sudah hilang. Kalian teruskan saja sarapannya."

Bunyi kursi kembali berdecit. Tak lama Vania berdiri dari tempat duduknya. Membuat Rendi yang melihat sikap tak sopan istri keduanya itu akhirnya bereaksi.

"Tak bisakah kau menghormati makanan yang ada di meja?" Hardiknya.

"Jika kau tidak suka dengan sikapku. Kau bisa mengusirku saja dari sini, mudah kan?" Tantang Vania.

Mendengar ucapan Vania, Rendi memalingkan wajahnya sejenak. Seakan sedang mengendalikan emosi. Melihat ekspresi kemarahan yang ditampakkan Rendi, seketika membuat Karin menarik pelan tangan Lelaki itu.

"Mas, Tenanglah." Ujar Karin sambil mengelus lengan Rendi dengan gerakan yang konstan.

Melihat ketegangan diantara mereka membuat Karin lebih memilih menenangkan Rendi, karena tak mungkin baginya untuk menghampiri Vania yang sedang diselimuti amarah. Karin khawatir jika ia mendekat, adik madunya itu akan menolaknya.

Rendi membuang nafas kasar, tak lama anggukan kepalanya terlihat. Sorot matanya yang menghujam kini terkunci pada manik mata milik Vania, seakan menantang kemarahannya.

"Vania duduklah. Makanlah dulu, sejak tadi kau hanya mengaduk-aduk saja sarapan di piringmu." Pinta Karin lembut dan hati-hati.

Mendengar ucapan Karin, membuat Vania akhirnya memutus kontak mata dengan Rendi. Kembali sudut bibirnya melengkung.

"Selalu saja seperti ini. Ada apa dengan dirimu, mbak? Harusnya kau tak perlu bersikap sok baik seperti ini padaku. Aku tahu, kau juga tidak mengharapkan kehadiranku. Iya kan? Tak perlu membohongi diri dan memanipulasi keadaan dan perasaanmu sendiri karena yang sebenarnya, kau pun keberatan dan sakit hati dengan pernikahan kedua suamimu. Benar kan?"

"Kau tahu mbak? aku bahkan lebih suka melihatmu membanting piring dan mengajakku ribut daripada berwajah penuh drama seperti itu." Tuding Vania kemudian.

"Vania!" Teriak Rendi ketika baru saja melihat istri keduanya itu menyelesaikan kalimatnya.

"Sudah cukup kau mendesak Karin seperti itu. Tidakkah kau tahu jika ia sendiri yang memintamu tinggal disini?" Bentak Rendi tahan lagi, seakan tak terima dengan pernyataan yang diungkapkan Vania.

"Kenapa? Bukankah harusnya seperti itu? Aku yakin tak ada seorang istri yang bahagia melihat suaminya menikah lagi, tak mungkin hatinya tidak sakit ketika mengetahui suaminya berbagi ranjang atau menghabiskan malam dengan wanita lain. Ucapanku benar kan, Mbak?" Sinis Vania bicara.

"Jaga sikapmu Vania! bagaimanapun dia adalah kakak madumu, hormati dia sebagai istri pertamaku." Hardik Rendi kemudian.

"Oh ya!? Kalau begitu, tolong minta padanya untuk tidak melakukannya lagi. Tak perlu bersikap manis dan memintaku untuk tinggal bersama kalian, itu seperti menghinaku ...." Vania menjeda kalimatnya. Dadanya turun naik karena emosinya yang meningkat.

"Apa kau ingin tahu, Mas. Aku seperti orang asing disini. Ah, salah. Kau tidak peka sama sekali dengan apa yang dirasakan oleh kedua istrimu saat ini," Lanjut Vania setelah menghembuskan nafas panjang.

"Aku suamimu, Vania! Jangan memaksaku dan sok bersikap seakan kau tahu segalanya," Teriak Rendi, suaranya seakan memenuhi seisi ruang makan ini

"Ya, aku memang sok tahu, lalu?" Mata Vania menatap nyalang dengan kedua tangan bersidekap di dada. Sebuah sikap defensif untuk mempertahankan diri.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status