Share

Bab 9

Author: Rira Faradina
last update Last Updated: 2022-08-11 11:08:24

"Vania, apa kabar?"

Seorang lelaki dengan senyum terbaiknya telah berdiri sambil mengulurkan tangannya di hadapan mereka. Seketika membuat Vania gugup. Kekhawatirannya menjadi kenyataan karena mantan kekasih yang ingin dihindarinya kini telah berdiri dihadapannya.

Sambil mengulas senyum tipis, Vania menjawabnya, tanpa ia sadari jika ada sepasang mata dengan sorot mata yang dingin kini tengah mengawasinya

****

"Kudengar kau sudah menikah?" Gio berbasa-basi.

"Iya, aku sudah menikah." Jawab Vania cepat.

Pandangan mata Gio begitu intens memandang gadis yang berdiri dihadapannya. Membuat Vania seketika mengalihkankan pandangannya.

Untuk sesaat Vania merasa sesak dan tidak nyaman, karena pandangan mata Gio yang seakan ingin mengulitinya. Untung saja, Lila membuka suara, membicarakan hal lain dan mengalihkan tatapan Gio yang sedari tadi menatap intens ke wajah Vania.

Suasana canggung menyelimuti. Meski dulu mereka berdua pernah memiliki hubungan asmara, entah mengapa malam ini Vania merasa seperti melihat seseorang yang asing.

Mungkinkah karena rasa sakit hatinya pada Gio?

Entahlah.

Vania membuang pandangan ke sisi kirinya. Untuk sesaat ia menahan nafas, karena melihat seseorang dengan jas hitam slim fit yang berdiri di sana tengah memandang dirinya. Beberapa detik pandangan mata mereka bertemu. Membuat nafas gadis itu tercekat.

"M-mas Rendi?!" Bisik Vania gugup.

Lila yang mendengar samar bisikan Vania, seketika mengalihkan perhatian. Ekor matanya mengikuti arah pandangan Vania, hingga berhenti tepat pada pria yang berdiri tak begitu jauh dari posisi mereka saat ini.

"Suamimu Vania?"

"Iya."

"Kenapa kau tidak bilang jika ia juga akan hadir disini?" Bisik Lila.

"Aku tidak tahu jika ia juga akan datang kesini."

"Apa ada yang bisa ku bantu?" Ucap Lila setengah berbisik di telinga Vania sambil melirik pada Gio yang memandang mereka penuh tanya.

"Tak perlu. Biarkan saja." Jawab Vania lalu mengalihkan pandangannya dari Rendi.

"Sebaiknya kita temui Dewi, lalu pulang. Entah mengapa aku merasa tatapan suamimu begitu menyeramkan." Ungkap Lila khawatir.

"Baiklah."

"Apa ada masalah?" Terdengar suara Gio yang membuat kedua gadis itu saling bertukar pandangan.

"Tidak ada apa-apa. Kami akan kesana sebentar, memberi selamat pada Dewi. Apa kau mau ikut?" Sahut Vania sambil menunjuk ke arah pelaminan.

"Tidak."

"Ehm, Vania. Aku senang bertemu denganmu malam ini."

Ucapan Gio membuat Vania mematung sesaat, sebelum akhirnya lengan Lila yang menyenggol pinggangnya membuat kesadarannya kembali.

Vania mengangguk pelan. Lalu membalikkan badan, namun sebelum mereka berdua bener-bener pergi, dari balik bahu gadis itu masih menyempatkan diri melirik kearah suaminya.

"Suamimu masih ada disana. Kelihatannya dari tadi ia terus memandangimu, Vania," cicit Lila sambil melangkah, yang hanya ditanggapi dengan sebuah senyuman datar di wajah Vania.

***

"Pulanglah denganku," Pinta Rendi ketika melihat Vania yang baru saja hendak membuka pintu mobil Lila.

Vania menoleh pada suaminya. Sorot matanya begitu dingin. Untuk sesaat, Vania merasa atmosfir disekitarnya berubah begitu dingin. Membuat bibirnya membeku untuk mengeluarkan suara.

"Vania, aku bisa pulang sendiri." Suara Lila membuat Vania melirik sebal padanya.

"Ayo pulang." Kembali Rendi mengajaknya dengan tangan yang kini mengengam lengan Vania.

"Bye Vania." Pamit Lila seolah menghindar. Lalu melambaikan tangan sebentar sebelum akhirnya tubuhnya menghilangkan di balik pintu mobilnya.

Vania masih mematung ketika dilihatnya mobil hitam milik Lila sudah menghilang dari pandangan. Jantungnya kini berdegup kencang. Ketika menyadari bahwa tangannya masih ada dalam genggaman Rendi. Tak lama, Vania menarik tangannya cepat membuat sudut bibir Rendi melengkung.

"Ayo pulang, ini sudah malam," Nada suara Rendi kini terdengar rendah.

"Dimana kau memarkirkan mobilnya?" Tanya Vania tanpa melihat lawan bicaranya.

"Disebelah sana." Rendi menunjukkan ke sebuah arah.

Vania mengangguk samar. Membalik badan dan melangkah ke arah mobil Rendi yang terparkir tak jauh dari posisi mereka. Diikuti Rendi dari belakang yang menyamakan langkah mereka.

Untuk beberapa saat mereka diam. Suasana dalam mobil kini terasa hening. Vania menghela nafas panjang, sebelum akhirnya ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

Aroma maskulin begitu terasa didalam mobil ini. Aroma parfum yang mendominasi. Aroma yang begitu disukainya.

Rendi masih diam. Lelaki itu bahkan tidak menoleh pada istri keduanya. Tangannya mengepal kuat hingga terlihat buku-buku jarinya yang memutih seakan lelaki itu sedang menahan emosi.

"Kenapa tidak memberitahu jika kau akan kesini?" Pertanyaan Rendi memecah keheningan diantara mereka.

"Aku sudah menelepon ke rumah jika akan pulang terlambat malam ini." Ujar Vania tampak sedang mengatur nafas.

"Aku menghadiri resepsi ini karena Lila yang meminta bahkan ia sampai menjemput ke kantor. Aku hanya menemaninya, lagipula aku dan Dewi. Adalah teman baik." Lanjutnya menjelaskan.

"Oh," terdengar Rendi menggeram.

"Kau marah?" Tanya Vania dengan tatapan mata lurus ke depan.

"Aku hanya terkejut melihatmu ada disini." Sahut Rendi.

"Ini sudah malam. Bukankah sebaiknya kita pulang?" Sindir Vania pelan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tak lama suara mobil terdengar menyala. Membuat gadis itu sedikit bernafas lega.

Sepanjang perjalanan pulang, tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Vania lebih memilih membuang pandangan keluar mobil. Menikmati Kilauan cahaya dari lampu lampu jalan. Sedangkan Rendi, lelaki itu memilih menatap kedepan, fokus mengendalikan mobilnya.

Mereka bagai dua orang yang bermusuhan. Vania masih bersikap acuh. Hingga akhirnya suara Rendi mengakhiri kebungkaman mereka.

"Pria yang tadi, bukankah itu Gio, mantan kekasihmu?"

Mendengar ucapan Rendi, seketika Vania memalingkan wajahnya. Tenggorokannya terasa tercekat. Begitu mendengar nama Gio yang lolos dari mulut suaminya itu."

Vania diam, Namun, kedua matanya menatap intens ke manik obsidian gelap milik suaminya. Entah mengapa ia merasa tubuhnya kaku dan gugup. Vania tak mengerti mengapa tubuhnya seakan tak bisa ia kendalikan.

"Jadi benar pria itu adalah Gio." Sebuah lengkungan tipis terlihat di wajah Rendi.

"Iya. Itu benar Gio. Mantan kekasihku."

"Kau keberatan, marah?" Vania kembali mengulang ucapan. wajahnya memerah karena menahan emosi. Namun pernyataan Vania hanya dibalas kebungkaman oleh Rendi. Membuat Vania kesal.

Tak ada pembicaraan lagi setelah itu, Rendi seakan mengabaikan keberadaannya. tak lama, mobil pun berbelok masuk ke dalam halaman sebuah rumah. Membuat Vania bisa sedikit bernafas lega karena rasa sesak dan marah yang sedari tadi dirasakannya.

Tanpa bicara sepatah kata pun, Vania melepas seat beltnya lalu keluar dari dalam mobil meninggalkan Rendi yang masih memandang tanpa ekspresi.

Vania melangkah cepat menuju kamarnya. Tanpa menoleh pada Karin yang berniat menyapanya. Gadis itu berlalu begitu saja, seakan ingin menghindari sesuatu.

"Mas!" Panggil Karin yang sedikit terkejut karena melihat mereka berdua pulang bersama.

"Kami kebetulan bertemu di acara resepsi pernikahan seorang anak kolega bisnisku." Sahut Rendi dengan suara datar.

"Apa yang membuat Vania terlihat kesal?"

"Tak apa-apa. Mungkin ia kesal padaku." Jawab Rendi sambil berlalu menuju kamarnya.

****

Keesokan paginya.

Vania masih memilih diam ketika Rendi menyapanya. Gadis itu masih menatap dingin sandwich yang ada dihadapannya. Tanpa berniat menikmatinya.

Suasana di meja makan ini masih sama. Telinganya masih mendengar percakapan sepasang suami istri di hadapannya yang tak sama sekali melibatkan dirinya, ataupun berbasa-basi mengajaknya bicara. Aroma maskulin yang begitu disukainya entah mengapa membuatnya mual pagi ini.

Ia masih kesal dengan sikap Rendi yang seakan mengabaikan dirinya semalam. Vania lebih suka Rendi yang menunjukkan kemarahannya. Entah mengapa, Ia lebih suka mereka bertengkar daripada melihat lelaki itu bersikap acuh.

Vania meletakkan garpu sedikit kasar hingga meninggalkan suara dentingan karena beradu dengan piring. Perbuatannya tak ayal menarik perhatian Karin.

"Ada apa Vania?" Tanya Karin lembut.

Vania diam, menata emosinya yang bergemuruh, lalu meraup oksigen dengan rakus demi menenangkan dirinya.

"Vania, kau ada masalah?" Kembali Karin bertanya.

"Yah, aku memang ada masalah, mbak. Dan masalahku ada pada kalian berdua!" Ketus Vania lalu menggeser kursinya.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 90 / Ending

    Beberapa bulan kemudian."Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Vania sambil menggendong Arjuna, putra mereka."Kau bebas bertanya apapun padaku," jawab Rendi sambil menjawil pipi Arjuna yang menggemaskan."Apa kau pernah merindukan Mbak Karin?" Mendengarnya, Rendi tersenyum lalu mengambil Arjuna dari gendongan Vania." Mengapa bertanya seperti itu?" Balasnya."Aku hanya ingin tahu saja," sahut Vania cemberut."Terkadang aku masih merindukannya," goda Rendi sambil melirik Vania yang semakin cemberut."Begitukah, kau menyesal bercerai dengannya?" Cecar Vania kemudian.Kali ini Rendi menghela nafas panjang, lalu menarik lembut tangan Vania, mengajaknya duduk di gazebo yang ada di sudut halaman rumah mereka."Aku tidak menyesali apapun, princess. Bagiku Karin tetaplah seorang istri yang baik hanya saja jodoh kami sudah selesai. Karena saat ini dan selamanya hanya ada kau saja di hatiku. Apa jawaban itu sudah cukup?" Vania memalingkan wajahnya, melihat sikap istrinya yang terlihat sedan

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 89

    Karin tertawa getir mendengarnya." Apa kau tahu jika aku sengaja melakukannya, karena rasa cemburu ku padamu, Vania?" Ucap Karin mengakuinya.Mendengarnya Vania seolah kehilangan kata-kata, meski sebelumnya ia sudah dapat mengira namun tak menyangka jika kakak madunya ternyata melakukan hal ini padanya.Suasana ruangan itu hening sesaat, entah mengapa diantara mereka kini saling membuang pandangan seakan ingin menyembunyikan perasaan mereka masing-masing."Tapi kau tak harus bercerai dari Mas Rendi, mbak. Kau adalah isteri pertamanya, seseorang yang telah lebih dulu berada disisinya, jika hanya karena seorang keturunan memaksamu untuk menjauh dari Mas Rendi, mengapa tidak aku saja yang melakukannya?""Princess," sebut Rendi spontan, lelaki itu seperti tak suka dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Vania.Karin kembali mengulas senyum getir saat melihat perubahan sikap Rendi. "Mas Rendi mencintaimu, Vania. Tidakkah kau sadari itu? Apa kau masih tidak ingin mengerti jika kehadiranku

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 88

    ""Mengapa kau bersikeras ingin berpisah, Karin?"Mendengarnya, Karin tersenyum getir. "Aku sudah yakin bahwa kau adalah orang pertama yang akan bertanya padaku, mas." Jawabnya pelan.***Pandangan mata semua orang kini tertuju pada Karin, seakan menunggu jawaban yang akan terlontar dari bibir wanita itu, namun Karin bergeming sesaat, seolah-olah mengabaikan pertanyaan yang baru saja dilontarkan suaminya tersebut padanya. Tak lama akhirnya suaranya terdengar."Sebelum itu, aku ingin minta maaf pada kalian semua karena telah mencemaskanku. Sungguh, aku tak bermaksud untuk menghindar ataupun lari. Beberapa hal yang terjadi belakangan ini cukup menguras emosi, hingga kuputuskan untuk menenangkan diri sejenak," tutur Karin memulai penjelasannya."Apa harus dengan melayangkan gugatan cerai, mbak?" Vania memprotes keputusan Karin.Mendengarnya Karin tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya dari sorot pandang mata Vania yang tajam. Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, seakan sedang

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 87

    "Entah mengapa aku merasa jika kau terpaksa mengambil keputusan ini, mbak. Aku tahu dari dalam hatimu, kau sangat mencintai Mas Rendi," lirih Vania mengucapkannya, lalu kembali melempar pandangan ke luar jendela. Menatap bayinya yang tengah tertidur dalam gendongan Sumi.***Sidang pertama perceraian Rendi dan Karin akhirnya selesai digelar. Namun Karin tak juga terlihat di persidangan tersebut, membuat kesal Rendi yang sedari tadi menunggu kehadirannya.Sejak gugatan hingga masuk ke tahap persidangan, Karin masih belum menampakkan dirinya, meski beberapa kali Rendi berusaha menelpon dan berkirim pesan padanya, tetap saja tidak mampu membuat Karin pulang ke rumah mereka.Karin juga tidak terlihat saat gelaran aqiqah bayi Vania, hanya kiriman kado darinya saja yang datang menghampiri, kelihatannya Karin sengaja menghindari bertemu dengan semua orang yang berhubungan dengannya. Wanita itu seolah sengaja menjauh dari mereka.Keputusan Karin untuk bercerai sepertinya sudah tak terbendung

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 86

    "Istirahatlah princess, karena aku akan menjaga kalian berdua," lirih Rendi dengan pandangan matanya yang terlihat berkaca-kaca menatap Vania dan bayi mereka secara bergantian.***Karin menyeka air matanya yang menetes, hatinya begitu nyeri saat ini. Keputusannya untuk bercerai dari Rendi membuat perasaan hancur.Tak dapat dipungkiri, untuk kedua kalinya ia harus patah hati. Baik Hans maupun Rendi, kedua lelaki itu tak bisa dimilikinya, membuat Karin harus berlapang dada untuk menerima guratan nasibnya.Matanya kini memerah sebab air matanya. Beberapa kali ia mengutuk dirinya karena bisa terjebak dalam situasi seperti ini. Entah mengapa ia harus kembali mengalami rasa sakit ini. Membuat bibirnya kini merutuki nasibnya sendiri.Tangan Karin masih memutar kemudi mobilnya. Panggilan telepon dari Rendi beberapa saat lalu kini membuat suasana hatinya semakin nyeri. Ingin sekali ia berharap bahwa semua ini adalah mimpi agar ia tak perlu terbangun dan merasakan semua hal yang menyakitkan ini

  • Ranjang Suami yang Terbagi   Bab 85

    "Kau terlihat gelisah, mas. Apa ada masalah?" Mendengarnya, Rendi lalu menghela nafas berat."Iya, pengacara Karin baru saja menelponku, beliau bilang bahwa Karin telah mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan agama," jawab Rendi, nada suaranya terdengar parau.***"Gugatan cerai?" Ucap Vania seakan tak percaya. Terlihat keningnya seketika berkerut."Benar, pengacaranya berkata seperti itu padaku," tegas Rendi sambil menganggukkan kepalanya."Mustahil?""Rasanya aku tak bisa mempercayainya? Bukankah sebelumnya ia begitu sangat menginginkan bayiku agar bisa terus bersamamu, mas. Lalu kenapa sekarang ingin bercerai?" Vania mendesis seolah tak yakin jika Karin benar-benar melakukannya."Entahlah, aku juga tak tahu alasannya, kurasa aku harus mengajak Karin bicara. Aku ingin tahu apa alasannya kali ini setelah sebelumnya begitu sangat menginginkan bayimu," pungkas Rendi.Untuk beberapa saat, diantara mereka tak ada yang bicara seakan sibuk dengan pikirannya masing-masing hingga akhirny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status