Vania menghela nafas panjang. Sepertinya akan sulit baginya untuk menghindar. Bukan saja pernikahannya yang telah diatur bahkan jadwal bulan madu pun sudah terencana dengan begitu rapi. Membuatnya seakan ingin menenggelamkan tubuhnya ke dasar lautan yang paling dalam.***"Rasanya aku seperti tidak memiliki hak atau pun privasi terhadap hidupku sendiri." Vania berbisik begitu pelan."See! Tak ada masalah lagi kan? Semua orang sudah setuju," Tanya Helena dengan rona wajah penuh kepuasan.Hening.Tak ada suara apapun yang terdengar untuk menolak keinginan Helena. Kelihatannya wanita berdarah Skotlandia itu benar-benar pintar mengatur semuanya. Setidaknya, Vania mengakui kelebihan ibu mertuanya yang satu ini. Yang sangat suka memaksakan kehendak.Karin masih nampak meremas ujung pakaiannya. Sesekali ekor matanya melirik Rendi yang duduk bersandar sambil menatap layar televisi. Berharap lelaki itu akan berusaha menolak keinginan ibunya di menit menit terakhir. sayang, sepertinya harapanny
Mobilnya kini berhenti di sebuah pemakaman. Nafasnya terdengar berat seakan menahan beban yang begitu berat di pundaknya. Tak lama langkah kakinya membawanya mendekat ke sebuah makam. Lalu berhenti mematung diam setelah sebelumnya meletakkan sebuket bunga di sana"Mengapa kau membiarkan aku menanggung semua ini sendiri. Tak tahukah kau jika itu membuat hidupku begitu sengsara?" Lirih Karin dengan ekor mata yang mulai basah.***"Mbak, nanti siang mau dimasakin apa?" Tanya Bi Sumi, asisten rumah tangganya."Apa saja bi," jawab Vania cepat."Hmm, kalau ayam kecap mau?""Iya, itu juga boleh." Jawab Vania pelan."Lemes amat mbak, kayak nggak makan seminggu," Sindir Bi Sumi.Vania tak menjawab, hanya mengendikkan bahu. Sesekali terdengar ia mendengkus. Kelihatannya rasa lapar tidak ada dalam daftar yang hendak dilakukannya sekarang.Acara reuni akan di gelar besok siang di sebuah restoran berkonsep outdoor. Sebenarnya hampir setiap tahun acara temu alumni ini digelar, namun, tak sekalipun
"Aku tahu, kau menikahi seorang pria yang sudah menikah dan hanya dijadikan istri kedua. Pernikahanmu juga dilakukan diluar keinginanmu. Aku yakin suamimu tidak begitu peduli padamu, benar, kan?"***Mendengar tudingan Gio, seketika dada Vania terasa nyeri. Emosi yang tadi sempat mereda kini kembali terbakar. Meski ia mengetahui bahwa ucapan Gio benar adanya, tetap saja Vania tidak bisa menerima tudingan tersebut.Vania memalingkan wajahnya dari pandangan mata Gio yang sedari tadi begitu intens menatapnya, tak lama ia memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya membalas ucapan Gio dengan sebuah kalimat pedas yang menohok."Kau benar, aku memang dijadikan istri kedua dan pernikahanku juga terjadi di luar keinginanku sendiri. Tapi, setidaknya suamiku lebih baik darimu, ia memberikanku status dan hak."Lama Vania terdiam, tak lama ia kembali melanjutkan perkataannya."Kau meninggalkanku tanpa kabar, tanpa pamit dan tanpa keputusan. Kau membuatku menahan semua emosi sendiri. Kau menggantu
Keesokan harinya."Gaunmu yang merah itu cantik, Vania." Tunjuk Lila pada sebuah gaun satin dengan detail Lace di bagian ujung dad4. "Yang ini? Kau lupa dress code nya putih atau biru tua," desis Vania yang tak begitu bersemangat memilih gaun yang akan dikenakannya ke acara reuni nanti."Kau datang kerumahku pagi-pagi lalu memintaku segera memilih gaun dan berdandan. Apa kau tidak merasa sedang menganggu waktu istirahatku? Ini hari liburku, Aku bahkan memiliki rencana untuk tidur sampai sore." Keluh Vania melayangkan protes."Aku ingin kita terlihat menawan di acara reuni, makanya harus bersiap siap dari sekarang." Sahut Lila dengan senyum yang lebar."Kau sajalah yang datang, aku malas.""Tapi, kau kan sudah janji akan datang." Rengek Lila."Kapan aku pernah berjanji. Dari awal kau kan tahu aku tak mau datang," bola mata Vania membulat"Aku tahu, tapi apa salahnya sih menyenangkan teman."Mendengar perkataan Lila, sontak membuat Vania memutar bola mata dan melempar tatapan tajam pad
"Maaf, mas aku terpaksa mengajak Vania karena suamiku tak mau kuajak pergi." Terang Lila karena merasa tak enak."Oh, tak masalah." Jawab Rendi datar. Lalu memandang Vania yang hendak berdiri meninggalkan kursinya."Kau keberatan jika aku ikut menemanimu ke sana?" Ucapan Rendi membuat tubuh Vania seketika mematung. Lalu membalikkan badannya menatap Rendi dengan tatapan kesal.***Vania mendelik, memandang tubuh lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mata yang menyipit tajam. Dengan kasar ia meletakan sendok di tangannya dengan kasar hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras, membuat Lila yang duduk dihadapannya seketika menoleh padanya."Aku sudah selesai, sebaiknya kau selesaikan makanmu, Lila, jika tidak kita bisa terlambat. Aku tak mau kehilangan kalungku nanti," ketus Vania.Lila yang mendengarnya hanya bisa menggeleng, jujur saja wanita itu juga ingin segera menyelesaikan makan siangnya, dan segera menjauh dari mereka berdua. Entah mengapa, Lila merasa sebentar lagi a
Karin merasa jika ucapan ibu mertuanya bukanlah permohonan melainkan sebuah perintah. Sebuah keinginan agar ia tidak menjadi mengganggu kebahagiaan pasangan pengantin baru yang belum sempat mengecap manisnya kebahagiaan berbulan madu. Membuat hatinya seakan tercabut dari tempatnya.Apakah sekarang aku seperti benalu yang akan menyakiti seseorang hingga mama sampai memintaku menjauh dari suamiku sendiri? Batin Karin ingin berontak.***Haruskah ia melakukannya, mengikuti keinginan ibu mertuanya? Melihat Rendi yang duduk di dekat Vania saja ia sudah begitu cemburu. Apa mungkin ia bisa menekan semua perasaannya sementara kepalanya terus memikirkan kemesraan suami dan istri keduanya itu?"Tidak Karin, Jangan biarkan rasa cemburu menguasai dirimu. Vania tidak akan menggoda suamimu. Bukankah wanita itu ingin segera melepaskan diri dari pernikahan yang mengikatnya selama ini?" Bisik Karin menghibur diri."Bertahanlah sampai kau mendapatkan bayi dari rahim istri kedua suamimu. Bukankah sejak
Karena apa?" Fokus Vania pada wajah Lila yang seketika mengeras."Karena mantan kekasihmu juga akan hadir di sana nanti. Aku yakin suamimu itu tahu jika Gio juga akan ada di acara reuni sekolah kita.""Tentu saja Gio akan hadir, karena dia juga alumni, lalu apa masalahnya?" Tanya Vania cuek. Membuat Lila menggeleng dan membuang nafas panjang."Kau bodoh atau memang sengaja ingin membuat mereka bertemu, hah?" Ketus Lila yang gemas melihat Vania yang masih terlihat santai.***"Hah!" Vania mendelik ke arah Lila. Dengan wajah polosnya."Kau bilang apa sih?" "Astaga Vania! Kau benar-benar menyebalkan." Sungut Lila sambil memonyongkan bibirnya."Aku gemas melihat sikapmu yang terlalu cuek seperti ini!"Vania melengos, ucapan Lila tak membuatnya terpengaruh, wanita berlesung pipi di kiri itu tampak asyik berselancar di akun sosial media miliknya."Aku tidak mau tahu Jika ada pertumpahan darah di sana nanti," sindir Lila karena merasa Vania tak mendengarkannya bicara."Biarkan saja kalau me
Suara bening Rossa yang mendendangkan nyanyiannya di radio sedikit mengubah suasana hati Vania. Setidaknya, kini pikirannya sedikit teralihkan dari pembicaraan dua lelaki yang ada dalam lembaran hidupnya. Jujur saja, bila mengingat bagaimana cara kedua lelaki itu memperlakukan perasaannya. Selalu saja membuat moodnya seketika buruk.Mobil yang dikemudikan Lila terus bergerak memasuki kawasan bisnis elite di ibukota ini, membuat Lila menurunkan sedikit kecepatan mobilnya karena jalanan yang sempit."Kita hampir tiba. Kuharap kau bisa menjaga sikap di acara nanti. Aku tak ingin melihat kau terjebak ucapanmu sendiri jika suamimu benar benar datang," Lila berpesan yang hanya dijawab Vania dengan mengendikkan bahu.****Sepasang mata terus mengawasi Vania dan Lila sejak mobil ini melintas di area parkiran. Tatapan mata lembut yang terarah pada Vania membuat siapapun yang melihat akan berpikir jika itu adalah tatapan romantis seorang kekasih.Mereka tiba sudah hampir menjelang dibukanya aca