“Mama, Mama! Aku mau itu!” seru seorang gadis kecil berkisar tujuh tahun sembari menunjuk ke arah gambar es krim sebuah restoran. Mata bulat gadis itu terlihat menggemaskan, juga memesona akibat maniknya yang berwarna biru terang.
Mendadak, sebuah tangan mungil menggenggam tangan gadis kecil itu untuk menahannya. “Lili, jangan ngerepotin Mama. Kita bisa beli itu nanti, ya,” balas seorang bocah laki-laki dengan wajah yang hampir sama persis dengan sang gadis kecil. Sikap sang bocah kecil yang begitu tenang membuat beberapa orang yang memperhatikan mengira bocah itu lebih tua dari penampilannya.
Di antara kedua kembar menggemaskan tersebut, seorang wanita cantik berpakaian elegan menggandeng keduanya sembari tersenyum. Wanita itu berjongkok di hadapan kedua putra-putrinya dan berkata, “Liam memang paling pengertian,” pujinya. Kemudian, dia beralih kepada sang gadis kecil dan mengusap kepalanya lembut. “Lili sabar dulu ya, Sayang. Setelah kita sampai apartemen dan selesai berberes, Mama bawa kamu beli es krim, oke?”
Gadis kecil bernama Lili itu terlihat sedikit murung, tapi dia kemudian mengangguk pelan. “Oke, Mama.”
Balasan itu membuat sang wanita tersenyum penuh kasih. “Lili pintar.” Dia kembali menggandeng kedua tangan putra-putrinya sebelum lanjut berjalan keluar dari gerbang kedatangan bandara Nusantara.
Tak lama, sebuah suara berseru lantang, “Bu Evelyn Erlangga?” Hal itu membuat sang wanita dengan dua kembar menggemaskan itu menoleh.
Ya, wanita rupawan itu tak lain dan tak bukan adalah Evelyn Aditama, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Evelyn Erlangga.
Delapan tahun sudah berlalu sejak kepergiannya dari Nusantara atas perintah sang ayah, Reyhan Aditama. Tak pernah sedikit pun dia kira akan kembali kemari dengan dua anak kembar yang dia lahir dan besarkan sendirian.
Kalau bukan karena rekomendasi sahabatnya dari negeri seberang, sebenarnya tidak akan terbersit di benak Evelyn untuk kembali ke negara tempat kenangan pahit masih tersimpan.
Sesampainya di hadapan Evelyn, seorang pria dengan jas hitam dan kemeja putih menyapanya dengan sopan, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, nama saya Adi. Saya supir yang disuruh Bu Anita mengantarkan Ibu ke apartemen.”
Mendengar nama sang sahabat dari negeri seberang disebut, Evelyn pun mengangguk lembut. “Salam kenal, Pak Adi.” Dia pun beralih pada kedua putra-putrinya. “Harus bilang apa kalau bertemu orang baru?”
“Halo, Om Adi!” ujar kedua bocah imut itu dengan serempak.
Melihat sikap sopan kedua bocah itu, pria paruh baya tersebut pun menunduk dan tersenyum. “Halo juga.” Dia pun menatap Evelyn dan bertanya, “Barang bawaan Ibu hanya ini?” Dia melihat porter yang berada di belakang Evelyn, dua koper kecil terlihat di kedua sisi sang porter.
Evelyn mengangguk. “Sebagian besar saya tinggal kalau-kalau harus kembali ke sana.” Dia meminta kedua putra-putrinya untuk menunggu sebelum akhirnya menghampiri sang porter untuk memberikan tips. “Terima kasih, Pak.”
Sementara Evelyn dan sang supir sedang mengurus bagasi, terlihat Liam dan Lili saling menggoda satu sama lain. Hal itu berujung kepada kedua bocah tersebut berlarian dan saling mengejar, bermain untuk mengatasi kebosanan.
Di saat yang sama, seorang pria bertubuh tinggi melangkah keluar dari gerbang kedatangan dengan kakinya yang jenjang. Jas abu mewah yang membalut tubuhnya tak mampu menyembunyikan proporsi tubuh memukau. Walau matanya tertutup kacamata hitam, tapi hidung ramping nan tinggi yang ditemani bibir tipis menggoda itu mampu membuat beberapa kaum hawa yang melirik merona merah.
“Siapa pria itu?”
“Dia seperti model!”
“Apa jangan-jangan dia artis luar negeri? Jarang-jarang ada cowok Nusantara setinggi itu!”
Sejumlah komentar pun terlontar dari beberapa wanita di sekitar tempat itu. Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa pria yang baru saja keluar dari gerbang tersebut begitu tampan dan menarik perhatian.
Tanpa peduli dengan pandangan yang diarahkan padanya, pria berkaki jenjang itu mengecek ponselnya. “Apa jadwal kita hari ini?” tanyanya dengan datar.
Di sebelahnya, seorang pria dengan pakaian profesional yang serupa membuka catatan di tangannya dan menjelaskan, “Kita perlu bertemu perwakilan cabang grup Dean untuk membahas perihal laporan tahunan yang menurun awal tahun ini dalam dua jam. Ada juga pertemuan untuk membahas interview di hari esok.”
Dengan yakin, Adam menurunkan perintah, “Kita kembali ke kediaman terlebih dahulu, ada beberapa hal yang perlu kulakukan sebelum—"
“Ah!”
Ucapan Adam terhenti ketika sesuatu menabrak kakinya dengan cukup kencang. Dia melirik ke bawah, mendapati seorang gadis kecil dengan dress putih manis terjatuh di lantai. Sekali lihat, dia yakin bahwa gadis kecil itu telah menabrak dirinya.
Adam melepaskan kacamata hitamnya, lalu dia menunduk sedikit untuk menjulurkan tangannya. “Hei, kamu baik-baik—”
“Maaf!” Seorang bocah laki-laki mendadak muncul menghadang dirinya dari menyentuh sang gadis kecil. “Adikku nggak sengaja, kami minta maaf!” seru bocah itu sembari membungkuk sopan.
Melihat wajah sang bocah, Adam tak mampu berkata-kata. Entah apakah ini hanya perasaannya saja, tapi wajah bocah kecil itu sungguh … mirip dengannya. Tak hanya itu, mata biru yang dimiliki kedua bocah di hadapannya itu ….
“Lili! Liam!” sebuah suara dengan nada khawatir terdengar, mengalihkan pandangan Adam. Terlihat seorang wanita dengan penampilan elegan berlari kecil menghampiri dua bocah kecil tersebut. “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” tanya wanita itu sembari membantu gadis kecil itu berdiri.
Mata Lili terlihat memerah, tapi gadis itu menggeleng dengan bibir dimanyunkan. Tangan gadis itu terbentang, meminta sang ibu untuk memeluknya.
Setelah wanita itu memastikan sang putri baik-baik saja, dia menggendongnya selagi satu tangan lain langsung menggandeng sang putra. Dia pun langsung membungkuk cepat untuk meminta maaf kepada pria yang ditabrak putrinya, “Maaf, Pak, putri saya tidak hati-ha—”
Di saat pandangan mereka bertemu, wanita itu membeku di tempat. Hal tersebut membuat Adam juga terdiam, bukan hanya karena wajah wanita itu cukup menawan, tapi karena dia merasa ada wangi familier yang tertangkap indera penciumannya. Dia pun menatap tajam wanita tersebut, mencoba menelisik setiap sisi yang wanita itu miliki.
Dalam hatinya, Adam membatin, ‘Wangi ini … kenapa wangi ini begitu familier?’
Nah loh, ketemu lagi sama Bang Adam! Gimana nih?!
‘Pria ini!’ Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali. “Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya. Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut. Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya. Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—" “Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam. “Julian,
“Selamat, Evelyn. Kamu sudah dinyatakan diterima sebagai sekretaris direktur bisnis. Pak Direktur pun sudah berpesan kalau kamu akan mulai bekerja besok,” ucap seorang pria berusia sekitar tiga puluhan sembari mengulurkan tangannya ke hadapan Evelyn. Evelyn membalas uluran tangan tersebut dengan mantap dan membungkuk hormat sedikit. “Terima kasih, Pak Handi. Saya akan berusaha untuk menunjukkan kinerja terbaik agar tidak mengecewakan ekspektasi Bapak,” balas Evelyn dengan sopan. Handi—manajer personalia dan juga teman Anita—menganggukkan kepala. “Rena,” panggil pria itu yang kemudian diikuti dengan kemunculan seorang gadis muda di sisinya. “Kamu antar Evelyn keliling kantor dulu agar besok dia nggak canggung dengan situasi kantor.” Gadis bernama Rena itu menyapa Evelyn dengan sopan, tahu bahwa posisi Evelyn tidak bisa didapatkan sembarang orang, “Halo, Bu Evelyn. Perkenalkan, saya Rena, staf departemen personalia.” Perkenalannya ditanggapi Evelyn dengan sebuah senyuman dan jabata
“Kita terlambat,” ucap Julian sembari melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. “Interview seharusnya sudah hampir selesai.” Pandangannya terangkat ke kaca mobil bagian depan, meratapi kemacetan ibu kota Nusantara. “Tidak masalah,” balas pria yang terduduk di sebelah Julian dengan datar, tidak hentinya mengetukkan jari pada laptop di hadapan. “Hanya interview kecil, seharusnya HRD bisa mengurusnya. Tidak mungkin kulewatkan kesempatan kontrak dengan label musik ternama, bukan?” balasnya, begitu jelas dengan prioritasnya. Lima belas menit kemudian, setelah keduanya baru saja melangkah masuk ke lobi kantor, sebuah dentingan notifikasi terdengar dari tablet yang dipegang Julian. Pria itu melirik notifikasi tersebut dan menghela napas seraya berkata, “Manajer HRD baru saja mengabarkan kalau wawancara telah selesai.” “Hmm,” Adam membalas singkat, tidak menghentikan langkah untuk masuk ke dalam lift. “Suruh dia untuk persiapkan laporan kandidat yang lolos. Ketika sudah siap, la
Mendengar ucapan Adam, Evelyn langsung membeku di tempat. Dia memutar benaknya, menyadari bahwa parfum yang digunakan olehnya tak pernah berubah. Namun, tidak mungkin pria itu mengenali dirinya dari aroma parfum yang dia gunakan, bukan?! 'Apa dia seekor anj*ng?' maki Evelyn dalam hati. Evelyn perlahan menaikkan pandangannya, membiarkan manik hitamnya memantulkan sepasang permata biru milik pria menawan di hadapannya. “M-maaf?” Suaranya terdengar sedikit mencicit, kentara takut dengan sosok Adam yang menatapnya tajam. Entah kenapa, pandangan ketakutan yang ditunjukkan oleh Evelyn membuat sesuatu dalam diri Adam merasa tertantang. “Aroma parfummu, aku pernah menciumnya di suatu tempat,” ulangnya. “Kita pernah bertemu?” tanyanya lagi, bermaksud untuk mengindikasikan bahwa wangi ini tak pernah dia temui selain satu kali itu. Hanya saja, Adam tak mampu menentukan satu kali di mana? Pertanyaan Adam membuat Evelyn terdiam, bingung harus mengatakan apa. Hatinya bertanya-tanya, apakah pr
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term
“Evelyn?” Suara Andre terdengar bergetar, memperhatikan sosok rupawan yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kamu sungguh Evelyn, ‘kan? tanyanya lagi, seakan tidak menyangka bahwa wanita bernama Evelyn itu akan muncul kembali di hadapannya. Evelyn terdiam lama, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Benaknya mengungkap ingatan indah antara dirinya dengan Andre, bagaimana pria itu dahulu memperlakukannya dengan manis dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, dalam hitungan detik, semua ingatan indah itu tenggelam digantikan memori menyedihkan perihal betapa kejamnya pria itu meninggalkan dirinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Andre telah menikah dengan seseorang yang paling Evelyn benci di hidupnya, wanita itu pun memutuskan untuk mengambil satu tindakan. “Maaf, sepertinya Bapak salah orang,” balas wanita itu dengan datar. Sebelum Andre bisa menelisik perihal dirinya lagi, Evelyn dengan cepat mengalihkan topik, “Saya akan mengganti rugi atas segala kerusakan yang mobil Bapak terima, apa Bap
“Pak Julian?” panggil Evelyn, mengerjapkan mata beberapa kali karena masih sedikit terkejut. Julian tersenyum ketika melihat Evelyn masih mengingat dirinya. “Mbak Evelyn, nggak perlu ladenin orang begini. Mbak lebih baik pergi aja," ucap pria itu menyarankan dengan ramah. Sebenci apa pun Evelyn terhadap Andre, tapi jujur dia merasa kasihan melihat pria itu disalahpahami. Lagi pula, memang awal permasalahan adalah dirinya yang tidak sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Andre. Evelyn pun berusaha menjelaskan, “S-sebenarnya tadi saya yang nabrak mobilnya sih, Pak. Terus dia kira saya kenalan dia, jadi dia mulai emosi pas saya bilang nggak kenal.” Tentu saja dia harus totalitas dalam berbohong menutupi identitasnya. "Agak aneh, tapi memang awalnya saya yang salah." Mulut Julian pun membulat, seakan baru memahami keadaan. Jujur dia tidak ingin ikut campur lebih jauh kalau Evelyn tidak berniat pergi. Akan tetapi, mengingat ada seseorang yang telah menurunkan titah padanya, maka dia ha
“Jadi, gimana hari pertama di sekolah?” suara lembut Evelyn terdengar bertanya kepada dua anaknya yang terduduk di kursi belakang mobil. Dia baru saja menjemput keduanya dari sekolah. Liam yang tadi memasang wajah datar bergegas tersenyum. “Seru!” Bocah tersebut melirik sang adik yang terlihat murung dan menggenggam tangannya pelan. “Ya ‘kan, Lili?!” Berbeda dengan Liam yang tersenyum dengan cerah, senyuman di wajah Lili terlihat sedikit dipaksakan. “Y-ya, seru. Semua teman-teman b-baik,” ujar gadis kecil itu. Mendengar nada senang Lili yang seakan dibuat-dibuat, alis Evelyn pun sedikit tertaut. “Oh, ya? Apa yang kalian lakukan di sekolah?” tanyanya, mencoba untuk menelisik lebih dalam. Liam dengan semangat menjelaskan bagaimana dia diajari mengenai mata uang dan juga belajar bahasa asing yang digunakan di Capitol. Tidak lupa juga bocah tersebut menceritakan mengenai teman-temannya yang begitu ramah. Evelyn tersenyum lembut mendengarkan cerita Liam, dengan sabar menunggu boca