Oho ... Apakah Adam merasa curiga dengan latar belakang si sekretaris baru direktur bisnis itu yaa? Jangan lupa follow IG author di @luciferater ya~
“Bu Evelyn, Ibu nggak apa-apa?” tanya Rena sembari memperhatikan wajah Evelyn. Sejak pertemuan mereka dengan sang CEO, calon karyawan baru itu terlihat tidak fokus dan melamun. “Kalau misalkan Ibu lelah, kita bisa lanjutkan tur ini besok kok.” Tersadar bahwa fokusnya sempat menghilang, Evelyn melambaikan tangannya ke arah Rena dan tersenyum lemah. “Saya nggak apa-apa, Rena,” balasnya. “Saya lupa belum berterima kasih atas bantuan kamu tadi di lift.” Rena membalas senyuman Evelyn. “Sama-sama, Bu. Saya bisa lihat pertanyaan Pak Adam tadi membuat Ibu tidak nyaman,” ujarnya. Dalam hati Rena, dia merasa aneh dengan sikap Adam tadi. Tidak pernah sebelumnya pria tersebut membuka topik dengan siapa pun selain para eksekutif, klien penting, atau pun asistennya. Selain itu, semua topik pembicaraannya jelas meliputi bisnis dan pekerjaan. Akan tetapi, kenapa tadi Adam membuka topik yang sungguh aneh dengan Evelyn? 'Yah, orang kaya ada pemikiran sendiri,' batin Rena, mengambil kesimpulan term
“Evelyn?” Suara Andre terdengar bergetar, memperhatikan sosok rupawan yang sekarang berdiri di hadapannya. “Kamu sungguh Evelyn, ‘kan? tanyanya lagi, seakan tidak menyangka bahwa wanita bernama Evelyn itu akan muncul kembali di hadapannya. Evelyn terdiam lama, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Benaknya mengungkap ingatan indah antara dirinya dengan Andre, bagaimana pria itu dahulu memperlakukannya dengan manis dan penuh kasih sayang. Akan tetapi, dalam hitungan detik, semua ingatan indah itu tenggelam digantikan memori menyedihkan perihal betapa kejamnya pria itu meninggalkan dirinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Andre telah menikah dengan seseorang yang paling Evelyn benci di hidupnya, wanita itu pun memutuskan untuk mengambil satu tindakan. “Maaf, sepertinya Bapak salah orang,” balas wanita itu dengan datar. Sebelum Andre bisa menelisik perihal dirinya lagi, Evelyn dengan cepat mengalihkan topik, “Saya akan mengganti rugi atas segala kerusakan yang mobil Bapak terima, apa Bap
“Pak Julian?” panggil Evelyn, mengerjapkan mata beberapa kali karena masih sedikit terkejut. Julian tersenyum ketika melihat Evelyn masih mengingat dirinya. “Mbak Evelyn, nggak perlu ladenin orang begini. Mbak lebih baik pergi aja," ucap pria itu menyarankan dengan ramah. Sebenci apa pun Evelyn terhadap Andre, tapi jujur dia merasa kasihan melihat pria itu disalahpahami. Lagi pula, memang awal permasalahan adalah dirinya yang tidak sengaja menabrakkan mobilnya ke mobil Andre. Evelyn pun berusaha menjelaskan, “S-sebenarnya tadi saya yang nabrak mobilnya sih, Pak. Terus dia kira saya kenalan dia, jadi dia mulai emosi pas saya bilang nggak kenal.” Tentu saja dia harus totalitas dalam berbohong menutupi identitasnya. "Agak aneh, tapi memang awalnya saya yang salah." Mulut Julian pun membulat, seakan baru memahami keadaan. Jujur dia tidak ingin ikut campur lebih jauh kalau Evelyn tidak berniat pergi. Akan tetapi, mengingat ada seseorang yang telah menurunkan titah padanya, maka dia ha
“Jadi, gimana hari pertama di sekolah?” suara lembut Evelyn terdengar bertanya kepada dua anaknya yang terduduk di kursi belakang mobil. Dia baru saja menjemput keduanya dari sekolah. Liam yang tadi memasang wajah datar bergegas tersenyum. “Seru!” Bocah tersebut melirik sang adik yang terlihat murung dan menggenggam tangannya pelan. “Ya ‘kan, Lili?!” Berbeda dengan Liam yang tersenyum dengan cerah, senyuman di wajah Lili terlihat sedikit dipaksakan. “Y-ya, seru. Semua teman-teman b-baik,” ujar gadis kecil itu. Mendengar nada senang Lili yang seakan dibuat-dibuat, alis Evelyn pun sedikit tertaut. “Oh, ya? Apa yang kalian lakukan di sekolah?” tanyanya, mencoba untuk menelisik lebih dalam. Liam dengan semangat menjelaskan bagaimana dia diajari mengenai mata uang dan juga belajar bahasa asing yang digunakan di Capitol. Tidak lupa juga bocah tersebut menceritakan mengenai teman-temannya yang begitu ramah. Evelyn tersenyum lembut mendengarkan cerita Liam, dengan sabar menunggu boca
Evelyn menghela napas, lalu menjelaskan singkat pertemuannya dengan Adam. Bagaimana pria itu menatapnya penuh curiga, mengungkit wangi parfum yang familier, serta menanyakan apakah mereka pernah bertemu. Dengan tangan menopang kepala dan ekspresi serius di wajah, Anita mendengarkan cerita Evelyn dengan saksama. “Apa kamu akan minta pertanggungjawabannya?” tanyanya ketika Evelyn mengakhiri ceritanya. “Minta pertanggungjawaban? Kepada siapa? Adam Dean?” Evelyn terkekeh sinis. “Memangnya aku siapa?” balasnya sembari membanting tubuhnya ke sofa. “Dia pasti akan mengira bahwa aku hanyalah seorang wanita yang mengincar hartanya,” imbuh wanita itu lagi. Mengingat-ingat cerita Rena siang tadi, Evelyn mengepalkan tangannya. “Casanova dari Capitol, pria itu sangat terbiasa menghadapi wanita.” “Lalu, kamu akan tetap bekerja di sana?” tanya Anita. Jujur saja, dia merasa sedikit bersalah karena telah mendorong Evelyn untuk kembali ke Nusantara dan masuk ke Eden. “Aku bisa merekomendasikanmu
Keesokan paginya, Evelyn tiba di kantor dan langsung mengarah ke lantai kerjanya. Dia mengenakan kemeja biru tua dan celana bahan hitam yang membuat kaki jenjangnya terlihat semakin panjang. Rambut lurusnya diikat setengah, membingkai wajah panjangnya. Kecantikan wanita itu membuat sejumlah karyawan pria melirik, beberapa saat menikmati pemandangan indah tersebut. Sesampainya di depan ruang kantor seperti yang ditunjukkan Rena di lain hari, Evelyn pun mengetuk dan mendorong pintu. “Permisi,” ujarnya dengan lembut. Dalam ruangan tersebut, terdapat dua meja yang saling berhadapan. Satu meja telah terisi oleh seorang wanita dengan rambut bergelombang yang sedang berdandan. Dia mengenakan atasan putih dengan leher kemeja rendah serta rok pendek ketat, memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah dan menggoda. Menyadari kedatangan Evelyn, wanita tersebut menoleh cepat, seakan kesal acara dandannya diganggu oleh tamu tak diundang. Manik cokelat tua wanita tersebut memeriksa penampilan Ev
“Kamu bilang apa?!” Suara melengking Evelyn terdengar bergema di ruang kerjanya. Wajahnya pucat dan dia langsung membereskan barang-barangnya sembari tetap menempelkan ponsel pada telinganya. “Gimana bisa kamu nggak lihat kalau anak-anak pergi?!” bentak wanita itu, menunjukkan sisi lainnya yang mengerikan. Tidak bisa Evelyn sangka bahwa di hari pertamanya kerja, dia akan mendapatkan begitu banyak masalah. Bukan hanya sang pengawas—Linda—mempersulit pekerjaannya, tapi sekarang pengasuh yang dia pekerjakan untuk mengurus anak-anaknya telah lalai. Bagaimana mungkin dia bisa tidak sadar kalau Liam dan Lili mendadak hilang dari pengawasannya!? Sembari berusaha keras untuk berpikir dingin, Evelyn memerintahkan pengasuhnya yang terdengar panik di telepon, “Sekarang kamu laporkan ke manajemen gedung, minta bantuan untuk mengecek CCTV, saya pulang seka—” “Mama!” seruan nyaring dari sisi pintu yang terbuka membungkam Evelyn. Dua buntalan kecil berlari ke arahnya dan langsung memeluk pingga
Pertanyaan Lili sukses membuat Evelyn menganga selagi Julian menahan tawa. Di sisi lain, Adam hanya terdiam, sedang menimang-nimang jawaban apa yang tepat diberikan kepada gadis kecil itu. Agar tidak membuat masalah lagi, Evelyn segera menghampiri Adam dan berusaha meraih putrinya kembali. “B-biar Lili saya bawa, Pak. Maaf merepotkan,” ujarnya sembari merentangkan tangan. Karena tangan Evelyn sudah terbuka dan siap menerima putrinya, Adam pun memberikan gadis kecil itu kembali kepada ibunya. Entah kenapa, ada rasa enggan dalam diri pria tersebut ketika diminta mengembalikan Lili, seakan menyayangkan tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan bocah menggemaskan itu. Sebuah perasaan yang cukup aneh dan asing, terutama karena Adam Dean tidak pernah suka dengan anak kecil sebelumnya. Di saat dirinya memberikan Lili kembali kepada Evelyn, tanpa sengaja tangan Adam bersentuhan dengan tangan wanita itu. Kejadian tersebut membuat kedua orang itu terkejut, merasakan adanya sengata