Hmm, nggak sangka udah sejauh ini. Walau sempat tersendat di tengah-tengah, tapi author senang bisa melihat karya ini menjelang penutupannya :")
“Tidak kusangka akan tiba hari di mana Tuan Dominic Grey akan berakhir menikah,” ucap Selena, sekretaris Dominic, yang menangis haru melihat sang atasan mengenakan jas putih pernikahan, terlihat begitu cerah dibandingkan hari-hari biasanya.Di sebelah Selena, Julian menepuk-nepuk pundak wanita tersebut. “Aku paham perasaanmu.” Dia sendiri sempat merasakan hal serupa ketika Adam Dean menikah dengan Evelyn Grey.Sembari menggandeng lengan Julian, Elena memasang senyuman geli. Dengan wajah bangga, dia berkata, “Hehe, kalian kurang peka. Sedari awal, aku sama sekali tidak terkejut Adam akan berakhir dengan Evelyn dan Dominic akan berakhir dengan Rena.”Sementara para pemuda-pemudi Capitol mengomentari pernikahan Rena, di satu area khusus yang dijaga banyak pengawal berpakaian tradisional, terlihat Saraswati dan Anindita hadir bersama dengan ibu mereka, Adhisti. Ketiganya terlihat tengah berbincang ramah dengan Diandra dan Henry yang dengan mahir menjamu mereka.Tampak sosok Adhisti juga s
Tidak lama setelah Evelyn beserta suami dan ibunya turun dari panggung, iringan merdu piano pun terdengar. Pintu ruang pesta terbuka, membuat setiap pasang mata beralih ke arah sosok berbalut gaun pengantin berwarna putih mutiara yang berjalan memasuki ruang pesta didampingi seorang wanita dengan gaun hijau indah. Itu adalah Rena yang didampingi oleh sang nenek, Yara. Memerhatikan calon istrinya menghampiri, Dominic merasa seakan jantungnya ingin melompat keluar dari dada. Langkah Rena dalam gaun indah itu sangatlah ringan, hampir seperti melayang bak dewi yang turun dari khayangan. Bulu mata lentiknya yang bergetar mengikuti langkahnya membuat penampilan wanita itu memesona Dominic. Saat wanita rupawan itu sudah berada di hadapannya, Dominic hanya bisa membeku seperti orang bodoh, tenggelam dalam pancaran indah sepasang manik hijau yang menghipnotis itu. Dengan tangan yang telah disodorkan oleh Yara kepada Dominic, Rena yang melihat pria itu mematung konyol tersenyum geli. “Tidak
“Urgh ….” Suara lenguhan terdengar dari sesosok gadis muda yang terduduk dari tempat tidurnya. Dentuman di kepala gadis tersebut membuatnya mengernyit selagi memperhatikan pemandangan sekeliling ruangan yang terlihat asing. Tidak merasa familier dengan ruangan tempatnya berada membuat jantung gadis itu berdetak semakin cepat. Maniknya bergerak cepat ke arah lain dan berujung membesar di saat pandangannya bertemu dengan keberadaan seorang pria tak berbusana di sisinya. Bukan, bukan hanya sembarang pria, melainkan seorang pria dengan tubuh yang dihiasi otot indah dan menggoda. Menyadari ada yang salah, gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangan ke bawah.. ‘Sial!’ maki gadis itu dalam hati ketika menyadari bahwa dirinya juga tidak berbusana. Di saat gadis itu masih bergelut dengan keterkejutannya, suara getaran menarik pandangannya pada nakas tempat ponselnya berada. Dia langsung meraih ponsel tersebut dan menemukan sejumlah panggilan tidak terjawab beserta pesan yang belum terbac
‘Bagaimana mungkin aku salah kamar?!’ teriak Evelyn dalam hati. Menyadari bahwa dirinya telah melakukan hal gila karena alasan bodoh, Evelyn pun berbalik dan berniat untuk berlari pergi meninggalkan tempat tersebut. Dia berdoa bahwa tidak ada yang akan pernah tahu tentang hal ini, terutama karena dirinya telah memiliki status sebagai tunangan orang! Akan tetapi, sayangnya … takdir berkata lain. “Evelyn?” Baru saja Evelyn berbalik dan ingin mulai berlari, seorang pria berwajah tampan memasang ekspresi kebingungan dan kecewa. Manik pria itu terarah pada kamar nomor 1010, lalu kembali pada sosok Evelyn yang berantakan. “Andre …,” panggil Evelyn dengan suara parau. Andre Diwangkara, putra satu-satunya keluarga pebisnis terkaya Nusantara, merupakan tunangan Evelyn atas dasar perjodohan. Walau dijodohkan, tapi Andre sungguh mencintai Evelyn, dan Evelyn pun mencintai pria tersebut. Mata Andre mengarah pada sejumlah bekas merah pada leher dan dada Evelyn yang tidak tertutup oleh
Suara tamparan keras menggema di ruang tamu Keluarga Aditama. “Anak nggak tahu malu!” maki seorang pria paruh baya dengan emosi yang menggebu-gebu. Di tempatnya, Evelyn hanya bisa membeku, masih begitu terkejut akibat tamparan yang diterimanya begitu melewati pintu masuk ruang tamu kediaman. “Dari mana kamu tadi malam, hah? Sama siapa kamu?!” sembur Reyhan dengan tatapan nyalang. Bayangan gelap di bawah mata pria itu menunjukkan bahwa dirinya tidak tidur dengan nyenyak. Evelyn menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa. “Aku ….” Evelyn mengepalkan tangannya. “Aku di—” Seorang gadis dengan wajah ayu bergegas menahan tangan sang ayah. Wajahnya menatap Evelyn dengan pandangan prihatin. “Pa! Jangan kasar dengan Kak Evelyn! Dengerin penjelasan Kak Evelyn dulu!” “Diam, Risa! Asal kamu tahu, kakakmu ini tadi malam berlaga layaknya seorang wanita penghibur!” teriak Reyhan dengan emosi menggebu-gebu. Kemudian, pria paruh baya itu menunjukkan sebuah rekaman ke hadapan Risa dan Eve
“Gugurin kandungan itu!” seru Reyhan dengan dingin sebagai balasan atas pernyataan Evelyn. “Kita gugurin kandungan itu hari ini!” Mendengar ucapan sang ayah, Evelyn menautkan alisnya. “Tapi Pa ….” Pandangan gadis itu turun menatap perutnya, satu tangan mengusapnya lembut. “Bayi ini nggak bersalah.” Balasan Evelyn membuat Reyhan menaikkan alisnya, pria itu pun bertanya, “Terus kenapa?” Perasaannya sedikit tidak enak, merasa bahwa putri sulungnya memiliki ide bodoh. “Bayi itu memang nggak salah, tapi kamu yang salah! Karena itu, menggugurkan bayi itu adalah pilihan terbaik untuk membenarkan kesalahan kamu!” Evelyn menutup matanya, tahu bahwa di hadapan sang ayah dirinya akan selalu salah. Dia tidak mengelak, kelalaian karena telah bermalam dengan pria asing jelas merupakan kesalahannya. Namun, setelah merenungkan keseluruhan situasinya selama beberapa minggu membuatnya yakin akan satu hal; Dirinya telah dijebak seseorang. “Kesalahanku akan kutanggung sendiri, tapi bukan dengan
“Mama, Mama! Aku mau itu!” seru seorang gadis kecil berkisar tujuh tahun sembari menunjuk ke arah gambar es krim sebuah restoran. Mata bulat gadis itu terlihat menggemaskan, juga memesona akibat maniknya yang berwarna biru terang. Mendadak, sebuah tangan mungil menggenggam tangan gadis kecil itu untuk menahannya. “Lili, jangan ngerepotin Mama. Kita bisa beli itu nanti, ya,” balas seorang bocah laki-laki dengan wajah yang hampir sama persis dengan sang gadis kecil. Sikap sang bocah kecil yang begitu tenang membuat beberapa orang yang memperhatikan mengira bocah itu lebih tua dari penampilannya. Di antara kedua kembar menggemaskan tersebut, seorang wanita cantik berpakaian elegan menggandeng keduanya sembari tersenyum. Wanita itu berjongkok di hadapan kedua putra-putrinya dan berkata, “Liam memang paling pengertian,” pujinya. Kemudian, dia beralih kepada sang gadis kecil dan mengusap kepalanya lembut. “Lili sabar dulu ya, Sayang. Setelah kita sampai apartemen dan selesai berberes, Ma
‘Pria ini!’ Melihat pria di hadapannya, Evelyn tak mampu melanjutkan ucapannya. Bukan hanya karena pandangan sang pria yang mengintimidasi, tapi juga karena keberadaan permata biru terang yang begitu dia kenali. “Tidak masalah,” balas Adam dengan suara rendah yang menggelitik telinga, tidak menunggu Evelyn menyelesaikan ucapannya. Suara dalam milik Adam membuat darah dalam tubuh Evelyn berdesir. Walau telah lama berusaha melupakan malam itu, tapi ingatan Evelyn menghantui dirinya. Tubuh wanita itu dengan jelas mengingat jejak yang telah ditinggalkan pria di hadapannya tersebut. Delapan tahun sudah berlalu, tapi sedikit pun tidak pernah Evelyn lupakan perihal penampilan pria di hadapannya ini. Mata biru terang itu, bibir tipisnya, juga lekukan otot pada tubuh yang satu malam itu pernah menguasai dirinya. Bibir Evelyn terbuka mengucapkan sebuah kata, “Kamu—" “Pak Adam, kita harus segera pergi,” sebuah suara lain menghentikan Evelyn dan mengalihkan pandangan Adam. “Julian,