Share

Bab 2.

Ibu melihatku dengan tatapan tidak suka. Aku segera menunduk. Tidak enak hati rasanya. Seumur-umur baru kali ini ibu menatapku seperti itu. 

Aku segera bergegas masuk ke dalam kamar. Otakku masih dipenuhi kata-kata Mas Gilang tadi. Tahu dari mana Mas Gilang tentang lelaki yang bernama Fajar? Mengapa dia melarangku menerima pinangannya? Adakah sesuatu yang ganjil? 

Jangan-jangan, itu hanya dalih Mas Gilang saja. Bukannya ibu tadi mengatakan, kalau Mas Fajar tidak segera meminangku, maka Mas Gilang yang akan meminangku? Apakah mereka bersaing?

Aku tersenyum kecut jika mengingat perlakuan Mas Gilang selama ini. Mana mungkin dia mau meminangku. Menatap saja dia seolah enggan. Seringnya hanya tersenyum sinis. Tapi, mengapa tiba-tiba dia melarangku menerima pinangan lelaki bernama Fajar?

Kududukkan badanku ke sisi ranjang. Aku seperti orang linglung. Memikirkan mau dipinang orang saja kepalaku sudah terasa pening. Apalagi Mas Gilang menambah masalah dengan melarangku menerima pinangan lelaki yang akan segera datang berkunjung. Ah, bodo amat!

“Lho, Ndhuk. Kok belum siap-siap?” tanya Bulik Diah. Kepalanya menyembul dari sela-sela pintu. Lalu membuka pintu kamarku dan masuk ke dalam. 

“Memang mesti bagaimana tho, Bulik?” tanyaku. Aku rasa aku sudah cukup berpenampilan sopan untuk menemui tamu. Tunik selutut dipadu celana bahan dan jilbab instan. 

Bulik Diah menatapku sambil menggelengkan kepalanya. Memang, aku lihat Bulik Diah dan Bude Siti pun memakai baju yang tidak biasa. Tapi bukannya mereka hanya mengatakan bahwa tamu akan datang dan berkenalan saja? 

Bulik Diah berjalan ke arah lemari baju di kamarku. Disibakkannya baju yang tergantung disitu. Lalu beliau mengambil salah satu dress yang kupakai terakhir kali di acara wisuda. Dress berbahan satin dengan dipadu broklat. 

“Kok pake baju kayak gini?” Aku menggeleng. Keningku berkerut tanda aku tidak mengerti. Bisa-bisa aku jadi salah kostum. Dikira aku ke-GR-an. Toh, katanya hanya kenalan. 

“Sudah kamu pakai saja,” kata Bulik sambil menyuruhku ke kamar mandi untuk cuci muka. Katanya wajahku harus sedikit dirias agar segar. Haduh? Apa lagi ini? Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak.

Drttttt

Segera kuraih ponsel yang aku taruh di atas meja. Alisku bertaut. Ah iya, baru ingat, nomor Mas Gilang belum kusimpan. Aku memang tidak punya nomor Mas Gilang dari dulu. Buat apa? Orangnya dari dulu jutek dan selalu menolak jika aku meminta tolong, dengan alasan kalau aku ini nyusahin. 

[Kalau Fajar kasih kamu cincin, jangan diterima] Kubaca pesan dari Mas Gilang. 

Heleh, apa-apaan sih. Kayak ABG labil cemburuan saja. Kalau lelaki yang bernama Fajar memberiku cincin memang kenapa? 

Segera aku letakkan kembali ponselku. Aku tidak terlalu menggubrisnya. Sementara Bulik Diah sibuk menyapukan make up di wajahku. 

“Nah, itu tamunya datang,” kata Bulik Diah saat kami mendengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Segera bulik dengan sigap membenahi jilbab di kepalaku yang entah di model apa. Bulik Diah memang bekerja sebagai rias pengantin. Wajar jika bulik ahli merias dan menata jilbab. 

Ibu segera mengajakku ke ruang tamu. Kulihat di sana sudah ada Pakde, Paklik, dan juga Bapak. Sedangkan Ibu, Bude dan Bulik duduk di dekatku. Sementara tamunya ada sepasang suami istri yang seusia ibukku dan juga seorang pemuda berbaju batik. 

Aku sebenarnya penasaran dengan pemuda itu. Tapi, entahlah mengapa rasa takut tiba-tiba menyelimutiku. Aku merasa segan dan malu untuk menatapnya. Aku hanya menunduk dan sibuk memainkan ujung outer broklat yang kukenakan. Sedangkan ibu tampak sangat akrab bercakap-cakap dengan ibu pemuda itu yang juga adalah teman sekolah ibu. Sesekali Bude dan Bulik turut menimpali. 

Tak begitu aku dengarkan apa yang mereka perbincangkan. Otakku berkelana entah kemana. Aku tidak mengerti apa arti semua ini. Rasanya tegang sekali pikiranku. Hingga tiba-tiba...

“Sekar, sini.” Suara bapak memanggilku untuk mendekat. 

Segera aku beranjak setelah Ibu memberi kode untuk mendekat ke Bapak. Tiba-tiba mataku terbelalak. Teringat kata-kata Mas Gilang. 

Lelaki itu membuka kota kecil dengan cover berbahan beludru warna hitam. Sudah bisa ku tebak itu adalah cincin. 

Tiba-tiba kepalaku serasa berdenyut ketika bapak memintaku mengulurkan jari manisku. 

“Jangan!” 

Sebuah suara lantang terdengar dari arah pintu. Semua orang menatap ke sana. Seorang lelaki tampan berdiri di ambang pintu. Tiba-tiba aku merasa semuanya gelap!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status