“Sudah puas nangisnya?” tanya Mas Gilang dingin.
Hari masih jam tujuh pagi. Mas Gilang sudah berdiri di ambang pintu kosanku. Pasti dia melihat dengan jelas mataku yang sudah bengkak karena semalaman menangis. Entah berapa ember airmata yang berhasil aku keluarkan. Yang jelas saat ini aku merasa air mataku sudah mengering dan pedih rasanya mataku.
“Cengeng!” gumannya yang terdengar jelas hingga ke telingaku.
Aku hanya bisa meliriknya sekilas, mencebikkan mulut, lalu berniat menutup pintu kosan agar dia segera pergi dari hadapanku.
“Buruan siap-siap. Aku tunggu!” ujar Mas Gilang lagi. Tangannya dengan sigap menahan pintu yang akan segera aku tutup.
“Ini masih jam tujuh. Aku mau tidur lagi!” sahutku malas. Jam masuk kantor masih jam delapan. Jarak kosan ke kantor tidak sampai 15 menit jalan kaki. Ngapain datang pagi-pagi. Mau bantuin CS sama OB nge-vakum karpet?
“Tidur lagi? Mau nangis lagi?” tanya Mas Gilang dengan nada mengejek.
“Buruan. Aku traktir bubur ayam belakang kantormu!” serunya sambil menghenyakkan badannya duduk di bangku teras kosanku.
Mataku langsung membulat mendengar bubur ayam. Maklum lah, selama ini aku menghemat uang gaji agar dapat menabung buat jalan-jalan ke luar negeri seperti teman-temanku yang lain. Meskipun gajiku tak terlalu besar, bolehkan aku bermimpi bisa ke luar negeri?
Tak sampai sepuluh menit, aku sudah siap. Mas Gilang tidak kaget sama sekali. Dia sudah hafal kalau aku sejak dulu selalu mandi kilat dan siap-siap pun kilat. Tak ada bedak yang tersapu di wajah ini. Pantas saja, aku langsung insecure begitu ketemu dengan Daniar yang cantik dan kinclong. Sedangkan aku? Tetap saja kampungan.
Mengingat kata kampungan, hatiku menjadi pedih. Kata-kata pedas yang disematkan Mas Fajar di belakangku malam itu.
Dari depan kosan aku dan Mas Gilang jalan kaki, menyusuri gang kecil, beserta hiruk pikuk di pagi hari. Dari ibu-ibu yang repot menyuapi anaknya sambil ngajak jalan-jalan, ada yang berbelanja di tukang sayur, bahkan, ada yang nyuci perabot di pinggir gang sambil ngobrol dengan tetangga. Begitulah ibukota dan gang sempitnya.
Tiba di tenda buryam belakang kantor, aku dan Mas Gilang duduk berhadapan di bangku panjang. Bangku yang bisa muat delapan hingga sepuluh orang yang dilindungi oleh tenda. Dua mangkuk bubur dengan topping ayam, cakue, seledri, bawang goreng, kacang kedelai dan krupuk tak lama tersaji di depan kami.
Meskipun jam belum menunjukkan angka setengah delapan, udara jakarta sudah cukup panas. Satu persatu pegawai kantoran yang bekerja di sekitar kantorku mulai berdatangan. Sebagian besar mereka memang membeli sarapan di sekitar sini. Jalan belakang kantor yang di sisinya banyak aneka gerobak penjual makanan, dari gorengan, bubur ayam, ketoprak, gado-gado, mie ayam, dan masih banyak lagi.
“Jadi kamu masih ingin menikah dengannya?” tanya Mas Gilang sambil menoleh menatapku. Beberapa detik kemudian, dia fokus menatap sendok buburnya.
Sejak dulu, aku tak pernah akur dengannya. Agak heran juga mendadak dia sepeduli ini padaku. Biasanya, kalau nggak campur tangan ibu di kampung, pasti Bude Hanum, ibunya Mas Gilang. Bisa jadi juga karena kita sama-sama di perantauan.
“Kamu pikir aku perempuan apa?” Aku balik bertanya dengan kesal. Wajahku kembali pias.
“Jangan dihadapi dengan tangisan. Percuma. Pakai ini.” Mas Gilang mengetukkan telunjuk ke jidatnya.
Aku hanya bisa menghela nafas. Sekarang pun aku tak bisa berfikir jernih.
“Aku akan membatalkan rencana pernikahan,” sahutku kemudian. Diam-diam, kulepas cincin yang tersemat di jari manisku, lalu memasukkannya ke dalam dompet yang ada di tasku.
“Bagus!” komentar Mas Gilang sambil mengangguk-anggukkan kepala. Tak lupa, dia menunjukkan jempolnya.
Aku kembali menekuri mangkuk bubur ayam. Tadinya, terlihat lezat. Namun, pembicaraan membuat tenggorokanku terasa tersumbat.
“Sorry, udah siang. Keburu macet. Aku pergi dulu,” ujar Mas Gilang lalu ia beranjak setelah membayar bubur yang kami makan.
Aku hanya termangu, menatapnya sampai punggung kokoh itu hilang dari pandangan.
***ETW***
“Buk, Sekar ndak bisa meneruskan rencana pernikahan dengan Mas Fajar,” ujarku sambil terisak. Aku terpaksa menelpon ibu dengan videocall sepulang dari tempat kerja. Tak mungkin aku mendadak pulang ke Yogya di minggu bekerja seperti ini. Kupikir lebih cepat diputuskan akan lebih baik, agar orang rumah menghentikan persiapannya.
“Kamu jangan macem-macem, Nduk. Tidak bisa dibatalkan begitu saja,” sahut Ibu. Dari raut mukanya terlihat kesal.
“Buk, Mas Fajar sudah punya pacar. Sekar tidak mau melanjutkannya,” jawabku ingin meyakinkan ibu.
“Justru karena Mas Fajar sudah punya pacar, dan Bude Nurul tidak menyukainya, maka dijodohkan sama kamu.”
Aku baru tahu, kalau salah satu alasannya karena mereka ternyata mengetahui kalau Mas Fajar sudah punya kekasih. Terus, aku disuruh jadi orang ketiga, maksudnya?
“Tapi, Buk. Mas Fajar itu punya niat jahat….”Masih teringat jelas apa yang dia bicarakan di resto dengan pacar nya saat itu.
“Hush! Jaga bicaramu,” hardik ibu. Mata perempuan yang telah melahirkanku itu nyaris melotot, menyembunyikan amarah kepadaku.
“Bagaimana dia berniat jahat, sedangkan biaya kuliah kamu dan Mas Aji saja banyak dibantu oleh keluarganya,” lanjut Ibu.
Hatiku langsung mencelos mendengar perkataan ibu.
Apa? Biaya kuliah? Aku baru tahu fakta ini. Mengapa ibu tak pernah mengatakannya?
Selama ini ibu dan bapak hanya mengatakan aku dan Mas Aji harus giat belajar, karena biaya kuliah nggak murah. Nggak pernah mengatakan uang dari mana. Karena katanya, urusan biaya adalah urusan mereka, saat aku bertanya.
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
"Ibu kenapa, Dik?" tanya Gilang begitu sampai rumah. Dia melihat wajah mertuanya yang tak seperti biasanya. Hanya cemberut saja saat ia mencium punggung tangannya. "Ibu marah, Mas. Gara-gara Aidan aku kasih ASI perah nanti kalau aku sudah kerja." Sekar menarik nafas dalam-dalam. "Kenapa ibu marah?" tanya Gilang. "Ya, bagi ibu, ASI perah itu nggak bagus diberikan pada bayi. Jadi sebaiknya diberi susu formula," terang Sekar. "Kalau menurut kamu sendiri, gimana?" tanya Gilang. "Ya jelas, makanan terbaik bayi baru lahir ya ASI. Kalau ada kasus khusus, misalnya ASI nggak keluar atau ibu sang bayi sakit, baru boleh dikasih susu formula. Bahkan sekarang sudah banyak lho donor ASI dan bank ASI, karena naiknya kesadaran ibu muda tentang kualitas ASI untuk bayi," jelas Sekar. Gilang mengusap kepala Sekar. "Jadi, nggak ada masalah, kan?" "Masalahnya, ibu nggak setuju, Mas." tutur Sekar dengan nada penuh kecemasan. "Nanti biar Mas kasih tahu." Sekar hanya mencebik. Mana mungkin G
"Hari ini, Bunda sudah boleh pulang, ya." Suster datang sambil mengantar Baby Aidan. "Apa, Sus? Pulang?" tanya Sekar. Dia baru menginap semalam setelah melahirkan kemarin siang. Jadi, kenapa cepat sekali harus pulang? "Kalau melahirkan normal, tanpa keluhan, bayinya juga sehat, memang begitu bunda. Dua hari saja sudah cukup." Sekar menatap Gilang yang ada di ujung ruangan. Mereka ditempatkan di ruangan yang sejatinya untuk berdua. Namun, karena nggak ada pasien lain, maka akhirnya hanya ditempati sendiri. Setelah suster pergi, Gilang menghampiri Sekar. "Kenapa, Dik? Ada masalah?" tanyanya heran. Kenapa istrinya seperti enggan pulang? "Aku takut, Mas, ngurus Aidan sendiro. Aku kan ngga pengalaman pegang bayi." "Tenang. Kan ibu hari ini datang. Aku juga bakal bantu kamu," ujar Gilang enteng. Sekar tak menyangka secepat itu. Tadinya dia berencana mau melihat suster memandikan dan membersihkan kotoran kalau pipis atau pup. Tapi, kenapa malah dia harus segera pulang. Padahal j
"Makan yang banyak, Dik. Kamu perlu asupan gizi," tutur Gilang sambil menyuapi makan Sekar. Jatah makanan dari rumah sakit bersalin itu sebenarnya makanan sederhana, sayur sup dan udang goreng tepung. Namun, rasanya seperti tidak makan selama seminggu. "Makasih ya, Mas. Kamu mau aku repotin," tutur Sekar. Gilang baru saja pulang. Dia harus membawa pakaian kotor Sekar yang dikenakan saat bersalin. Pria itu pun juga harus mencucinya, karena noda darah tak mungkin membiarkan hingga mereka pulang dari rumah sakit. Untungnya, jarak rumah dan rumah sakit tak terlalu jauh. Sehingga memungkinkan untuk pulang pergi. Lagi pula, Gilang juga harus mengubur ari-ari. "Itu sudah kewajibanku. Ingat, kita sekarang bukan Sekar dan Gilang yang kemarin. Kita sudah jadi orang tua. Kita harus bisa jadi panutan anak-anak kita nanti." Sekar mengerutkan dahi. Tumben Gilang bicara serius dengannya. Meski sebenarnya itu tidak asing bagi Sekar. Saat SMA dulu, Gilang meski usia terbilang muda, namun pemi