“Mas, jadi aku harus gimana?” tanyaku pada Mas Gilang. Sore-sore aku tak sengaja bertemu dengannya di tukang pecel lele langgananku. Tadinya aku berniat beli makan dibungkus, akhirnya urung, karena melihatnya. Mendingan, makan ditempat sambil ngobrol.
Sebenarnya aku agak heran. Mengapa dia tiba-tiba ada di sini? Jangan-jangan dia membututiku. Ah, GR saja aku ini!
Aku sengaja keluar mencari pecel lele usai menelpon ibu. Hati ini rasanya sangat kacau, hingga membuatku merasa kelaparan.
“Batalin saja. Kenapa repot?” jawabnya datar. Dia terus saja mengunyah makanannya. Tangannya sesekali memisahkan lele dari durinya. Tak ada niatan sama sekali menatapku serius yang meminta pertimbangannya.
“Ngga semudah itu, Mas,” jawabku.
Aku masih terus menatapnya. Berharap dia serius menganggapi ucapanku. Hingga tak terasa pecel lele pesananku sudah terhidang.
“Kata ibu, kalau aku membatalkan pernikahan ini, kami harus membayar utang ibuk 500jt. Kalau tidak, tanah warisan simbah yang harusnya dibagi sama Pak Lik dan Bulik, akan diambil sama ibunya Mas Fajar,” jelasku sambil memotes daun kemangi sebagai lalap bersama lele yang sudah siap disantap.
“500 juta? Buat apa ibumu pinjem uang sebanyak itu?” Mas Gilang mencuci tangannya di kobokan. Lalu ia menggeser piring kotornya menjauh.
“Awalnya utangnya 300 juta. 100 juta untuk ibu, 100jt untuk Paklik, dan 100juta untuk Pakde. Ya buat sekolah kita-kita, anak-anaknya,” tukasku.
“Kenapa jadi 500?” Dahi Mas Gilang berkerut, matanya tajam menatapku, penuh selidik.
Aku juga bingung.
Tapi, menurut ibu, karena kita tidak segera melunasinya, jadilah sampe segitu. Apalagi, jaminannya tanah warisan kakek yang harga tanahnya juga semakin melambung tinggi. Konon, kalau di jual saja, tanah warisan kakek itu harganya sudah 1M.
“Rente juga dong ibunya Fajar. Kamu mau nikah sama Fajar?" tanya Mas Gilang lagi. Entah berapa kalinya dia menanyakan apakah aku mau atau tidak nikah sama Mas Fajar. Sepertinya dia belum yakin.
Jangankan dia. Aku sendiri pun tak yakin.
“Jadi kamu mau pilih bayar apa nikah sama Fajar?” tanya Mas Gilang lagi.
Kepalaku jadi berdenyut. Pusing rasanya. Uang sebanyak itu, mana aku punya. Tapi, nikah sama Mas Fajar? Bukannya dia hanya main-main saja? Dia menyebutku gadis kampungan. Dan dia akan segera menceraikanku setelah mendapatkan warisan. Jadi, buat apa?
“Ya Pakde sama Paklikmu suruh bayar juga lah. Masak cuma kamu. Mereka kan sudah sukses. Jual saja mobilnya,” sambung Mas Gilang sambil mengaduk es jeruknya.
Mas Gilang memang tahu kalau kedua saudara ibu itu memiliki kendaraan roda empat. Setiap datang ke rumah, mobil itu terparkir di halaman rumahku.
“Nggak semudah itu. Mereka justru mendukung aku nikah sama Mas Fajar agar tidak perlu membayar utang,” tukasku.
Nasi dan pecel lele serasa susah tertelan di tenggorokan, karena memikirkan nasib ini. Perutku tiba-tiba merasa kenyang. Segera aku mencuci tangan di kobokan.
“Jangan dibiasakan makan tidak habis. Kamu perlu tenaga untuk memikirkan hutang keluargamu,” sindir Mas Gilang sambil melirik ke piring di hadapanku yang nasinya belum berkurang setengah.
“Mas, kamu mau kemana?”tanyaku saat tiba-tiba kulihat Mas Gilang sudah bangkit dari duduknya.
“Aku duluan! Masalahmu terlalu ruwet. Aku pusing!”katanya sambil pergi begitu saja. Tak sedikitpun ia menoleh ke arahku yang masih menunggu saran-sarannya.
--
***ETW***
“Ngapain, Mas kita di sini?” tanyaku ke Mas Gilang. Dia malah mengajakku nongrong di angkringan yang terletak di trotoar depan sebuah hotel.
“Kamu lihatin terus hotel itu. Aku mau makan," sahutnya.
Kulihat Mas Gilang malah menyeduh teh panas dengan gula batu pada cangkir yang terbuat dari aluminium dengan motif klasik. Lalu ia makan dengan lauk orek tempe, bihun coklat, pindang telur, kikil dan segala rupa masakan rumahan.
“Mas! Mas...itu,” panggilku sambil menunjuk sepasang kekasih yang tentu saja sangat kukenal, keluar dari lobi hotel.
“Foto!” perintah Mas Gilang sambil tetap sibuk dengan makanannya.
“Buat apa?” tanyaku tak mengerti.
Tapi, aku ikuti saja petunjuknya.
Kubidikkan kamera handphone ke arah mereka dari tempat aku duduk.
Mereka berdua tampak sangat mesra berangkulan. Apa aku cemburu? Tentu tidak. Padahal Mas Fajar adalah calon suamiku.
“Itu artinya mereka habis check in,” komentar Mas Gilang datar.
“Memang apa istimewanya orang check in di foto?” tanyaku penasaran. Bukannya kita juga sering check in di hotel kalau lagi dinas ke luar kota?
“Ini 'kan di dalam kota. Ngapain mereka check in di hotel?” pancing Mas Gilang.
“Jadi, kesimpulannya?” Aku tetap tidak mengerti? Apa mereka sedang lembur mengerjakan kerjaan kantor? Atau barang kali mereka habis meeting?
Mas Gilang menghela nafasnya dengan kesal. Terlihat jelas dia menatapku geregetan. Tapi, kenapa? Bukannya biasa saja? Ada yang aneh? Apa pertanyaanku aneh?
“Jadi, kalau kamu nikah sama Fajar, artinya kamu make bekasnya si Daniar. Ngerti?” ucap Mas Gilang. Matanya melotot menatapku. Telunjuknya pun mengarah ke wajahku. Sadis!
Aku masih mengerutkan dahi, dan tak lepas menatap Mas Gilang yang terlihat frustasi. Dia mengacak rambutnya kasar sambil mendengus berulang.
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat