Share

Bab 4.

Penulis: ET. Widyastuti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-30 18:06:31

“Jadi kamu sudah bertemu dengan perempuan bernama Daniar itu?” tanya Mas Gilang. 

Aku heran mengapa tiba-tiba Mas Gilang sudah berada di depan kantorku. Letak kantor kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Tapi bukan Jakarta namanya kalau tidak membuat jarak yang dekat terasa jauh. Dan selama setahun aku di Jakarta, tak sekalipun Mas Gilang bertanya dimana kantorku ataupun dimana kosanku. Mendapatinya tiba-tiba berdiri di depan lobi kantorku tentu merupakan hal langka yang patut diabadikan. 

Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. 

“Kamu tahu, siapa dia?” tanyanya lagi. 

“Dia teman SMA-nya Mas Fajar,” jawabku singkat. Sesuai yang aku tahu saat dia dikenalkan padaku. 

“Ikuti aku,” kata Mas Gilang sambil memberiku kode untuk mengikuti langkahnya. Aku hanya mengekorinya. Rupanya Mas Gilang sudah memesan taksi online. 

“Mau kemana kita, Mas?” tanyaku saat taksi yang kita pesan menuju ke suatu pusat perbelanjaan yang berbeda dengan kemaren. 

Mas Gilang hanya diam saja. Dia memang begitu. Percuma saja aku cerewet dan banyak bertanya. Lebih baik aku ikuti saja apa maunya.

Tiba-tiba kakinya melangkah masuk sebuah resto. Duh, resto lagi. Eitttts, tunggu. Kira-kira masuk resto, dia mau mentraktirku apa tidak ya?

“Ayo buruan,” katanya sambil menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku yang sedang terhenti tepat di pintu resto. 

“Aku yang traktir!” katanya lagi, seperti mengerti kekhawatiranku. 

Aku mengangguk senang. Lalu kuikuti kembali langkahnya. 

Kami memilih duduk di pojokan. Tak lama, seorang pelayan mendatangi kami dan memberikan daftar menu kepada kami. 

Mas Gilang tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk memilih menu. Dugaanku, duitnya juga mepet. Jadi, dia memilih sendiri menu untukku dan untuknya. Aku pun tak masalah. Mungkin karena kita sama-sama dari kampung dan dari keluarga miskin. Aku tertawa dalam hati. 

Tiba-tiba, hatiku ngilu saat teringat kemaren. Ditraktir sama Mas Fajar, tapi tingkahku mirip pembantu dari dusun. Padahal, aku ini 'kan udah kerja di Jakarta selama satu tahun. Kemana saja ya aku? 

Aku dan Mas Gilang duduk saling berhadapan. Namun, tiba-tiba Mas Gilang pindah posisi duduk di sebelahku. Tentu saja hal ini membuatku bingung. Mau apa dia mendekati ku? Kulirik tingkah laku dia yang mulai janggal. Tapi dia justru melotot ke arahku. 

Tak lama, menu yang kami pesan pun datang. Anehnya, Mas Gilang tak segera menyantap menu itu. Dia malah mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah itu, dia menunjuk-nunjuk ponselnya. Aku tak mengerti apa maksudnya. Tapi, dia memberi kode untuk tidak berbicara. Berulang dia letakkan telunjuknya di depan bibirnya. Sambil tetap melotot dia menunjuk-nunjuk ponsel. 

“Apaan?” tanyaku akhirnya. Dia pake bahasa isyarat yang tidak aku mengerti. 

Tanpa ba bi bu, dia malah menyambar tasku. Merogoh-rogoh kantung di tasku. Ya ampun, betapa malunya aku saat dia memegang pembal*t yang sengaja aku bawa, karena aku sedang halangan. Akhirnya, dia menemukan apa yang di carinya. Ponselku!

Segera dia berikan kepadaku, dengan sebelumnya membuka fitur pesan singkat. 

Keningku berkerut saat aku membaca pesan dari dia terketik disana. Spontan aku menoleh kebelakang.

“Auwwww!” pekikku. Kaki Mas Gilang dengan sengaja menginjak kakiku. 

Kulirik dia yang terus saja melotot sambil meletakkan telunjuk di bibirnya. 

Aku segera menatap layar ponselku kembali, lalu mengangguk-angguk mengerti setelah kubaca ulang pesannya.

[Jangan menoleh kebelakang. Dengarkan apa yang mereka katakan]. 

Kutajamkan pendengaranku. 

 “Kamu tenang saja. Begitu warisan kakekku di bagi, aku akan segera menceraikannya. Mana tahan aku menikah dengan gadis kampungan seperti dia. Kalau bukan karena desakan mama, aku tidak mau. Mama mengancamku tidak memberikan jatah warisan itu jika aku belum menikah,”kata lelaki yang duduk tepat di dibelakangku.

Posisiku memang membelakangi mereka, sehingga aku tidak bisa melihat siapa yang sedang berbicara.  

“Tapi, bukannya kalau kamu menikah dengan dia, warisan yang kamu dapatkan harus dibagi dua juga setelah kamu bercerai?” tanya yang wanita. 

“Dia bukan wanita matre. Dia sangat lugu. Hanya saja, ibunya sedikit matre. Nanti aku pikirkan kemudian. Yang penting, warisan itu jatuh duluan ke tanganku,” timpal lelaki itu. 

Sebenarnya aku penasaran siapa lelaki yang berbicara itu. Tapi, lagi-lagi mas Gilang melarangku untuk menoleh. Mas Gilang malah mengajakku foto selfie dengan kameranya. 

Tak lama, setelah dua orang dibelakangku mengganti topik pembicaraan lain. Mas Gilang memberiku kode untuk segera meninggalkan restoran itu. Dia memintaku keluar duluan tanpa gerak gerik mencurigakan dan menunggunya di luar resto. Sementara mas Gilang pergi ke kasir untuk membayar menu yang kita makan. 

Kami segera bergegas pergi meninggalkan pusat perbelanjaan itu. Tapi otakku masih penuh tanda tanya. 

“Aku kirim foto kita berdua,”kata Mas Gilang sesaat sebelum aku naik taksi online menuju kosanku. Jangan salah, taksi online yang aku tumpangi ini Mas Gilang yang bayar ongkosnya. Aku? Terlalu mewah untuk naik taksi online. Ojek saja sudah kemahalan. Biasanya hanya transjakarta turun di halte terdekat dan jalan kaki menuju kosan. 

Kurebahkan badanku seusai mandi. Jakarta memang luar biasa. Hanya jalan sebentar aja, badan rasanya pegal-pegal. 

Kuraih ponselku. Berdebar-debar rasanya ingin segera membuka gambar selfie yang Mas Gilang kirimkan tadi. Akhirnya, aku akan punya foto berdua dengan Mas Gilang. Hmmm, jangan-jangan Mas Gilang naksir aku. Tiba-tiba aku menjadi GR. 

Setelah beberapa detik berputar, akhirnya terbuka juga gambar itu. Wow! Cakep! Pekikku saat aku fokus melihat foto Mas Gilang. Dia memang tampan, asal tidak sedang jutek. Secara aku tidak pernah melihat lelaki itu secara bebas. Dia selalu membuang muka. 

Tapiiii....siapa dua orang di belakangku tadi?

Mataku terbelalak begitu menyadari orang itu. Hatiku tersentak dan ingin menangis sejadi-jadinya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50c

    Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50b

    “Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 50a

    “Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49c

    “Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49b

    “Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi

  • Menikah dengan Tetangga Jutek   Bab 49.a

    Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status