Sekar dan Gilang bertetangga sejak kecil. Mereka bersekolah di sekolah yang sama sejak TK meski hanya terpaut satu tingkat. Meski begitu keduanya tak pernah akur karena perbedaan karakter. Gilang yang aktifis organisasi, tak menyukai Sekar yang polos dan cenderung manja. Sayangnya, saat dewasa, mereka bekerja di ibukota dan diam-diam Gilang mengetahui siapa lelaki yang akan dijodohkan dengan Sekar. Apa jadinya jika niat Gilang menghalangi pernikahan Sekar dengan pria yang hendak dijodohkan itu justru membuatnya menjadi calon suami Sekar? Akankah pernikahan mereka akan langgeng? Ikuti terus kisahnya.
View More“Sekar ndak mau, Bude!” Aku menggeleng untuk menegaskan jawaban.
Pakde Amin dan Bude Hanum yang ada di hadapanku senyum-senyum seraya sesekali menatap anak laki-lakinya yang juga duduk tak jauh dari mereka.
Lelaki muda yang kukenal itu membuang muka dengan angkuh. Sementara, di sebelahnya ada Mbak Ratih, kakak perempuan dari lelaki itu. Wanita itu memberi isyarat padaku dengan mencebikkan mulut sembari matanya melirik ke adik semata wayangnya itu.
Keluarga yang aneh!
“Lha, Masmu itu kurangnya apa? Wis baik, sholeh, pinter. Masa kamu nggak lihat. Ganteng juga iya,” tambah wanita yang kusapa Bude itu, sambil mengerling ke Mbak Ratih.
Duh, mimpi apa aku semalam. Aku tuh datang ke rumah Bude Hanum karena disuruh ibu mengantar kue pagi-pagi. Kok malah kejadiannya kayak gini.
Seperti biasa, ibu kalau bikin cemilan, pasti dilebihkan. Nanti aku disuruh nganter ke rumah Bude Hanum, tetangga kami yang hanya berjarak beberapa rumah.
Ibu dan Bude Hanum sangat dekat karena dulu dari kecil sampe SMA sekolah bareng meskipun beda tingkat satu tahun.
Tak heran jika anak Bude Hanum dan ibuku juga usianya tidak terpaut jauh. Mbak Ratih, kakaknya Mas Gilang, dan Mas Aji, kakakku, juga selisih setahun. Begitu juga aku dan Mas Gilang.
Aku dan Mas Gilang memang selalu satu sekolah sejak SD sampai SMA. Namun bukannya dekat, malah dia menganggapku musuh bebuyutan.
Mungkin karena Bude Hanum sering menyuruh Mas Gilang jagain aku sewaktu di sekolah.
“Ngapain sih, Ma. Sudah gede pake suruh dijagain,” begitu selalu jawaban Mas Gilang sambil bersungut-sungut.
Jaman aku masih SMA, kami sama-sama aktif di kegiatan OSIS. Kalau ada acara sampai malam, pasti terjadi drama.
Bagaimana tidak, Mas Galang selalu ngloyor pulang begitu aja tanpa menungguku. Padahal angkutan umum sudah ngga ada kalau malam.
Terpaksa, Dewi, sahabatku yang naik motor akan mengantarku sampai rumah. Biasanya anak-anak OSIS yang pulang setelahku akan berkomentar pedas terhadap Mas Galang. Dan tentu saja, aku bakal kena imbas juga.
“Makanya, nggak usah gaya-gaya ikutan OSIS, kalau pulang aja masih ngrepotin orang,” gerutunya.
Aku hanya mencebik. Dasar dianya saja yang ogah pulang bareng.
“Sorry lah, aku boncengin kamu. Nggak akan ada cewek yang boleh bonceng aku kecuali istriku!”
Begitulah Mas Galang dengan keangkuhannya dulu. Meskipun dengan paksaan Bude, sering juga aku dipaksa bonceng dia ke sekolah. Tapi, sepanjang jalan 12 km dia diam seribu bahasa. Nyebelin. Mendingan aku naik angkutan umum!
Untungnya, saat kuliah, kami kuliah di kampus yang berbeda. Mas Gilang yang suka teknik memilih kuliah di Bandung. Sedangkan, aku kuliah dekat-dekat sini saja yang bisa setiap weekend pulang.
Sejak kuliah, aku sudah jarang ketemu Mas Gilang. Paling banter hanya lebaran saja.
Aku pikir, dengan jarangnya ketemu, dia sudah tidak jutek lagi. makin dewasa lah minimal.
Tapi, ternyata harapanku pupus. Bahkan kini, sudah bekerja pun dia tetap saja jutek!
Pantesan nggak kawin-kawin, nggak punya pacar juga. Ih, mana ada gadis yang mau sama dia! Ganteng sih iya, tapi emang bisa kita hidup modal ganteng doang?
“Sekar pulang ah, Bude!” pamitku kemudian. Males banget berlama-lama di sini dengan serangan membabi buta dan ekspresi mereka yang mengintimidasi tanpa bisa kulawan.
“Yo wis sana pulang. Besok Pakde sama Bude tak ke rumah kamu. Nganter Mas Gilang,” kata Bude Hanum datar.
“Lhah? Ngapain nganter Mas Gilang?” tanyaku sembari menghentikan langkah yang sudah mencapai pintu, dan berbalik menatap Bude.
“Ya ngelamar kamu. Ngapain lagi. Ya kan, Pak?” kata Bude Hanum sambil mengerling ke Pakde Amin, lalu melirik ke Mas Gilang.
Pria yang dilirik Bude pun diam aja. Bahkan hanya memainkan ponselnya dan sesekali menunjukkan muka masamnya. Uasyeeemmm!
“Pamit, Bude, Pakde!” kataku sambil bergegas keluar rumah.
Hufff! Rupanya candaan Bude Hanum sama Mbak Ratih kala itu bukan hanya candaan.
Dulu, tiap ke rumah Bude Hanum, memang aku sering lama disitu. Ngobrol ngalor ngidul sama Bude Hanum dan Mbak Ratih. Mereka sering bilang anak mantu dan adik ipar. Tapi aku nggak terlalu peduli. Itu kan jaman masih ABG labil. Dan nggak kepikiran kalau mereka ada udang di balik bakwan.
Aku mempercepat langkah kembali ke rumah. Tiba-tiba langkahku terhenti. Kok, ada mobilnya Paklik Hanif dan Pakde Marwan di halaman rumah? Tumben-tumbenan kompak banget ke rumah bukan saat lebaran.
Perlahan aku masuk ke rumah melewati pintu samping. Di dapur terlihat banyak kantung berisi bahan makanan. Ada apa ini? Kok ibuk sama bapak nggak bilang apa-apa.
Gilang dan Sekar sudah siap-siap hendak kembali ke ibukota. Koper sudah dirapikan. Dus berisi oleh-oleh untuk tetangga dan teman kantor pun sudah disiapkan. “Kalian sabar dulu beli rumahnya. Nunggu uang tabungan pensiun Bapak cair,” tutur Ibu Sekar menasehati anak dan menantunya. Gilang menatap mertuanya bergantian. Ada rasa tak enak dengan keduanya. Dia harusnya sudah mandiri, namun, masih saja merepotkan. Bapak mertuanya pun mengangguk saat tatapan mereka saling bertumbukan. Tahun ini, bapak mertua Gilang memasuki masa pensiun. Katanya, nanti tabungan pensiunnya akan turun. Belum tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, kalau buat tambahan uang muka, mungkin lumayan, daripada uang muka yang terlalu kecil karena tabungannya memang belum seberapa. “Nanti kalian pakai tambahan uang muka. Ibu nggak setuju kalau kamu ambil cicilan sekarang dengan DP kecil. Cicilannya terlalu besar. Mas Aji kan dulu juga sudah dibantu buat bayar DP. Sekarang jatahnya Sekar,” tambah Ibu Sekar. Orang tua
“Aku tak bohong. Tadi aku ke sekolah. Acara jam 12 selesai. Aku, Andre dan Faras lalu ke mall baru itu. Saat kami sedang ngopi, tiba-tiba dia datang. Itu hanya kebetulan,” ujar Gilang tanpa diminta. Dia tak peduli apakah Sekar akan mendengarkan atau tidak. Ada penyesalan, meski dia tak dapat menghindar. Bagaimana bisa dia menghindari orang yang datang menyapa, sementara dahulu mereka sangat dekat. Meski tadi Gilang merasa banyak yang berubah dari Sakina, tapi akal sehat Gilang melarang untuk bertanya. Cukup mereka menjadi pribadi dengan pasangan masing-masing. Berbahagia dengan pilihan masing-masing. Pilihan yang sudah diambil, harus dia pertahankan dan perjuangkan sampai titik penghabisan, itu tekad Gilang. “Dik, aku minta maaf. Tapi, kamu harus tahu. Semua sudah berlalu. Dan aku tak mungkin kembali pada masa yang telah lewat. Aku hanya memilihmu. Sekarang kehidupanku sudah ada kamu dan Aidan. Juga anak yang akan kamu lahirkan. Tidak ada tempat lagi bagi orang lain di hatiku,” tut
“Mbak, aku tadi ke mall setelah selesai reuni. Itupun tidak berdua. Ada lima orang. Memang kenapa?” tanya Gilang mencoba memahami arah pembicaraan kakaknya. “Oh, lima orang? Tapi yang tiga entah kemana. Disuruh beli minum dulu barang kali?" Nada suara Ratih terdengar menyindir. "Ck! Kayak anak kecil. Kamu pikir kakak kamu ini bisa kamu bohongi?” Ratih melunak, lalu kembali ia menegaskan kata-katanya. “Mbak, sungguh. Aku nggak bohong. Tadi, aku sama Faras dan Andre juga. Malah, kebetulan saja tadi ketemu sama....” Gilang menghentikan kata-katanya. Tak tega menyebutkan namanya. “Siapa? Mantan?” sambar Ratih. “Astaga, Mbak. Aku nggak punya mantan. Hanya teman saja....” ralat Gilang. Memang, kalau dibilang mantan, dia tidak pernah pacaran dengan Sakina. Hanya ia sempat menyimpan rasa saja. Tak lebih. Itu pun juga baru diketahui setelah masing-masing punya pasangan. Jadi, tidak ada yang perlu dirisaukan. “Terus, tadi kamu ngapain?” selidik Ratih. Gilang menghela napas. “Aku tadi h
“Dik, jalan-jalan yuk!” tiba-tiba Ratih, kakak Gilang, datang saat Sekar sedang ngobrol dengan mama mertuanya.Aidan sedang diasuh oleh kungnya, dibawa naik motor, entah kemana. Enaknya kalau mudik, Sekar tidak repot karena banyak tangan yang membantu mengasuh batitanya. “Kemana, Mbak?” tanya Sekar. Kakak iparnya itu datang sambil membawa Mia, keponakannya, yang kini berusia enam tahun. Mia segera ikut utinya ke dapur karena sudah ingin makan lontong opor buatan utinya. “Ada mall baru, Dik. Kamu belum pernah lihat. Di Jakarta sama di sini kan beda,” rayu Ratih. Mumpung adik iparnya di rumah dan anaknya bisa dititipkan ke ibunya, sepertinya saat yang tepat untuk jalan-jalan, batin Ratih. Ratih pun tinggal tak jauh dari rumah orang tuanya. Hanya beda desa. Jadi, kapan saja dia mau, bisa datang ke rumah orang tuanya.Siang itu, sama dengan Gilang, suami Ratih pun sedang reunian. Makanya Ratih malas di rumah. "Sana, nggak papa. Temani kakakmu. Sesekali kamu juga harus refreshing." Bu
“Buk, Gilang ada tamu. Gilang pulang dulu, nanti kalau Sekar nanya,” ujar Gilang sambil pamit ke mertuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk, lalu ia beranjak ke halaman belakang, ikut bermain dengan cucunya. Hanya beberapa langkah, Gilang sudah tiba di rumah orang tuanya. Dua sahabatnya sudah duduk manis di ruang tamu. “Kalian masih betah jomblo aja?” canda Gilang pada kedua temannya. “Nasib lah, wajah pas-pasan sama dompet pas-pasan,” celetuk Andre. Padahal Andre ini seorang karyawan BUMN yang kebetulan penempatan luar jawa. Tentu saja dompetnya tebal. “Kamu kelamaan di hutan sih. Coba sesekali ke kota,” sahut Gilang. “Eh, kamu serius nggak datang reuni sepuluh tahun angkatan kita?” tanya Faras. Wajahnya berubah serius. Gilang sudah lama tidak memonitor perkembangan informasi di grup Wanya. Biasanya, kalau ada yang penting, akan mengirimkan pesan pribadi. Sebenarnya, bukan apa-apa. Angkatannya hampir setiap tahun bikin reuni. Biasanya saat lebaran seperti ini. Tapi, Gi
Dua tahun kemudianSekar dan Gilang sudah menapaki bahtera rumah tangga dengan seorang anak laki-laki yang kini berusia dua tahun. Cicilan hutang yang selama ini harus dibayar pun akhirnya lunas. Kini, Sekar kembali mengandung anak kedua, meski sebenarnya sudah diplanning setelah Aidan lulus ASI ekslusif. Apa daya, rejeki datang sebelumnya. “Kata Pak Hanif, pemilik rumah mau jual rumah ini. Apa Bunda mau?” tanya Gilang sore itu. Sejak kelahiran Aidan, Gilang turut memanggil Sekar dengan sebutan Bunda. Begitu juga sebaliknya, Sekar memanggil Gilang dengan sebutan Ayah, agar sang anak menirukannya. “Memang dia nawarin harga berapa, Yah?” tanya Sekar sambil mengawasi Aidan yang bermain di lantai. Ruang tamu mereka masih dibiarkan tanpa kursi tamu. Hanya dibentangkan karpet. Mainan Aidan pun memenuhi semua sudut ruang tamu itu. Gilang dan Sekar duduk lesehan di karpet. Sementara Aidan mulai sibuk dengan memasukkan gelang-gelang besar seperti donat yang terbuat dari plastik ke tempat
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments