Semua Bab Love Me, Sersan!: Bab 1 - Bab 10
105 Bab
Bagian 1
LOVE ME, SERSAN Bagian 1 “Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....” “Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”-----------------Dia melamarku! Laki-laki arogan itu melamarku dengan cara yang arogan. Sialnya aku menerima. Tepatnya tidak bisa menolak. “Bu guru, besok Nadin merayakan ulang tahun di sekolah. Bu guru temenin, ya,” pinta gadis mungil usia lima tahun itu. “Di sekolah? Pagi berarti, ya?” tanyaku.  Ya, iya lah pagi. Anak TK sekolahnya, ya, pagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau pagi, gak bisa, Sayang. Bu guru kalau pagi ngajar di sekolah, Bu guru,” balasku meminta pengertian. Dia adalah siswa bimbingan les privatku. 
Baca selengkapnya
Bagian 2
Part 2. Setialah Padaku  Sore dilamar, malam menikah. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya. Dia terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam, berpadu celana kain berwarna hitam pula. Badannya tegap, wajah terangkat, dengan sorot mata tegas. Menyiratkan bahwa dia yakin dengan keputusannya menikahiku.  Namun, berbeda denganku. Di balik balutan kebaya putih dan kain batik coklat, serta kerudung putih yang sederhana, aku lebih banyak menunduk, merasa tidak yakin dengan pernikahan ini. Wajar saja, prosesnya demikian singkat dan setengah terpaksa. Ditambah lagi, tidak ada keluargaku yang datang.  Aku hanya menelepon Bapak dan meminta pengertian beliau. Kujelaskan semua. Tidak ada yang ditutupi. Beruntung Bapak kooperatif dan bersedia melimpahkan perwalianku kepada pihak hakim. “Bapak percaya bahwa kamu bisa memilih jalan terbaik untuk hidup
Baca selengkapnya
Bagian 3
Part 3. Hari Pertama “Sudah bangun?” Dia tersenyum tipis. Berbaring miring dengan satu tangan menopang kepala. Matanya menatapku intens. Aku yang baru saja terjaga, mengerjapkan mata, mengumpulkan potongan informasi yang kubawa sebelum tidur.  “Mas?” panggilku. Segera kuingat bahwa sekarang telah menikah. Ia masih tersenyum tipis. Barangkali pipinya yang kokoh itu kaku untuk menarik garis lengkung yang lebih lebar pada bibirnya. Sehingga senyum itu hanya sedikit sekali menggurat bibir. Akan tetapi, meskipun hanya sedikit dan tipis, senyum itu begitu menawan. “Mandilah, sebentar lagi azan. Kita shalat subuh!” titahnya. Dia sendiri telah rapi dengan baju koko dan sarung. Entah pukul berapa dia bangun dan mandi. Aroma maskulin menyeruak dari tubuhnya. Merasuk ke dalam indera penciumku. Aku tiba-tiba sangat menyukai aroma yang baru kuhidu ini. Ketika ia turut bers
Baca selengkapnya
Bagian 4
Part 4. Nurin “Ayo!” Dia mendahului melangkah keluar. Langkah tegas seorang prajurit, bahkan melangkah biasa pun aku melihatnya seolah sedang gerak jalan. Sepertinya, latihan militer yang ia peroleh benar-benar sudah mendarah daging. Nadin dan Ibu sudah bersiap, sedang menunggu di teras rumah. Dia sendiri sudah menstarter mobil dan mengarahkannya keluar halaman. Aku tiba di teras bertepatan dengan seorang wanita berusia 30-an memasuki pekarangan. “Sudah mau berangkat, Bu?” tanya wanita itu pada Ibu.  “Iya.” Ibu membalas dengan senyum hangat. Aura keibuan jelas terpancar dari wajahnya. “Oh.” Dia mengangguk mengerti. “Selamat ulang tahun, Nadin,” ucapnya pada gadis mungil yang saat itu berlari menyongsongku. Wanita itu tersenyum salah tingkah saat aku keluar.  “Bu g
Baca selengkapnya
Bagian 5
Part 5. Ilham “Mas.” “Hmm?” “Jadi ngantar aku ke sekolah hari ini?” tanyaku sambil duduk di sisi ranjang. Memperhatikannya yang sibuk merapikan lipatan lengan baju lorengnya pagi itu. Dia benar-benar gagah dengan seragamnya. Jujur aku benar-benar terpesona memandangnya. Terpesona memandang suami sendiri boleh ‘kan? “Jadi! Saya akan ijin sehabis apel pagi,” sahutnya tetap sibuk merapikan seragam. Kali ini berganti lengan baju yang lain. Kemudian mematut diri di cermin untuk memasang baret di kepala. “Mmm, pagi ini aku mau belanja,” ucapku. Dia menoleh sejenak. “Bisa sendiri?” “Bisa.” Aku mengangguk. “Tapi ….” “Apa?” Dia mengernyitkan kening. “Ini kemari
Baca selengkapnya
Bagian 6
Part 6. POV Sersan Kusuma   Anindyaswari. Pertama kali bertemu, ketika aku diminta menggantikan Anggara, teman satu leting melatih paskibra di tempat ia mengajar. Dia sendiri saat itu sedang memberikan bimbingan untuk siswa yang akan mengikuti olimpiade Sains mata pelajaran IPA. Dia memukau dengan segala kesederhaannya saat melintas di depanku. Tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan.   Senyumnya, entah bagaimana cara menggambarkannya. Menyejukkan sekaligus menggemaskan. Pipinya putih, terlihat halus dan kenyal bak squishy. Ingin sekali kuremas-remas gemas hingga putihnya akan memerah. Memandang wajahnya bagaikan candu. Ingin lagi, lagi, dan lagi.    Aku, Kusuma. Seorang prajurit berpangkat sersan kepala di salah satu batalyon infanteri Pontianak. Telah terpikat pada seorang Anindyaswari sejak pandangan pertama.   Setahun ini, aku sangat merindukan sesosok hawa untuk menemani. Bermanja keti
Baca selengkapnya
Bagian 7
Matanya menatapku tajam. Wajahnya tegas. Sama sekali tidak kutemukan gurat kelembutan di sana. Bias arogan kembali menerpa. “Bukan.” Aku menggeleng. “Kamu menyukainya?” “Tidak!” Kembali aku menggeleng. “Dia menyukaimu?” Kali ini aku mengangguk. Aku merasa seperti disidang saja. “Dia pernah bilang?” Aku kembali mengangguk. “Kenapa menolak?” “Aku memintanya datang saja melamar jika memang serius.” Dia mengembuskan napas kasar mendengar jawaban terakhirku. Kemudian menyandarkan tubuh pada mobil. Menatap kosong dengan cahaya amarah pada netranya. Namun, kentara ia coba redam. Sementara aku hanya bergeming, berdiri berhadapan tidak jauh darinya. Merasakan suasana yang tiba-tiba menjadi tidak nyaman.  “Nurin &
Baca selengkapnya
Bagian 8
Part 8. Masa Lalu Senja berlalu, menyisakan kelam di langit yang perlahan semakin memekat, menghadirkan sedikit demi sedikit hening, menyiapkan waktu kepada jiwa-jiwa lelah untuk memeluk lelap. Kami masih berdua, menyusuri kembali jalan yang tadi dilewati bersama, membawa keindahan yang telah tercipta dalam setiap jengkalnya. Dia mengarahkan mobil dalam diam, tapi riak wajahnya bahagia. Senyum tipis khasnya sesekali hadir, bersama itu dia akan menatapku yang curi-curi melirik. Beberapa kali satu tangannya lepas dari kemudi, beralih menggenggam erat tanganku, mengalirkan hangat yang cepat merambat ke relung hati. “Kita mampir ke kedai dulu, ya.” Akhirnya dia memecah hening juga. “Kedai?” “Iya, kita makan dulu. Kamu lapar?” tanyanya sambil menatapku sebentar. “Lapar, sih. Tapi, apa gak sebaiknya kita pulang saja, Mas. K
Baca selengkapnya
Bagian 9
Part 9. Perjalanan Seperti yang telah direncanakan sebelumnya, hari ini kami mengunjungi orang tuaku di kampung.  Dia terlihat gagah sekali dengan balutan celana jeans birel dan jaket kulit warna hitam. Sarung tangan warna senada membungkus kedua tangannya. Hari ini kami akan menemui orang tuaku di Serimbu. Salah satu desa yang ada di Kabupaten Landak. Bakda subuh, kami siap melakukan perjalanan.  “Titip Nadin ya, Bu,” ucapku pamit pada ibu mertua. Semalam Mas Kusuma memberi tahu anak itu bahwa untuk dua hari ke depan kami akan pergi.  “Nadin mau ikut …,” rengeknya tadi malam. Aku sempat berpikir untuk berangkat diam-diam. Namun, menurut suamiku justru itu tidak baik.  “Berterus terang dan memberi pengertian meskipun sulit akan berefek positif untuk perkembangan mental seorang anak,” katanya. &ldq
Baca selengkapnya
Bagian 10
Part 10. Bertemu Orangtua Memasuki waktu zuhur, kami tiba di Serimbu. Lelah? Tentu saja! Lebih dari enam jam berkendara sepeda motor. Hanya dua kali beristirahat. Bagian belakang tubuh terasa panas dan pegal. Punggung seperti kaku.  Serimbu, merupakan ibu kota dari kecamatan Air Besar. Dinamakan demikian karena desa-desa yang terdapat di kecamatan ini dilintasi oleh sungai besar. Sungai Bahasa setempat disebut ‘aek’ atau air. Sehingga sungai besar menjadi air besar. Rumah orang tuaku sangat sederhana. Merupakan rumah panggung dengan material papan. Ketika tetangga dan sebagian besar warga telah merehab rumah mereka, kedua orang tuaku masih betah dengan bentuk rumah sederhana itu. Alasan terbesarnya tentu saja soal biaya, karena kami bukanlah keluarga berkecukupan. Untung saja kayu yang menjadi bahan pembangunan rumah ini dari jenis belian, sehingga tidak lapuk meskipun telah berpuluh tahun. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
11
DMCA.com Protection Status