Share

Bagian 2

last update Last Updated: 2021-11-06 10:26:53

Part 2. Setialah Padaku

Sore dilamar, malam menikah. Mungkin di dunia ini, akulah satu-satunya.

Dia terlihat gagah dengan balutan kemeja putih dan jas hitam, berpadu celana kain berwarna hitam pula. Badannya tegap, wajah terangkat, dengan sorot mata tegas. Menyiratkan bahwa dia yakin dengan keputusannya menikahiku. 

Namun, berbeda denganku. Di balik balutan kebaya putih dan kain batik coklat, serta kerudung putih yang sederhana, aku lebih banyak menunduk, merasa tidak yakin dengan pernikahan ini. Wajar saja, prosesnya demikian singkat dan setengah terpaksa. Ditambah lagi, tidak ada keluargaku yang datang. 

Aku hanya menelepon Bapak dan meminta pengertian beliau. Kujelaskan semua. Tidak ada yang ditutupi. Beruntung Bapak kooperatif dan bersedia melimpahkan perwalianku kepada pihak hakim.

“Bapak percaya bahwa kamu bisa memilih jalan terbaik untuk hidupmu,” sahut beliau.

Dengan penuh percaya diri, dia menjabat tangan penghulu yang akan menikahkan kami. Kemudian lafaz ijab qabul pun diucap dengan sekali libas. Tidak ada gugup. Suaranya jelas dan menggema. Padahal pernikahan ini mendadak. Bahkan dia baru menanyakan nama orang tuaku beberapa menit sebelum akad dilaksanakan.

“Sah!” seru dua orang saksi yang hadir pada ritual suci itu. Dari perawakan tubuhnya, aku bisa menebak bahwa mereka adalah teman satu profesi laki-laki yang kini dinyatakan sah menjadi suamiku itu.

Aku menarik napas panjang, kemudian melepaskannya kembali. Bertukar sudah statusku. Kini aku adalah seorang istri. Baktiku secara penuh berpindah dari kedua orang tua, kepada dia, yang kini sedang menyematkan cincin sebagai mahar padaku. 

Setelah cincin tersemat, aku mencium takzim punggung tangannya. Seperti halnya orang lain menikah, begitu bukan? Mencium punggung tangan suami sebagai simbol bahwa dia telah menjadi imam, menjadi pemimpin yang akan menentukan arah bahtera rumah tangga. 

Tak kusangka lelaki ini membalas dengan mencium keningku, lama dan dalam. Aku merasa seolah ada cinta yang turut menyertai. Apa iya?

Ada desiran yang merambat dan bermula dari tempat ciuman itu dilabuhkan. Aku memejamkan mata, menikmati setiap rambatan getaran yang mengaliri setiap inchi tubuh. Perlahan, getaran itu berkumpul di dada. Kemudian dari sana, seolah melesak ke segala arah. Menyebabkan jantung berdegup demikian cepat. Tubuhku gemetar, napasku berhembus tersendat. 

Ouh! Rasa apa ini?

Sesaat kemudian dia melepaskan keningku. Menatap sebentar dengan mengulas satu senyum. Indah ....

Aku terpana.

Setahun mengenalnya, ini kali pertama kulihat sebuah senyum terukir di bibirnya. Meski hanya sepersekian detik, aku bisa mengingat setiap gurat lengkungan bibir itu, dan seketika semua mengisi rongga kepala, menciptakan buncah rasa untuk terus menatapnya.

Malam mulai beranjak menuju larut. Penghulu sudah pamit sejak beberapa waktu lalu. Namun, tidak kedua temannya. Mereka masih betah mengobrol, berkelakar menggoda kami, pengantin baru. 

Aku terpaksa tetap duduk di antara mereka. Tidak tahu akan kemana. Masih terasa asing. Dia tidak memberi petunjuk. Sementara, ibu mertua telah lama pamit menidurkan Nadin. 

“Setelah menolak setiap gadis yang dikenalkan, saya pikir kamu memang sudah tidak mau menikah lagi. Eh, tiba-tiba langsung tancap sebelum laporan,” goda salah satu dari keduanya. Kemudian mereka bertiga tergelak nyaring.

“Sudah tidak sabar rupanya, pastilah nanti bagai singa kelaparan. Dua tahun menganggur, Bro,” balas temannya yang lain. Kembali mereka tergelak.

Aku menunduk malu sekaligus ngeri dengan kelakar mereka. Pipi terasa panas. 

“Masuklah.” Tiba-tiba dia berkata sambil menepuk lembut sebelah pundakku. Seolah mengerti perasaan tidak nyaman yang melanda akibat kelakar mereka, para kaum adam yang ah ... begitulah! Sering bablas dan lepas kontrol. Aku menatapnya dengan satu tanya tak terucap, “Masuk kemana?”

“Kamar yang tadi,” lanjutnya seolah paham. Matanya tepat membingkai mataku, menyorot hingga terasa menggetarkan dada. 

Aku mengangguk kemudian berpamitan. Kakiku gontai menuju kamar yang tadi digunakan untuk berias. Kamar pribadinya. 

Kamar yang  sangat rapi untuk seorang laki-laki. Aku bahkan berdecak kagum. Tidak ada pakaian atau apapun berserakan, semua menempati tempat masing-masing. Kamar ini tidak terlalu luas, ranjang king size mendominasi terletak di tengah. Ada pojokan di sisi ranjang dengan meja kecil yang di atasnya terletak lipatan sajadah, sarung, peci, Quran kecil, dan tasbih. 

Sebuah lemari tiga pintu terletak pada pojok yang lain. Lemari yang hanya terisi satu pintu. Masih cukup kosong untuk menyimpan pakaianku. Di depan lemari, ada area kosong yang ditutup karpet bulu. Sepertinya untuk duduk bersantai jika tidak sedang tidur. Pada bagian kaki ranjang, terdapat meja rias. Barangkali ini adalah milik istrinya dulu.

Kuakui, kamar ini sangat nyaman. Apalagi ditambah kamar mandi di dalam.

Aku segera mengganti kebaya dengan pakaian tidur. Stelan panjang piyama satin warna marun jadi pilihanku. Kemudian bergegas mencuci muka dan wudu untuk melaksanakan sholat isya. 

Aku senang dengan pojok sholatnya ini. Karpet yang menutupi terlihat rapi, bersih, harum, dan nyaman. Ku pikir dia yang arogan tidak akan mengingat sholat, tapi ternyata salah. 

Knop pintu terbuka, dia menyembul sambil menatapku yang sedang melepas mukena sejenak. Kemudian melanjutkan langkah untuk masuk. Tanpa suara, ia melepaskan pakaian, meletakkannya di atas tempat tidur, menggantinya dengan kaos dan celana pendek. Kemudian berwudu dan melaksanakan empat rakaat pula. Sejuk hati ini melihatnya. Jengkel akan sikap arogannya tertepis. 

Masih tanpa suara dia keluar. Entah kemana, meninggalkanku yang serba salah. Bingung mau apa? Tidur? Bagaimana jika dia menginginkannya malam ini? Bagaimanapun, dia berhak. Tapi dia kemana?

Huft. 

Aku menghembuskan napas. 

Krucuk ....

Aku memegang perut. Lapar. Sejak siang belum makan. Selepas makan siang, aku berangkat memberi les Nadin. Kemudian sore dia melamar sekaligus mengatakan akan menikah malam ini juga. Aku syok, gugup, grogi, sehingga ketika dihidangkan makan, minum, kue, semua sama sekali tidak ada yang bisa kutelan. Jangankan keinginan untuk menelan, untuk menyentuhnya pun tidak. 

Setelah cukup lama, pintu kamar terbuka kembali. Dia masuk dengan sebuah nampan di tangan. Dua piring nasi goreng, sepiring kue yang menjadi kudapan saat pernikahan tadi, juga dua gelas air putih. 

Dia meletakkan nampan di atas karpet.

“Ke sini. Kamu belum makan,” ucapnya pelan, tapi tegas. 

Hmm. Kaku. Sama istri kok tegas. Namun, tak mengapa. Bagaimanapun sikapnya manis sekali. Dia tahu aku lapar.

Aku segera duduk di depannya. Mengambil satu piring nasi goreng yang terlihat menggoda. Apa dia yang memasaknya? Mungkin. Karena ini jelas sekali nasi goreng home made. Rasanya lumayan juga. Enak.

Karena pas saat lapar-laparnya, nasi goreng itu habis kulahap. Sebenarnya masih terasa kurang. 

Ia mengulurkan piringnya. Aku melengos, malu. Seolah aku makannya banyak saja. Padahal aku memang sedang lapar.

“Makanlah, aku tahu kamu lapar,” ucapnya. Malu tapi mau aku menerima piring yang masih terisi separuh itu. Dia menatap setiap suapanku. Tidak dingin, tetapi tidak juga tersenyum hangat. 

Isi piringnya pun ludes kusantap.

“Kuenya?” Ia menyodorkan piring kepadaku. Kali ini aku menggeleng. Bukan karena malu tapi karena sudah kenyang. 

Ia meletakkan kembali piring ke dalam nampan. Kemudian menyisihkannya ke samping. Di antara kami kini kosong. Tidak ada yang menghalangi. Dia merangsek maju mendekatiku. Jantungku berdegup cepat. Dia mau apa? Seketika tubuh terasa kebas, kaku, tidak bisa bergerak.

Netranya menyorot dalam, menatapku lekat. 

Aku menatap ke sudut lain. Tidak mampu membalas tatapannya yang bagaikan menusuk qalbu. 

Namun, dia menahan dengan tangan kekarnya, memaksa untuk tetap mengarah hanya padanya 

Aku memberanikan diri mengangkat kepala, menatap wajah dengan rahang kokoh itu. Menerima sorot netranya yang kemudian seolah mengunci, aku tak sanggup mengalihkan pandangan.

Beberapa saat hening tercipta.

“Setialah padaku,” pintanya ketika manik kami beradu. Ada kekuatan yang menekan pada pintanya. Seperti sebuah energi penuh dendam atas sebuah luka. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
justru yg dingin dan yerlihat cuek itu malah sikapnya selalu ma is sama pasangannya...
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
&ntung saja bapaknya Anin mengerti situasi Anin saat itu,& mengizinkan Anindya menikah dengan wali hakim
goodnovel comment avatar
Christie
aneh banget ceritanya ... mau2an dikawinin pdhal gak kenal dgn baik sama tuh laki arogan, cuma sbg guru les anaknya ...hadehhhh gw mah ogah deh dan gw ogah nerusin baca novel ini ... bhaaayyy .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 60. Ekstra

    "Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 59. End

    "Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 58. PoV Farel (Perjuangan Hanum)

    "Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 57. PoV Farel (Ngidam)

    PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 56. Pertanyaan Absurd

    "Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat

  • Love Me, Sersan!   Season 2 Bagian 55. Bad Mood 2

    Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status