Akademisi Menganalisis Villain Itu Apa Dalam Teori Penceritaan Modern?

Aku suka ngobrol soal ini karena penjahat dalam cerita sering jadi cermin paling menarik untuk melihat nilai dan ketegangan moral yang dibangun pengarang.

Dalam kajian penceritaan modern, akademisi biasanya memisahkan konsep 'penjahat' sebagai karakter yang melakukan tindakan jahat dengan fungsi naratifnya: sebagai antagonis, foil, atau agen konflik. Antagonis tidak selalu sama dengan penjahat bermotif jahat—dia bisa jadi rival yang menyorot kelemahan protagonis, atau bahkan figur sistemik yang menjadi sumber ketidakadilan. Misalnya, di 'Death Note' banyak yang debat apakah Light harus disebut penjahat tradisional atau protagonis antihero yang menjadi antagonis moral; dari sudut pandang akademik itu jadi studi kasus bagus tentang focalization dan identifikasi pembaca. Sementara itu, karakter seperti Joker di 'The Dark Knight' sering dianalisis sebagai inkarnasi ide—dia bukan sekadar musuh, tapi simbol kekacauan yang menguji landasan etis masyarakat.

Para akademisi menggunakan beragam lensa teoretis untuk membaca figur penjahat. Pendekatan narratologi melihat peran strukturalnya: bagaimana penjahat memicu cerita, menggerakkan plot, dan membentuk ketegangan. Pendekatan psikologi dan psikoanalisis sering membahas penjahat sebagai 'shadow'—bagian diri yang ditekan protagonis atau masyarakat. Ada juga pembacaan politik/Marxis yang menyoroti penjahat sebagai manifestasi konflik kelas atau sistem yang menindas—contohnya beberapa cerita sci‑fi dan game yang memperlihatkan korporasi atau mesin sebagai antagonis, seperti dinamika yang ditonjolkan di 'NieR: Automata'. Kajian feminis dan queer kerap menelaah bagaimana penjahat menggunakan atau menolak norma gender dan kekuasaan, dan bagaimana label 'monster' sering dipakai untuk menstigmatisasi perbedaan.

Tren modern yang sering dibahas adalah kompleksifikasi penjahat: tidak lagi hitam-putih, tapi penuh motivasi, trauma, dan logika internal. Pembuat cerita sekarang sering menulis origin story agar pembaca bisa memahami—bukan membenarkan—kejahatan mereka. Contoh kuat adalah 'Code Geass' atau 'Berserk', di mana tindakan ekstrem diperlihatkan sebagai hasil dari pilihan yang dibentuk oleh tekanan politik, dendam, atau ambisi. Akademisi juga tertarik pada fenomena fans yang menggemari penjahat—analisis tentang estetika villainy, karisma, dan bagaimana media membingkai aksi mereka agar tampak tragis atau menawan. Di game, mekanik interaktif membuat pemain ikut bertanggung jawab atas pilihan yang kadang mengaburkan definisi penjahat dan protagonis.

Secara pribadi, membaca kajian-kajian itu mengubah caraku menilai antagonis: aku jadi lebih mudah memaklumi kerumitan motivasi tanpa otomatis memaafkan tindakan mereka. Penjahat yang kuat menurutku adalah yang tidak cuma menantang pahlawan secara fisik, tetapi juga menantang pembaca untuk memikirkan nilai-nilai cerita—apakah keadilan itu absolut, apakah korban bisa membenarkan kekerasan, dan siapa yang berhak menilai? Itu membuat menonton dan membaca terasa lebih hidup karena setiap konflik jadi ajang debat moral. Akhir-akhir ini aku lebih menikmati cerita yang berani membuat penjahatnya berlapis dan reflektif, karena dari situ sering muncul momen-momen paling mengganggu dan paling berkesan.