5 Answers
Film adaptasi sering jadi bahan obrolan panas di grup chatku, dan pertanyaannya selalu sama: apakah kritikus melewatkan nilai novel? Dari pengamatan aku, jawabannya: kadang ya, kadang tidak. Kritikus profesional biasanya punya batas fokus — beberapa menilai adaptasi dari kacamata sinema murni, beberapa lain memberi bobot besar pada kesetiaan sumber. Yang sering terjadi adalah ketidakcocokan ekspektasi antara pembaca fanatik buku dan kritikus yang menilai film berdiri sendiri.
Intinya, kritik yang bermanfaat biasanya menjelaskan perspektifnya: apakah dia menilai film sebagai adaptasi atau karya independen. Aku lebih suka ulasan yang bisa melakukan keduanya sekaligus, karena memberikan konteks buat penonton yang belum baca dan buat pembaca yang berharap setia pada novel.
Satu hal yang sering kupikirin adalah betapa seringnya kritik film dan cinta terhadap novel saling berpapasan tapi jarang benar-benar bertemu.
Kadang kritikus memang terlihat menghiraukan sumber novelnya — bukan karena mereka tak menghargai buku itu, melainkan karena tugas mereka berbeda: menilai film sebagai medium audio-visual. Aku suka membaca ulasan yang membedakan antara setia pada plot dan setia pada roh cerita. Ada film yang memotong subplot panjang dari novel demi ritme layar lebar, dan kritikus yang paham itu sering lebih fokus pada keberhasilan adaptasi mengubah materi supaya bekerja secara sinematik. Contoh klasiknya adalah bagaimana 'The Lord of the Rings' dipuja karena berhasil menerjemahkan epik, sementara beberapa detail dari buku memang lenyap.
Di sisi lain, ketika perubahan terasa merusak karakter atau tema pusat, kritikus pasti akan menyorotnya keras. Jadi, bukan soal menghiraukan novel, tapi memilih kacamata yang tepat: apakah menilai kesetiaan literal, atau keefektifan film sebagai karya terpisah. Buatku, ulasan terbaik adalah yang bisa menghargai kedua perspektif itu sekaligus, dan memberi konteks bagi pembaca yang mungkin cinta banget sama novelnya.
Orang sering mikir kritikus cuek terhadap novel sumbernya, tapi pengalaman nonton dan baca aku bilang nggak sesederhana itu. Ada kritikus yang memang nggak membaca buku sumber, terutama untuk rilis jumlah banyak atau franchise, jadi ulasannya fokus ke pacing, akting, sinematografi, dan apakah film itu berdiri sendiri. Namun ada juga kritikus yang menghabiskan waktu menganalisis adaptasi: kenapa alur diubah, apa yang hilang, dan apakah perubahan itu memperkuat tema.
Dalam banyak kasus, kritik bukan soal menghukum ketidaksesuaian, melainkan menilai keputusan artistik. Kalau pembuat film memotong subplot demi menegaskan karakter utama, kritikus akan membahas apakah itu berhasil. Di sisi lain, fans buku sering berharap kesetiaan absolut, dan ketika itu tak terpenuhi, mereka menilai kritikus tak peka. Padahal kritikus punya kerangka kerja berbeda: mereka menilai film sebagai pengalaman sinematik. Aku biasanya lebih menikmatinya kalau ulasan menjelaskan konteks adaptasi, bukan cuma bilang “kurang setia” tanpa alasan yang jelas.
Gue nggak percaya kritikus sepenuhnya mengabaikan asal novel — tapi gue juga ngerti kenapa terlihat begitu. Banyak ulasan film memang lebih teknis: komposisi frame, pacing, tonalitas, dan keputusan penyutradaraan. Kalau seorang kritikus nggak bahas novel sumbernya, bisa jadi karena dia menilai film sebagai entitas baru. Namun, di festival atau ulasan panjang biasanya ada kritik yang dalemin adaptasi: bagaimana tema buku diterjemahkan, apa yang dikorbankan, dan apakah nuansa aslinya masih hidup.
Kalau gua, sering kecewa ketika adaptasi mengorbankan hal-hal kecil yang memberikan jiwa cerita, tapi juga bisa kagum jika sutradara berhasil menangkap esensi tanpa terjebak detail literal. Misalnya 'No Country for Old Men' dianggap sukses karena menangkap suasana dan tema yang resonan, walau ada perbedaan. Jadi kritikus bukan mengabaikan, mereka cuma memilih sudut pandang — dan tugas kita sebagai pembaca ulasan adalah memilih ulasan yang mau membuka cara pandang itu.
Ngomong-ngomong soal adaptasi, menurutku kritikus nggak selalu mengabaikan novel, melainkan memilih prioritas penilaian. Ada yang langsung berubah jadi polisi kesetiaan: mereka baca buku dulu, lalu bintang atau mengutuk film berdasarkan perbedaan plot. Ada pula yang cuma mau menilai apakah film itu asyik ditonton, lepas dari sumbernya.
Pengalaman nonton film adaptasi sering kasih pelajaran: beberapa perubahan perlu demi medium, beberapa kebijakan terasa komersial semata dan memang pantas dikritik. Aku cenderung menghargai kritikus yang transparan soal sudut pandangnya — itu bikin pembaca tahu kalau ulasan fokus ke fidelity atau ke kualitas film secara umum. Pada akhirnya, aku suka kombinasi: baca ulasan yang membahas kedua sisi supaya bisa memutuskan mau nonton filmnya dulu atau baca novelnya dulu. Itu cara paling enak menikmati kedua dunia itu, menurutku.