Membicarakan ending 'Aku Ingin Jadi Peluru' selalu bikin hati berdebar-debar karena cerita ini punya kedalaman emosional yang jarang ditemukan di novel lain.
kisah cinta antara Kou dan Yamada berakhir dengan tragis tapi penuh makna, di mana Yamada, yang selama ini menjadi 'peluru' bagi Kou, akhirnya memilih untuk melepaskan dirinya dari lingkaran kekerasan dan ketergantungan mereka. Adegan terakhirnya sangat memukau—Yamada menyadari bahwa cintanya pada Kou justru menghancurkan mereka berdua, dan dia memutuskan untuk pergi demi kebaikan Kou, meskipun itu berarti meninggalkan luka yang dalam.
Yang bikin ending ini begitu berkesan adalah cara penulis menggambarkan keputusasaan sekaligus keikhlasan Yamada. Dia yang tadinya ingin menjadi segala-galanya bagi Kou, akhirnya mengerti bahwa terkadang mencintai seseorang berarti melepaskannya. Kou sendiri, meski awalnya terlihat dingin, ternyata sangat tergantung pada Yamada, dan kepergian Yamada meninggalkan void yang besar dalam hidupnya. Ending ini nggak cuma tentang romansa, tapi juga tentang pertumbuhan pribadi dan harga diri—sebuah penutup yang bikin pembaca merenung lama setelah menutup buku.
Bagi yang belum baca, siap-siap aja buat dibawa rollercoaster emosi. Novel ini nggak cuma sekadar cerita cinta gelap, tapi juga eksplorasi psikologis yang dalam tentang obsesi, trauma, dan arti kebebasan. Endingnya mungkin nggak bahagia secara konvensional, tapi justru karena itu rasanya lebih manusiawi dan nyata. Setelah selesai membacanya, aku sempat nggak bisa move on berhari-hari—kayak ada yang mengganjal di dada, tapi juga merasa puas karena ceritanya selesai dengan sempurna sesuai jalurnya.