Felisha tidak pernah lagi percaya pada cinta. Luka masa lalu terlalu dalam, dan tembok yang ia bangun terlalu tinggi untuk diruntuhkan. Apalagi ketika pria yang mendekatinya adalah Ace-seorang playboy yang terbiasa mempermainkan hati wanita. Namun Ace berbeda kali ini. Bersamanya, Felisha menemukan perlindungan yang tak pernah ia duga. Dan bagi Ace, untuk pertama kalinya dalam hidup, cinta bukan tentang godaan atau kesenangan singkat, tapi tentang keinginan untuk menjaga. Meski dunia terus menguji, meski hati Felisha terus ragu... Ace hanya punya satu tujuan: menjadikan Felisha miliknya, selamanya.
Lihat lebih banyakSuara alarm memekik, memecah keheningan pagi di apartemen mungil milik Felisha. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba meja di samping ranjang, menabrak tumpukan buku, kabel charger, dan botol air sebelum akhirnya berhasil mematikan sumber kebisingan itu.
Ia mendesah pelan, masih setengah tertidur. "Lima menit lagi..." gumamnya, menarik kembali selimut ke atas kepala. Namun baru dua detik berlalu, ia terduduk, menatap kosong ke langit-langit. Realita pagi terlalu keras untuk diabaikan. Dengan enggan, Felisha melangkah ke kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya—seperti tamparan dari dunia nyata. Kantuk menguap, berganti rasa malas yang tak kalah berat. Ia menatap cermin. Rambut awut-awutan, mata sembab, dan kaos tidur longgar yang entah sejak kapan mulai kehilangan bentuknya. “Cantik sekali,” katanya dengan nada sinis, lalu terkekeh kecil. Setelah membersihkan diri, ia membuka kulkas dan mengambil sebutir telur. Menu andalannya saat waktu tidak berpihak: telur ceplok dan roti panggang. Suara televisi mulai mengisi keheningan ruangan, menayangkan acara pagi yang terlalu ceria. Presenter tersenyum selebar dunia, seolah hidup hanya berisi pelangi dan cupcake. Tiba-tiba, ponselnya bergetar kencang di atas meja. Felisha terlonjak, lalu meraihnya. “Felisha! Gawat!” suara panik menyambutnya. “Viola?” Felisha mengucek mata. “Kau sadar ini masih jam tujuh pagi, kan?” “Mia tiba-tiba sakit. Aku sudah hubungi semua orang, cuma kau yang bisa bantu. Kau harus datang sekarang. Kalau bos tahu barista utama absen—” Felisha langsung duduk tegak. “Ya ampun… kenapa hari liburku selalu jadi korban?” “Karena kau malaikat tak bersayap. Cepat ya, sebelum aku mati konyol di balik mesin espresso.” Felisha tidak bisa menahan senyum tipis. Viola memang pandai memaksa. “Baiklah. Tapi kau traktir makan malam.” “Deal! Sekarang lari!" Telepon terputus. Felisha segera bangkit, membuka lemari, dan mengacak-acak isinya. Ia memilih atasan biru dengan renda halus dan celana jeans ketat favoritnya. Musim semi masih sejuk, jadi ia menambahkan cardigan abu-abu tipis. Setelah menyemprotkan parfum, ia berlari menuruni tangga apartemen dengan setengah roti panggang masih menggantung di mulut. Sampai di halte, satu-satunya bus menuju pusat kota baru saja meninggalkan jejak debu di wajahnya. “Tidak! Tunggu!” teriaknya, mengangkat tangan. Sia-sia. Ia mengumpat pelan, menoleh kanan-kiri. Di ujung jalan, sebuah taksi melaju pelan. “Yes!” Felisha melambai-lambaikan tangan sambil menyeberang, tak lepas dari ponselnya yang sedang digunakan untuk membalas pesan Viola. Tapi tiba-tiba sebuah bus besar melintas, menghalangi pandangannya. Ia tidak sadar bahwa taksi itu tidak berhenti. Namun pandangannya langsung menangkap sebuah mobil hitam berhenti di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan masuk. “Cepat, ke Kafe Lenorè di pusat kota!” katanya tergesa, jari masih sibuk mengetik pesan balasan pada Viola. Hening. Baru beberapa detik kemudian, suara seorang lelaki terdengar—tenang, berat, dan terdengar geli. “Maaf… kau siapa?” Felisha mengangkat kepala dengan kaget. Yang duduk di balik kemudi bukan sopir taksi berusia paruh baya, melainkan seorang pria muda tampan dengan jas kasual. Rambut hitamnya tertata dengan gaya modis bak artis, mata sipit tajam menatapnya penuh seloroh. “Eh… ini… bukan taksi?” tanyanya gugup. Pria itu menyeringai kecil. “Sayangnya bukan. Tapi kau duduk di sana dengan percaya diri. Jadi, apa aku harus pura-pura jadi sopir taksi saja?” Wajah Felisha langsung memanas. Ia buru-buru meraih tas. “Astaga, maaf! Kupikir taksi. Aku keluar saja—” “Terlambat,” ucap pria itu ringan sambil menekan pedal gas. Mobil melaju mulus. “Pegang yang erat, Nona. Sopir edisi terbatas ini tidak suka jalan pelan.” Felisha melongo, tubuhnya menegang. “Hei! Aku bisa terlambat kalau kau bercanda begini!” “Bukankah tujuanmu Kafe Lenorè?” tanyanya sambil melirik spion. Felisha terdiam. “Kau… dengar?” “Ya. Dan kebetulan aku tahu jalannya. Jadi tenanglah. Kau aman di tangan sopir tampan ini.” Felisha memutar bola mata. “Sopir taksi tidak seharusnya narsis.” “Benar. Tapi aku kan bukan sopir taksi. Jadi aku boleh narsis.” Felisha tidak menjawab. Ia menempelkan punggung ke kursi, mencoba menutupi rasa malunya dengan raut masam. Lelaki ini jelas bukan tipenya. Terlalu percaya diri. Terlalu lancar berbicara. Sesampainya di depan kafe, Felisha buru-buru keluar, lalu menyodorkan beberapa lembar uang. “Ini ongkosnya.” Pria itu menolak, mendorong tangannya pelan. “Gratis. Tapi kalau kau merasa berutang… traktir aku kopi lain kali.” Felisha mendecak. “Aku tidak mau berutang apa pun.” “Kalau begitu, anggap saja aku sudah punya kupon traktir,” jawabnya sambil mengedipkan mata. Felisha membeku. Pipi merona. Sebelum ia sempat membalas, mobil itu sudah melaju pergi. “Ya Tuhan…” desisnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Memalukan sekali.” *** Kini Felisha duduk di ruang istirahat kafe, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Ya ampun... aku bodoh banget...” gumamnya. Viola duduk di depannya, menyeruput kopi. “Jadi kau memaksa pria itu mengantarmu ke sini?” “Ya! Aku kira dia sopir yang lambat. Dan dia cuma senyum-senyum! Astaga, aku ingin menghilang saja!” Viola tertawa terpingkal-pingkal. “Lucu banget! Kau bikin pagi orang itu jadi berwarna!” Felisha mendecak. “Lucu ya, kalau itu bukan aku.” “Tenang, di kota sebesar ini, kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Kecuali... kalian berjodoh.” “Jangan mulai.” Tepat saat itu, bel pintu kafe berdenting. Felisha yang baru hendak berdiri, menoleh refleks ke arah pintu. Dan di sana—berdiri pria itu. Ace. Si sopir taksi dadakan. Mengenakan jas hitam kasual dan senyum seperti iklan parfum mahal, ia masuk bersama seorang wanita tinggi dalam gaun merah menyala. Felisha terpaku. “Itu dia...” bisiknya. Viola ikut membeku. “Pria yang tadi itu??” Felisha mengangguk pelan. Jantungnya berdetak kacau. Ace berjalan ke kasir. Tatapannya langsung mengarah pada Felisha. “Selamat datang,” ucap Felisha kaku, mencoba bersikap profesional. Ace menyeringai. “Jadi... sudah kau pikirkan soal traktiran kopinya?” Felisha mengangkat alis, sinis. “Kopimu gratis. Hutangku lunas.” “Gratis itu bukan traktiran. Aku maunya kau yang bayar pakai hati.” “Kalau begitu, cari wanita lain. Hatiku mahal.” “Justru itu yang bikin menarik,” jawab Ace, mengedipkan sebelah mata. Wanita di sebelahnya—Selena—masih sibuk membaca menu, seolah tak menyadari percakapan mereka. Ace akhirnya memesan dua kopi, lalu duduk di meja dekat jendela. Viola masih melongo dari balik mesin kopi. “Fel, kau tidak bilang kalau dia sangat tampan. Seperti aktor!” Felisha mendengus. “Dia pria penggoda. Datang dengan wanita lain, tapi masih sempat menggodaku. Aku tidak sudi berurusan dengan pria seperti itu.” Viola hanya mengangkat bahu sambil menahan tawa. Dengan kesal, Felisha melepas celemek baristanya. “Gantian, ya. Aku ke belakang sebentar.” “Tapi aku baru—” “Please.” Viola mengalah, mengangguk pasrah. Di ruang staf, Felisha duduk dan menarik napas panjang. Ia membuka ponsel. Satu pesan baru masuk. 'Kita perlu bicara. Ini penting.' Tatapan Felisha berubah kosong. Pikirannya langsung melayang, bukan kepada Ace, melainkan kepada pengirim pesan tersebut. Yaitu seseorang dari masa lalu yang tak ingin ia hadapi lagi. *** Sementara itu, di kantor pusat Shirohige Group, seorang pria paruh baya dengan tubuh besar dan aura dominan duduk di balik meja besar berkayu mahoni. Edward Newgate, pemilik perusahaan raksasa itu, sedang mengamuk. “Marco!” suaranya menggelegar. Seorang pria berwibawa dengan rambut keemasan dan sorot mata tenang masuk ke ruangan dengan langkah hati-hati. “Ya, Ayah?” “Di mana Ace?! Sudah tiga hari dia tidak datang. Aku tidak membangun perusahaan ini untuk diwariskan pada seorang pemalas!” Marco tetap tenang. “Dia sedang... mencari inspirasi, Ayah.” “Inspirasi? Yang dia cari itu cuma masalah!” Marco menunduk hormat. “Dia akan kembali. Aku yakin.” “Aku tidak peduli! Seret dia ke sini kalau perlu! Kalau dia masih ingin punya nama di keluarga ini, dia harus belajar tanggung jawab!” Marco mengangguk. “Baik. Aku akan mencarinya.” Tapi dalam hati, ia tahu: menemukan Ace mungkin mudah. Membuatnya patuh? Itu seperti mencoba menghentikan badai dengan tangan kosong. Dan badai itu—Ace—baru saja mulai mengusik hidup seorang gadis bernama Felisha."Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang
Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace
Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak
Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p
BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.
Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen