Bagaimana Kritik Sastra Menilai Bahasa Dalam Buku Buya Hamka?

2025-10-12 11:22:42 79

3 Jawaban

Rachel
Rachel
2025-10-14 16:45:32
Kesan pertama yang muncul saat menelaah bahasa Hamka adalah kepadatan muatan moral dan religius yang melekat kuat pada pilihan kata dan struktur kalimatnya. Bagiku gaya tersebut bukan semata retorika, melainkan strategi naratif: penggunaan kutipan ajaran, peribahasa, dan diksi berakar Arab memposisikan narasi pada ranah yang lebih etis daripada sekadar estetis. Teknik repetisi dan paralelisme yang sering ia pakai berfungsi mempertegas argumen moral dan membangun ritme yang mirip pembacaan tafsir atau ceramah.

Secara stilistika, saya cenderung mengapresiasi bagaimana Hamka memanfaatkan ragam lisan Minangkabau—idiom, perumpamaan, dan logika penuturan khas daerah—sebagai bahan baku prosa modern. Itu membuat karyanya terasa otentik dan dekat, berbeda dari prosa Barat yang lebih individualistik. Namun kritik sastra juga menyorot kecenderungan sentimentalitas berlebih dan kecenderungan menjadikan novel sebagai alat pengajaran moral, sehingga aspek dramatik dan kompleksitas psikologis tokoh kadang tertutupi oleh pesan moral yang eksplisit.

Selain itu, pergeseran register—dari sehari-hari ke bahasa religius—menyulitkan penerjemahan dan pembacaan lintas budaya. Bagi studi sastra kontemporer, Hamka penting karena kontribusinya pada pembentukan bahasa cerita nasional dan praktik naratif yang menggabungkan tradisi lisan dan warisan Islam. Bagi saya, membaca Hamka adalah menyisir lapisan-lapisan budaya dan retorika yang membentuk wacana moral masyarakat pada zamannya.
Evan
Evan
2025-10-18 03:05:53
Ada kalanya bahasanya Hamka terasa sederhana namun menyengat; aku sering terpancing oleh frase-frase pendek yang memuat makna besar. Gaya penuturannya dekat seperti orang berdiskusi di rumah, tapi ada juga momen-momen di mana bahasa itu berubah menjadi sangat khidmat, dipenuhi kata-kata bernuansa religi dan kiasan-kiasan kuat. Ini menciptakan efek ganda: narasi terasa personal sekaligus mengandung otoritas moral.

Dari perspektif pembaca muda yang mencoba memahami struktur teks, aku melihat beberapa ciri konsisten—pemakaian peribahasa, kutipan kitab suci, serta repetisi sebagai alat penegasan. Itu membantu membentuk karakter pembaca yang diarahkan, bukan sekadar dibiarkan menafsir sendiri. Kritik terhadapnya wajar karena metode ini memang mengutamakan pesan moral; tetapi bahasa semacam itu juga membuat karya-karya seperti 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' dan 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' tetap hidup di memori kolektif. Bagi aku, Hamka menulis bukan hanya untuk menghibur, melainkan untuk mendidik dan mengingatkan — sesuatu yang membuat setiap kalimatnya terasa punya tujuan.
Brady
Brady
2025-10-18 11:33:49
Bahasanya Hamka bagi aku terasa seperti jalinan doa dan cerita yang gampang diraba—hangat tapi penuh rangkaian kata yang kadang-kadang melambung ke langit. Aku pertama kali tersentuh oleh baris-baris di 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' yang penuh nuansa religius; kata-katanya tidak sekadar memberitahu, tapi meneguhkan keyakinan lewat metafora dan peribahasa yang akrab di telinga pembaca Melayu. Hamka sering memakai gaya retoris yang dekat dengan pengajian: pengulangan, paralelisme, dan kutipan-kutipan yang menguatkan pesan moral. Itu membuat narasi terasa seperti ceramah yang disulap jadi cerita sentimental.

Di sisi lain, aku juga merasakan campuran register bahasa—ada kalimat-kalimat yang sangat sederhana, lalu tiba-tiba muncul diksi-diksi Arab atau frasa lama yang memberi bobot sakral. Banyak kritik memuji kemampuannya memadukan bahasa rakyat Minangkabau dengan Bahasa Indonesia yang sedang berkembang, sehingga karyanya terasa autentik tapi tetap bisa dinikmati khalayak luas. Namun, ada kalanya gaya itu berujung pada melodrama: emosi karakter kadang diremukkan oleh monolog panjang atau penjelasan moral yang jelas tujuannya. Untuk pembaca yang mencari plot ketat, ini bisa mengganggu, tapi buatku unsur itu justru menambah rasa hangat dan kedekatan personal dengan tokoh.

Akhirnya, aku melihat bahasa Hamka sebagai jembatan—menyatukan tradisi lisan, wawasan keagamaan, dan bahasa modern Indonesia. Tidak sempurna, tapi sangat berpengaruh; setiap kali membaca, aku merasa dia sedang berbicara langsung dari mimbar ke hati pembaca, kadang lirih, kadang menggelegar, selalu berbekas.
Lihat Semua Jawaban
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Buku Terkait

Bagaimana Mungkin?
Bagaimana Mungkin?
Shayra Anindya terpaksa harus menikah dengan Adien Raffasyah Aldebaran, demi menyelamatkan perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang hampir bangkrut. "Bagaimana mungkin, Mama melamar seorang pria untukku, untuk anak gadismu sendiri, Ma? Dimana-mana keluarga prialah yang melamar anak gadis bukan malah sebaliknya ...," protes Shayra tak percaya dengan keputusan ibunya. "Lalu kamu bisa menolaknya lagi dan pria itu akan makin menghancurkan perusahaan peninggalan almarhum papamu! Atau mungkin dia akan berbuat lebih dan menghancurkan yang lainnya. Tidak!! Mama takakan membiarkan hal itu terjadi. Kamu menikahlah dengannya supaya masalah selesai." Ibunya Karina melipat tangannya tegas dengan keputusan yang tak dapat digugat. "Aku sudah bilang, Aku nggak mau jadi isterinya Ma! Asal Mama tahu saja, Adien itu setengah mati membenciku! Lalu sebentar lagi aku akan menjadi isterinya, yang benar saja. Ckck, yang ada bukannya hidup bahagia malah jalan hidupku hancur ditangan suamiku sendiri ..." Shayra meringis ngeri membayangkan perkataannya sendiri Mamanya Karina menghela nafasnya kasar. "Dimana-mana tidak ada suami yang tega menghancurkan isterinya sendiri, sebab hal itu sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri. Yahhh! Terkecuali itu sinetron ajab, kalo itu sih, beda lagi ceritanya. Sudah-sudahlah, keputusan Mama sudah bulat! Kamu tetap harus menikah dangannya, titik enggak ada komanya lagi apalagi kata, 'tapi-tapi.' Paham?!!" Mamanya bersikeras dengan pendiriannya. "Tapi Ma, Adien membenc-" "Tidak ada tapi-tapian, Shayra! Mama gak mau tahu, pokoknya bagaimana pun caranya kamu harus tetap menikah dengan Adien!" Tegas Karina tak ingin dibantah segera memotong kalimat Shayra yang belum selesai. Copyright 2020 Written by Saiyaarasaiyaara
10
51 Bab
Bagaimana Denganku
Bagaimana Denganku
Firli menangis saat melihat perempuan yang berada di dalam pelukan suaminya adalah perempuan yang sama dengan tamu yang mendatanginya beberapa hari yang lalu untuk memberikannya dua pilihan yaitu cerai atau menerima perempuan itu sebagai istri kedua dari suaminya, Varel Memilih menepi setelah kejadian itu Firli pergi dengan membawa bayi dalam kandungannya yang baru berusia delapan Minggu Dan benar saja setelah kepergian Firli hidup Varel mulai limbung tekanan dari kedua orang tuanya dan ipar tak sanggup Varel tangani apalagi saat tahu istrinya pergi dengan bayi yang selama 2 tahun ini selalu menjadi doa utamanya Bagaimana Denganku?!
10
81 Bab
Nada di Hati Sastra
Nada di Hati Sastra
Nada mengira keluarganya sempurna, tempat di mana ia merasa aman dan dicintai. Namun, semua itu hancur saat ia memergoki ayahnya bersama wanita lain. Dunia yang selama ini terasa hangat, seketika runtuh. Menyisakan kehampaan dan luka yang tidak terhindarkan. Dan dalam sekejap, semua tidak lagi sama.
10
60 Bab
BUKU TERLARANG
BUKU TERLARANG
nama: riven usia: 22-25 tahun (atau mau lebih muda/tua?) kepribadian: polos, agak pendiam, lebih suka menyendiri, tapi punya rasa ingin tahu yang besar latar belakang: mungkin dia tumbuh di panti asuhan, atau dia hidup sederhana di tempat terpencil sebelum semuanya berubah ciri fisik: rambut agak berantakan, mata yang selalu terlihat tenang tapi menyimpan sesuatu di dalamnya, tinggi rata-rata atau lebih tinggi dari kebanyakan orang? kelebihan: bisa membaca kode atau pola yang orang lain nggak bisa lihat, cepat belajar, dan punya daya ingat yang kuat kelemahan: terlalu mudah percaya sama orang, nggak terbiasa dengan dunia luar, sering merasa bingung dengan apa yang terjadi di sekitarnya
Belum ada penilaian
24 Bab
Ramalan Buku Merah
Ramalan Buku Merah
Si kembar Airel dan Airen yang kecil terpaksa melihat pembunuhan sang ibu di depan mata. Dua belas tahun kemudian, mereka berusaha mengungkap dalang kematian sang ibu. Dalam perjalanannya, mereka menemukan sebuah buku merah misterius. Buku yang berisi tentang kejadian yang akan mereka temui di masa depan. Beberapa kasus harus mereka lalui. Berbagai kejanggalan juga mereka temui. Mampukah si kembar mengungkap kematian sang ibu? Siapakah penulis buku itu?
10
108 Bab
Bahasa isyarat
Bahasa isyarat
Kematian sang Nenek yang begitu mendadak dan mencurigakan, membuat Abi berpura-pura menjadi lelaki bisu. Abi bekerja sebagai ajudan pribadi Elana, anak dari pemilik utama Rumah sakit Mahika Medical Center. Bukan tanpa alasan ia bekerja sebagai ajudan, yaitu untuk menyelidiki kasus kematian sang Nenek yang begitu mendadak. Dengan mendekati Elana, ia pun bisa sekaligus menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi pada Neneknya. Benarkah meninggal karena penyakit yang selama ini dideritanya, atau justru ada malpraktek yang sengaja disembunyikan pihak Rumah sakit. Penyamaran Abi berjalan sesuai rencananya, namun tanpa disadari suatu hal terjadi tanpa disadarinya. Kebersamaan antara dirinya dan Elana ternyata menimbulkan perasaan lebih dari sekedar ajudan yang melindungi tuannya, terlebih ketika Abi tau kekasih Elana ternyata adalah tersangka utama dalam kasus kematian Neneknya. Bukan hanya itu, rupanya Rony sengaja mengincar Elana dan menjadikannya kekasih hanya untuk memanfaatkan Elana agar ia bisa menggeser kedudukan Erlangga sebagai pemilik utama MMC.
10
27 Bab

Pertanyaan Terkait

Bagaimana Hamka Mengeksplorasi Motif Religius Dalam Buku Buya Hamka?

3 Jawaban2025-10-12 16:57:05
Ada sesuatu tentang cara Hamka menenun agama ke dalam cerita yang selalu membuatku terpesona. Aku sering terpaku pada bagaimana ia tidak sekadar memasang simbol-simbol Islam di latar, melainkan menjadikan iman sebagai tenaga pendorong tiap keputusan tokoh. Dalam novel-novelnya seperti 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' dan 'Di Bawah Lindungan Ka'bah', motif religius muncul lewat konsep takdir, ujian, dan penyerahan diri pada kehendak Tuhan. Laut yang menganga, perjalanan ke Mekah, atau doa yang dipanjatkan bukan cuma seting—mereka adalah cermin jiwa yang diuji dan dibentuk. Hamka juga kuat di ranah etika: ia menyusun kisah supaya pembaca memahami bahwa tindakan pribadi selalu terikat pada nilai-nilai agama. Cara penceritaan Hamka terasa seperti ceramah yang dibalut cerita, dan itu membuat pesannya gampang menyentuh. Kadang ia memasukkan tafsir, hadits, atau nasihat sufistik yang menguatkan transformasi batin tokohnya; pada saat lain ia menonjolkan konflik sosial—misalnya benturan adat dengan prinsip Islam—sebagai latar untuk menguji keimanan. Aku kerap merasa tercerahkan ketika melihat tokoh yang awalnya tersesat perlahan menemukan jalan melalui doa, taubat, atau kesabaran. Dalam konteks ini, motif religius Hamka bukan sekadar tema; ia adalah energi naratif yang memberi arah, makna, dan pada akhirnya, harapan.

Kapan Penerbit Menerbitkan Ulang Buku Buya Hamka Versi Baru?

3 Jawaban2025-10-12 00:33:03
Bicara soal cetak ulang karya-karya Hamka itu selalu bikin semangat—saya suka membayangkan edisi baru dengan sampul segar yang bikin rak perpustakaan rumah terasa hidup lagi. Dari pengamatan saya, penerbit biasanya tidak memiliki jadwal tetap yang bisa dipantau publik; mereka mengeluarkan versi baru ketika ada momen tertentu: ulang tahun penulis, peringatan kemerdekaan budaya, proyek kurasi ulang, atau ketika ada permintaan pasar yang meningkat. Beberapa penerbit besar kadang-kadang menaruh ulang judul-judul favorit seperti 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' atau 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' dalam bentuk edisi terjemahan baru, versi anotasi, atau versi ringan untuk pembaca muda. Kalau ingin tahu kapan tepatnya versi baru akan terbit, saya biasanya memantau laman resmi penerbit, akun media sosial mereka, dan toko buku besar online—Gramedia, Tokopedia, atau marketplace favorit sering kali munculkan pre-order sebelum pengumuman resmi. Forum pembaca dan grup buku juga sering kebagian bocoran duluan. Kalau kamu pengen yang lebih praktis: daftar newsletter penerbit, follow akun penerbit dan penulis yang merekomendasikan Hamka, dan cek katalog perpustakaan daerah. Kadang edisi khusus muncul tiba-tiba lewat kerja sama penerbit dan universitas atau yayasan literasi. Saya sendiri selalu semringah kalau menemukan edisi lawas yang dipoles ulang—rasanya seperti mendapatkan teman lama yang kembali berkunjung.

Mengapa Pembaca Menganggap Ending Dalam Buku Buya Hamka Heboh?

4 Jawaban2025-10-12 13:02:09
Ada satu hal yang selalu bikin aku batal tidur: cara Hamka menutup cerita itu keras menempel di hati pembaca. Waktu aku pertama kali menamatkan 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' aku hampir nggak percaya sama endingnya — bukan cuma karena tragedinya, tapi karena cara Hamka menjahit nasib tokoh-tokohnya sehingga rasanya adil dan sakit sekaligus. Dia paham betul bagaimana membangun empati; pembaca sudah larut dalam cinta, penantian, dan ketidakadilan sosial, lalu dipaksa menghadapi realita yang kejam. Tekniknya sederhana tapi efektif: perlahan menaikkan ketegangan, lalu melepaskan emosi lewat momen yang dramatis (seperti tenggelamnya kapal, atau reuni yang terlambat di 'Di Bawah Lindungan Ka'bah'). Kombinasi antara romantisme, religi, dan kritik sosial membuat klimaks terasa sangat personal bagi banyak pembaca. Selain unsur plot, ada juga faktor budaya dan historiografi yang bikin endingnya heboh. Hamka menulis di masa ketika norma, kelas, dan keyakinan saling bertaut; pembaca era itu — dan generasi sekarang yang membaca ulang — merasa tersentuh karena masalahnya terasa nyata sampai kini. Ditambah lagi bahasa Hamka yang puitis tetapi lugas: kalimatnya sering memukul hati tanpa dipaksa. Terakhir, efek kolektif dari adaptasi film dan diskusi di warung kopi atau grup chat membuat reaksi terhadap ending jadi meluas; bukan cuma sedih, tapi debat soal moral, takdir, dan keadilan bergemuruh. Aku sendiri masih teringat sampai sekarang, karena Hamka berhasil membuat aku peduli sampai akhir, dan itu yang membuat penutup karyanya tetap jadi bahan perbincangan panas.

Berapa Harga Edisi Kolektor Buku Buya Hamka Di Pasaran?

3 Jawaban2025-10-12 06:07:39
Aku ingat kehujanan waktu nemu edisi lama karya Buya Hamka di sebuah toko buku bekas kecil — pengalaman itu bikin aku kepo soal harga edisi kolektor sampai sekarang. Kalau ditanya berapa harganya di pasaran, jawabannya cukup lebar karena tergantung edisi dan kondisi. Untuk edisi cetakan ulang bergaya kolektor (misalnya cetakan hardcover dengan desain khusus dari penerbit besar), biasanya berkisar antara Rp150.000 sampai Rp700.000 baru. Kalau edisi terbatas yang dijual resmi oleh penerbit dengan slipcase, kertas khusus, atau cetakan nomor terbatas, harganya bisa melonjak ke Rp500.000–Rp2.500.000 tergantung kelangkaan dan paketnya. Sementara itu, kalau bicara first edition asli, cetakan awal sebelum perang, atau buku yang ditandatangani, harganya bisa jauh lebih tinggi — dari jutaan hingga puluhan juta rupiah pada kasus yang sangat langka. Yang penting diperhatikan: tahun terbit, kondisi fisik (sobek, noda, kertas kuning), keberadaan dust jacket atau slipcase, apakah ada tanda tangan atau nota kepemilikan, serta keaslian edisi itu sendiri. Cek pasar seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, eBay, serta toko buku bekas atau lelang untuk mendapatkan gambaran harga. Bandingkan listing, lihat foto close-up, dan jangan ragu menanyakan nomor ISBN atau foto halaman depan jika kamu serius. Aku sendiri sering pasang notifikasi harga agar nggak kelewatan kalau ada yang muncul dengan harga menarik.

Apa Relevansi Ajaran Dalam Buku Buya Hamka Untuk Generasi Muda?

3 Jawaban2025-10-12 07:32:47
Membaca karya-karya Hamka membuatku sering mikir ulang tentang siapa aku di tengah arus cepat zaman ini. Di mata anak muda, ajaran Buya Hamka terasa relevan karena dia nggak cuma bicara teori tebal yang jauh dari kehidupan sehari-hari; dia menggabungkan nilai spiritual, etika, dan sastra jadi sesuatu yang mudah dicerna. Contohnya, novel 'Di Bawah Lindungan Ka'bah' dan 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' nggak hanya soal kisah cinta atau tragedi—mereka meneropong ketulusan, harga diri, dan konflik sosial yang sampai sekarang masih kita alami: perbedaan kelas, tekanan norma, dan pencarian jati diri. Selain itu, tafsirnya di 'Tafsir Al-Azhar' nunjukin bagaimana teks agama bisa dibaca dengan kepala dingin dan hati terbuka. Untuk generasi yang akrab sama informasi cepat dan opini instan, pendekatan Hamka mengajarkan kesabaran dalam menelaah sumber, pentingnya konteks sejarah, dan sikap bertanya tanpa menjatuhkan. Itu modal penting supaya nggak gampang termakan hoaks atau memahami agama secara sempit. Praktisnya, aku merasa anak muda bisa ambil banyak: belajar empati lewat cerita, membangun integritas lewat teladan, dan memakai nalar kritis saat berinteraksi di media sosial. Nggak perlu setuju semua ide Hamka secara dogmatis; yang penting adalah meniru semangatnya yang menggabungkan moral, estetika, dan akal sehat. Bukankah itu kombinasi yang langka dan berharga di era sekarang?

Bagaimana Pengaruh Budaya Minang Pada Gaya Narasi Buku Buya Hamka?

3 Jawaban2025-10-12 01:49:50
Buku-buku Hamka punya aroma kampung yang kuat—entah kenapa tiap baca aku langsung kebayang randang beraroma dan halaman rumah gadang. Pengaruh budaya Minang pada gaya narasi Hamka itu seperti lapisan rasa yang selalu muncul tanpa dipaksakan: ada ritme lisan, peribahasa yang menempel, dan cara bercerita yang terasa seperti duduk melingkar mendengar orang tua berkisah. Gaya naratifnya sering memakai struktur yang mirip cerita lisan Minang: pengantar yang sopan, pengulangan untuk menekankan pesan, dan sisipan pantun atau peribahasa yang jadi penanda moral. Di karya-karyanya seperti 'Tenggelamnya Kapal Van der Wijck' dan 'Di Bawah Lindungan Ka'bah', konflik adat versus agama muncul nyata—tidak sebagai teori, melainkan sebagai pengalaman hidup tokoh. Tradisi merantau juga kental; perjalanan jauh bukan cuma latar, tapi motif pembentuk identitas dan konflik batin tokoh. Selain itu, ada kecenderungan Hamka menampilkan perempuan Minang dengan wibawa: tegas, punya kehormatan keluarga, sekaligus menjadi tolok ukur adat. Bahasa yang dipakai Hamka meski berakar Melayu, sering menyelipkan ungkapan Minang sehingga nuansanya lokal tapi tetap universal. Bagi aku, itu membuat karyanya terasa tulus—ia tidak sekadar mengajar nilais keagamaan, tapi menunjukkan bagaimana adat dan agama saling berinteraksi di ranah sehari-hari.

Dapatkah Adaptasi Film Menangkap Pesan Moral Dalam Buku Buya Hamka?

3 Jawaban2025-10-12 11:45:08
Ada satu hal yang selalu bikin aku berdebat sendiri: film bisa menangkap pesan moral sebuah novel, tapi caranya jarang sama dan kadang malah lebih kuat atau malah hilang total. Aku pernah menonton adaptasi beberapa karya Buya Hamka, termasuk versi layar lebar dari 'Tenggelamnya Kapal van der Wijck' dan adaptasi lain dari 'Di Bawah Lindungan Ka'bah'. Dalam novel, Hamka sering menyampaikan pesan moral lewat monolog batin, penjelasan narator, dan latar religius yang kental — hal-hal yang sulit langsung dipetakan ke layar. Untuk bisa memindahkan pesan itu, adaptasi harus menemukan padanan visual: gestur, dialog yang disusutkan, momen sunyi, atau simbol seperti lanskap, musik, dan cahaya. Kalau sutradara paham tujuan etis cerita — bukan cuma plot romantis atau konflik sosialnya — film bisa menegaskan nilai-nilai Hamka: ketulusan, keimanan, dan konsekuensi pilihan. Tapi jangan sedih kalau ada yang berubah. Aku suka ketika adaptasi berani mengambil interpretasi baru selama inti moralnya tetap hidup. Kadang perubahan dialog atau urutan adegan justru menyorot konflik batin yang sebelumnya cuma tertulis. Yang penting menurutku adalah kehati-hatian: menghormati konteks budaya dan spiritual Hamka, serta memberi ruang kepada penonton untuk merenung, bukan disuapi pelajaran. Kalau berhasil, film bukan hanya reproduksi pesan, tapi jembatan baru yang membuat moral Hamka terasa relevan untuk generasi sekarang.

Siapa Penerjemah Terbaik Untuk Karya Asing Dalam Buku Buya Hamka?

3 Jawaban2025-10-12 14:53:43
Ada sesuatu tentang cara Buya Hamka mengolah teks asing yang membuatku kagum sejak lama. Kalau bicara siapa penerjemah terbaik untuk karya asing dalam buku-buku Buya Hamka, aku cenderung melihat dari dua hal: kesetiaan terhadap makna asal dan kemampuan meramu bahasa Indonesia yang puitis tapi jelas. Menurut pengalamanku membaca ulang karya-karya Buya Hamka, yang sering terlihat bukan sekadar terjemahan literal, melainkan adaptasi yang mempertahankan pesan moral dan nuansa budaya. Jadi, dalam konteks itu aku merasa yang terbaik bukan selalu penerjemah yang paling “teknis”, melainkan yang bisa menyelaraskan sumber dengan pembaca Indonesia tanpa menghilangkan karakter teks. Seringkali ini berarti menerjemahkan sambil memberi catatan kecil atau pengantar agar pembaca memahami latar budaya atau istilah-istilah yang sulit. Kalau harus memberi nama satu “tipe” penerjemah yang ideal untuk karya asing dalam buku Buya Hamka, aku pilih penerjemah yang juga peka sastra—orang yang bukan hanya tahu bahasa sumber, tapi juga fasih menulis dalam gaya yang mengalun seperti Hamka. Pendekatan seperti itu membuat pembaca merasakan resonansi teks lama sekaligus menerima pesan tanpa tersasar oleh kata-kata kaku. Di sinilah letak kemahiran yang aku cari: keseimbangan antara kesetiaan padat dan keindahan bahasa.
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status