Membicarakan
Fujiko F. Fujio selalu mengingatkanku pada masa kecil dulu, ketika 'Doraemon' menjadi semacam ritual wajib setiap sore. Duo kreatif ini—Hiroshi Fujimoto (Fujiko F.) dan Motoo Abiko (Fujiko Fujio)—adalah legenda manga yang membentuk imajinasi generasi. Fujimoto, yang menggunakan nama Fujiko F. Fujio setelah mereka berpisah pada 1987, punya sentuhan magis dalam menciptakan karakter absurd namun hangat. Karyanya bukan cuma 'Doraemon', tapi juga 'P-Man', 'Ninja Hattori-kun', atau 'Kiteretsu Daihyakka'. Tapi jujur, 'Doraemon' tetaplah mahakaryanya. Robot kucing biru dari abad ke-22 itu bukan sekadar
cerita lucu, tapi juga tentang persahabatan, kegagalan, dan mimpi. Bahkan sekarang, setiap kali baca ulang, selalu ada pesan baru yang tersembunyi di balik gadget futuristiknya.
Yang menarik, Fujimoto sering menyelipkan kritik sosial halus dalam karyanya. Misalnya, Nobita yang pemalas tapi punya hati besar, atau Suneo yang sok kaya tapi rapuh. Karakter-karakternya begitu manusiawi, membuat kita tertawa sekaligus introspeksi. Aku pernah baca interview temannya yang bilang Fujimoto adalah orang yang sangat rendah hati, mungkin itu sebabnya karyanya bisa menyentuh semua kalangan. Sayangnya, dunia kehilangan dia terlalu cepat pada 1996. Tapi warisannya? Abadi. Bahkan museum Doraemon di Kawasaki selalu ramai pengunjung, membuktikan betapa karyanya masih relevan sampai sekarang.