TEMAN WANITA AYAHKU
Darahku mendidih. Jantungku memukul tulang rusuk seperti hendak memberontak keluar. Napas naik-turun tak beraturan. Aku ingin berteriak. Ingin membanting sesuatu. Apa saja. Gelas, kursi, bahkan wajah perempuan itu kalau bisa.
Tanganku bergetar hebat. Bukan karena takut. Tapi karena terlalu banyak rasa yang kutahan. Dada ini sesak. Mataku panas. Amarahku menumpuk seperti lava dalam perut gunung, siap meledak dan membakar apa pun yang ada di dekatnya.
Aku benci ini semua. Benci Ayah yang munafik. Benci perempuan murahan yang sok manis itu. Dan yang paling kubenci, adalah wajahku sendiri di cermin karena masih bisa tersenyum padanya tadi. Aku benci karena harus berpura-pura.
Kenapa harus aku yang menyaksikan semua kebusukan ini dari dekat? Kenapa bukan orang lain? Kenapa harus perempuan sebusuk itu yang bisa membuat Ayah lupa pada kami?
Jika saat ini aku membuka mulutku lebar-lebar, aku akan meludah tepat ke wajahnya. Aku ingin mengatakan semua umpatan paling jahat yang selama ini hanya berputar di kepala. Tapi aku tahu, belum saatnya.
Belum. Tapi sebentar lagi.