Debby sudah terbiasa menghalau para pria yang berusaha mendekati dirinya di luar pekerjaan. Saking terbiasanya, ia sudah tidak perlu lagi memasang tembok di sekeliling dirinya seperti dahulu. Namun, kali ini Debby bertemu dengan sosok pria kepala batu yang terus mengejarnya meski sudah ditolak, baik secara terang-terangan maupun secara tersirat. Debby bertambah pusing dengan campur tangan ibunya yang terus mendesaknya untuk segera menikah dan mengatur kencan buta tanpa sepengetahuan dirinya. Masalah bertambah pelik ketika pria dari masa lalunya kembali muncul di hadapannya dan mengacaukan hidup yang sudah ia tata dengan susah payah. Bagaimana kisah Debby menghadapi para pria yang ingin mendapatkan cintanya? Berhasilkah mereka meluluhkan hati Debby yang sudah mengeras? Ada apa di balik tembok yang dibangun Debby selama ini?
Lihat lebih banyak“Halo.” Suara ketus bercampur serak meluncur cepat dari bibir mungil Debby ketika menjawab panggilan telepon. Matanya sudah kembali terpejam begitu tadi berhasil menggeser tombol hijau.
“Selamat malam. Maaf mengganggu. Apakah saya sedang berbicara dengan Debby, sahabat Fanny?” Terdengar suara maskulin dengan latar suara yang berisik dari seberang ponsel.
“Ugh! Siapa sih ini?” gerutu Debby lirih. Ia semakin kesal dengan gangguan tengah malam ini. Dengan ogah-ogahan dan mata setengah terbuka, Debby memeriksa layar ponsel yang sudah dijauhkan dari daun telinganya. Nama My Best Funny tertera pada layar ponsel. Seketika mata sipitnya terbuka lebar dan tubuhnya melenting bangun dari posisi tidurnya. Netra Debby juga melihat sekilas jam digital yang ada pada layar yang memberitahunya kalau sekarang sudah pukul 23.46 WIB.
“Astaga! Kenapa suara laki-laki? Jangan-jangan Fanny dalam bahaya!” batin Debby berteriak panik.
“Halo … halo ….” Samar-samar kembali terdengar suara maskulin dari seberang ponsel. Suara latar belakang yang berisik masih terdengar sayup-sayup.
Debby kembali mendekatkan ponselnya ke telinga dan langsung mencecar pemilik suara maskulin di seberang ponsel dengan pertanyaan bertubi-tubi. “Siapa kamu? Di mana Fanny? Apa yang sudah kamu lakukan padanya? Mana dia? Aku mau bicara sama Fanny!”
“Hei, hei, hei! Tenang dulu. Saya Niel, teman Fanny juga. Saya sudah sering mendengar namamu disebut-sebut oleh Fanny,” sahut pria di seberang telepon yang berusaha menenangkan Debby.
“Apa?” tanya Debby dengan heran di tengah-tengah kepanikannya. Dalam hati, Debby langsung mengutuki mulut ember sahabatnya itu.
“Lupakan dulu soal itu. Sekarang, bisakah saya minta tolong padamu? Fanny sedang mabuk berat. Saya tidak bisa mengantarnya pulang saat ini. Eh … ” ujar pemilik suara maskulin itu dengan penuh keraguan sebelum akhirnya memohon, “jadi, bisakah kamu menjemput Fanny? Please?”
“Apa? Laki-laki macam apa kamu ini? Bukankah kamu bersama-sama dengan Fanny? Kenapa sekarang kamu nggak bisa mengantarnya pulang? Kalau nggak bisa tanggung jawab, jangan berani-berani mengajak perempuan!” semprot Debby pedas. Kantuknya hilang seketika. Ia tak habis pikir dengan sosok di seberang telepon yang mengaku sebagai teman Fanny itu.
“Makanya nggak usah berurusan sama cowok, Fan!” omel Debby dalam hati pada sahabatnya.
Debby sempat mendengar sentakan kaget dari seberang telepon, tetapi ia tak peduli. Sebelum pria itu sempat berkata-kata, Debby sudah kembali mencerca, “Benar-benar bukan pria gentle, ya! Apa kamu sadar sekarang ini jam berapa, ha? Sudah nggak bisa mengantar pulang seorang perempuan, sekarang malah minta perempuan lain ke luar rumah tengah malam cuma buat menjemput! Benar-benar, ya!” Debby menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ada jeda sejenak sebelum embusan napas dan suara maskulin kembali terdengar melalui speaker ponsel. “Apa kamu sudah selesai marah-marahnya?”
Debby tertegun mendengar pertanyaan dari seberang ponsel. “Apa?”
“Saya sedang bekerja. Saat ini, Fanny sedang berada di hadapan saya di meja bar,” jelas pria yang mengaku bernama Niel itu dengan nada yang sabar menanggapi tuduhan Debby.
Debby kembali tertegun ketika mencerna informasi yang masuk ke gendang telinganya. “Oh, sial! Maaf,” kata Debby sedikit menyesal sembari mengusap-usap kening dengan tangannya yang bebas. “Maafkan saya,” ulang Debby.
“Tapi … uhm,” lanjut Debby dengan ragu-ragu—bibir mungilnya menjadi sasaran gigitan gigi-giginya yang putih, “memangnya pekerjaanmu nggak bisa ditinggal sebentar?”
Desah napas panjang kembali terdengar. “Sayangnya tidak bisa. Kalau bisa, pasti saya tidak akan merepotkan kamu.” Suara maskulin itu hilang sesaat, hanya terdengar suara hiruk pikuk di latar belakang sebelum akhirnya terdengar kembali. “Baiklah, kalau kamu keberatan ….”
“Oke, oke,” potong Debby cepat, “saya mengerti. Saya akan jemput Fanny. Lebih baik dia pulang sama saya daripada sama kamu! Tolong berikan alamat kalian,” pinta Debby kemudian sambil menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, lalu menurunkan kedua kaki jenjangnya ke lantai. Suara gemerincing dari seuntai rantai emas yang melingkari pergelangan kaki kanan Debby ketika bergerak terdengar cukup jelas di kesunyian malam.
Setelah meraba-raba dan mengenakan sandal rumah, kedua kakinya dilangkahkan ke arah pintu kamar. Tangannya menekan saklar lampu yang berada di samping pintu. Seketika, cahaya terang menyinari kamar tidur berukuran tiga kali empat setengah meter itu. Debby memejamkan mata sejenak untuk menghalau silau, lalu mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatannya.
“Kami di Nath’s Café. Kamu tahu tempatnya?”
“Ah, ya, ya. Saya tahu,” jawab Debby. “Meskipun aku belum pernah masuk ke sana,” imbuhnya dalam hati.
“Oke, saya tunggu kalau begitu. By the way, trims, Debby.”
“Hmm.” Hanya itu respons yang diberikan Debby sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.
Seraya beranjak kembali ke tempat tidur untuk meletakkan ponsel di atas meja kecil, pemilik nama lengkap Debbora Anastasia Asmaredja itu tak henti-hentinya menggerutu, “Sialan kamu, Fan! Kalau bukan sahabat baikku, jangan harap aku mau keluyuran tengah malam begini. Apa sih yang ada di otakmu dengan mabuk?! Sudah berkali-kali kuingatkan, jangan sampai mabuk. Bahaya, tahu!”
Meskipun bibir mungilnya mengerucut dan mengeluarkan gerutuan, Debby tak menghentikan aktivitasnya yang tengah bersiap-siap untuk menjemput Fanny. Setelah mencuci muka sebentar dan mengganti pakaian tidur serta memakai jaket, ia segera mengambil kunci mobil dan dompet dari dalam laci teratas meja kecilnya. Baru dua langkah menjauhi tempat tidur, ia kembali berbalik dan menyambar ponsel di atas meja. Geraman lirih lolos dari bibir mungilnya.
Tiga puluh menit kemudian, Debby telah memarkir mobilnya di lahan parkir Nath’s Café. Namun, ia tak langsung keluar dari mobil SUV cokelat gelap yang ditumpanginya. Ia hanya duduk dengan menggenggam erat setir mobil.
Di area depan kelab malam, masih ada beberapa orang yang berlalu lalang, tetapi tatapan mata sipit Debby hanya terarah pada pintu masuk kelab malam. Beberapa kali, bola matanya bergulir ke kiri dan ke kanan. Sejurus kemudian, kelopak matanya menutup rapat. Kernyitan yang dalam muncul di antara kedua alisnya yang hitam melengkung seperti bulan sabit. Kepalanya dientak-entakkan ke belakang sebelum akhirnya bergoyang dengan cepat ke kiri dan ke kanan. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. Kedua tangannya juga mulai terasa dingin.
“Sial, sial, sial! Ternyata efeknya masih ada,” gumam Debby di antara gelengan kepalanya. Wanita itu berusaha memasukkan oksigen sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. “Please, please, jangan sekarang!”
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen