Bukan Bonekamu Lagi
Malam ketika Adriel diangkat menjadi bos Keluarga Mahendra, aku memberinya keperawananku. Dia adalah pewaris yang sudah dijodohkan denganku bahkan sebelum aku bisa bicara.
Kami berciuman di depan jendela besar yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, tubuh kami saling terjerat dalam panas lembap senja itu.
Sentuhannya yang kasar dan tergesa-gesa membuatku sakit, tapi aku tidak menjauh.
Bahkan rasa sakit itu terasa suci, seperti pengorbanan yang rela aku lakukan demi cinta.
Tenggelam dalam panasnya momen itu, dia berjanji akan memberiku sepasang sepatu kristal paling indah, supaya aku bisa berdansa waltz pembuka bersamanya di upacara penobatannya keesokan hari.
Tarian pertama selalu dipersembahkan untuk bos baru dan calon pengantinnya.
Aku menangis bahagia, yakin bahwa tahun-tahun penantian diam-diamku akhirnya akan berakhir seperti dongeng.
Tapi aku salah. Teramat salah.
Keesokan paginya, aku memaksa tubuhku yang masih nyeri untuk keluar membeli ekspresso kesukaannya. Saat aku kembali, aku mendengar para lelaki bercanda.
"Jadi kamu akhirnya tidur dengannya? Bagaimana rasanya bersama Vivian di malam pertamamu sebagai bos?"
Suara Adriel terdengar malas penuh ejekan. "Wajahnya seperti malaikat, tubuhnya seperti iblis. Di ranjang, dia benar-benar seperti ular kecil yang menggoda."
Ruangan itu langsung riuh oleh siulan-siulan genit. "Jadi, kamu benar-benar akan menikahinya, Bos Muda?"
"Serius kamu pikir begitu?" Adriel mencibir. "Vivian cuma pemanasan. Setelah aku cukup berlatih, aku akan menaklukkan si putri es Keluarga Santoso. Kalau nanti aku bosan, aku selalu bisa kembali padanya dan menikahinya."
Aku berdiri terpaku di ambang pintu, pandanganku mulai kabur, cangkir kopi di tanganku bergetar.
Sebelum dunia gelap di mataku, aku sempat mengirim pesan sandi untuk Bos Indra Wijaya.
[Om Indra, untuk promosi yang akan berlangsung tiga hari lagi, tolong pindahkan aku. Sejauh mungkin dari Adriel.]