Sienna tertawa sinis. “Kau terlalu narsis, Sebastian,” ujarnya sambil memiringkan kepala. “Aku terlalu lelah dan pening untuk berdebat denganmu. Sekarang lepaskan aku.”Sebastian mengendurkan pelukannya perlahan, lalu mundur satu langkah penuh. Ia tidak membantah, tidak memohon. Pria itu benar-benar mendengarkan hari ini.Sienna membalikkan badan, menghindari tatapan pria itu. Ia berjalan ke meja, meletakkan tablet, lalu meraih botol air dan meneguknya beberapa kali.“Aku datang karena ingin mengajak kau makan siang,” ujar Sebastian.“Aku sudah makan,” balas Sienna cepat, suaranya terdengar sedikit ketus.Tapi tepat setelah kalimat itu meluncur, suara keroncongan jelas terdengar dari perutnya. Begitu keras dan jelas, hingga Sienna pun nyaris mematung di tempat.Sebastian mengangkat alis dan tersenyum miring. “Kau bisa berbohong,” katanya sambil menyilangkan tangan di dada. “Tapi perutmu tidak.”Sienna menatap pria itu dengan sorot jengkel, seolah ingin menusuk pria itu dengan pandanga
Suara mesin mobil mendengung pelan di telinga Sienna, berbaur dengan gumaman pelan Joseph yang duduk di kursi belakang. Namun bagi Sienna, dunia seolah terbungkam. Semua suara teredam di balik kepalanya sendiri.‘Kau masih istriku, Sienna! Aku tak pernah menceraikanmu, ingat itu.’Ucapan Sebastian hari itu kembali terngiang di kepalanya. Pria itu mengucapkan kalimat itu dengan nada tinggi, tapi yang paling mengganggu bukan suaranya.Yang paling menghantam adalah kebenaran dalam ucapannya. Fakta yang selama ini ia hindari untuk diakui, bahkan pada dirinya sendiri.Tangan Sienna menggenggam kemudi lebih erat. Jari-jarinya terasa dingin, padahal kabin mobil tidak pernah serendah itu suhunya. Ia menatap lurus ke jalanan yang padat, mencoba fokus, namun pikirannya terus kembali ke tatapan mata Sebastian saat mengucapkan kalimat itu.Tajam. Tegas. Tak terbantahkan.Mereka memang tidak pernah resmi bercerai.Ia yang pergi. Ia yang menghilang. Tapi tidak pernah ada satu pun proses legal yang
Kepala sekolah berdiri sambil merapikan berkas di tangannya. “Mohon maaf,” ucapnya sopan. “Seharusnya saya menyerahkan satu formulir tambahan untuk data siswa baru, tapi tampaknya tertinggal di ruang arsip. Saya akan mengambilnya sebentar.”Sienna dan Sebastian mengangguk hampir bersamaan.Begitu kepala sekolah keluar dari ruangan, keheningan menyergap mereka. Tak ada lagi yang perlu diputuskan. Sienna telah menyetujui pendaftaran Joseph.Namun itu tidak berarti segalanya telah selesai.“Aku tidak menyuruhmu mencampuri urusanku,” ucap Sienna.“Aku tidak mencampuri,” jawab Sebastian pelan. “Aku hanya mengambil bagian yang memang seharusnya menjadi tanggung jawabku.”Sienna memejamkan mata sejenak. Kata-kata Sebastian terlalu masuk akal untuk disangkal.“Aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini,” gumamnya. “Untuk membiarkanmu masuk ke dalam hidup Joseph.”Sebastian menatapnya, kali ini tanpa menginterupsi. Ia membiarkan Sienna berbicara, karena ia tahu, apa pun yang ia katakan sekarang t
“Kau mencintaiku? Omong kosong, Sebastian. Kau pikir aku akan tertipu lagi seperti enam tahun yang lalu?”Suara Sienna nyaring, seperti cambuk yang menghantam udara. Tapi matanya yang basah oleh air mata tidak sekokoh ucapannya.Sebastian tidak menjawab seketika.Ia berdiri diam, hanya menatap wanita di hadapannya—wanita yang telah ia khianati dengan rencana dan kebohongan, tapi juga wanita yang tak pernah berhenti ia cari, ia tunggu, dan ia sesali selama enam tahun terakhir.Tatapan itu membuat Sienna semakin geram. Ia melangkah maju. “Jangan pandangi aku seperti itu. Kau tidak berhak!”Joseph memandang mereka bergantian. Suara ibunya yang meninggi membuat ekspresi wajahnya berubah gelisah. Tangannya melingkar erat di leher Sebastian, seolah takut ayah yang baru ia temukan itu akan menghilang lagi.Namun Sebastian menenangkan bocah itu dengan pelukan ringan. Satu tangan mengusap punggung Joseph, sementara tatapannya tetap tertuju pada Sienna.“Aku tidak akan membela diri,” ucapnya pel
Sienna tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku seolah dunia berhenti berputar. Kata-kata Sebastian menggema di ruangan yang hening.Sebastian melangkah masuk. Satu langkah, dua langkah—tanpa permisi, tanpa aba-aba, tapi dengan tatapan yang tak bisa disangkal bahwa ia menuntut jawaban.Sienna menelan ludah. Napasnya tersendat. Tangannya nyaris terangkat untuk merebut Joseph dari pelukan pria itu, tapi tak jadi.Joseph menoleh ke arah ibunya sambil berseru ceria, “Mommy, aku sudah bilang ‘kan? Aku tahu Daddy akan datang.”Sebastian menunduk sedikit, menatap wajah kecil itu lagi, lalu kembali menatap wanita di hadapannya.“Kenapa, Sienna?” tanyanya lirih dan menusuk. “Kenapa kau pergi?”Sienna menahan napas. Tenggorokannya tercekat. Pandangannya melesak ke mata pria itu—mata yang dulu penuh siasat, penuh kendali, tapi kini hanya menyimpan luka.“Kau pikir aku pergi tanpa alasan?” bisik Sienna getir, matanya tetap menatap Sebastian. “Aku tidak pergi karena aku ingin. Aku pergi karena ak
Sienna menggigit ujung ibu jarinya, matanya terus mengarah ke kaca depan mobil yang mengembun. Hujan tipis masih mengguyur, mengaburkan pandangannya ke gerbang pemakaman di seberang jalan. Mobil yang mereka tumpangi terparkir di balik deretan pepohonan rindang, cukup tersembunyi dari pandangan umum.Ia melirik ke jam tangan. Sudah hampir sepuluh menit sejak Thomas keluar untuk menyusul Joey yang tiba-tiba turun dari mobil.Sienna menggeliat gelisah di kursinya. Tangannya mengepal di pangkuan. “Di mana mereka?” gumamnya lirih.Tiba-tiba, dua sosok muncul di kejauhan, tepat di dekat gerbang pemakaman. Ia segera menegakkan tubuhnya. Meski hujan tipis masih memburamkan kaca, ia mengenali langkah kecil yang berlari tergesa, itu Joey.Di belakangnya, Thomas menyusul dengan wajah panik. Satu tangannya terulur seolah mencoba menahan bocah itu agar tidak berlari lebih jauh.Sienna membuka kunci pintu belakang dari tempat duduknya dengan cepat. Ia tak tahu harus marah atau lega sekarang.Bebera