LOGINCinta tak memilih status, bahkan saat hatimu sudah hancur berkeping-keping. "Aku janda, Kiwi. Punya masa lalu, punya luka. Masih mau jatuh cinta sama aku?" "Aku bukan cari yang sempurna, Melon. Aku cari yang nyata." Kiwi Arsenio—pria mapan, tampan, dan jadi rebutan banyak wanita—jatuh cinta bukan pada wanita muda yang menggoda, tapi pada Melon Zavira, janda satu anak yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah sambil menanam bunga daripada pamer di media sosial. Namun cinta mereka tidak semudah resep smoothie. Masa lalu Melon yang kelam dan keluarga Kiwi yang penuh tuntutan membuat hubungan ini seperti buah yang belum matang—butuh kesabaran, pengorbanan, dan keberanian untuk bisa dinikmati. Mampukah Kiwi bertahan demi cinta yang tak biasa ini? Atau justru Melon yang akan mundur, demi melindungi hati yang pernah retak?
View MorePagi hari di kompleks Tropica Garden biasanya tenang. Tapi hari ini, suasana mendadak kacau gara-gara suara jeritan dari rumah nomor tujuh belas.
“Hei! Siapa yang nyuruh buka pagar rumah ini?! Anjing siapa yang barusan kejar-kejar anak saya?!” Kiwi Arsenio, pemilik baru rumah itu, terlonjak dari dalam garasi sambil membawa kardus rice cooker. Wajahnya penuh kebingungan dan sedikit panik. “Maaf? Ada apa ya?” tanya Kiwi cepat. Seorang wanita berambut cepol acak-acakan berdiri di luar pagar sambil menggendong anak kecil yang menangis kencang. Daster pink bermotif buah naga yang dikenakannya berkibar terkena angin kipas angin portable yang digantung di stroller anaknya. “Anjing! Masuk dari pagar rumah ini dan kejar anak saya yang lagi main sepeda roda tiga! Lalu jatuh, kakinya lecet! Bapak pemilik rumah ini?” suara wanita itu tegas seperti guru BK zaman sekolah. “Eh, iya. Saya Kiwi. Baru pindah pagi ini. Tapi saya belum punya anjing. Bahkan belum sempat kenalan sama tetangga sekitar.” Wanita itu menatap tajam. “Jadi anjing siapa itu? Warnanya cokelat muda, lidahnya panjang, dan pakai kalung warna biru. Dia keluar dari pagar ini. Anak saya trauma sekarang!” Kiwi menoleh ke dalam rumah. Kemudian ia menoleh lagi ke wanita itu dengan ekspresi menyesal. “Mungkin... itu anjing tetangga yang ikut-ikutan pindah? Atau mungkin... nyasar?” “Nyasar? Kalau nyasar, kenapa keluar dari rumah Bapak? Pagar rumah ini terbuka, dan anjing itu keluar dari sini!” Kiwi memandang pagar rumahnya. Benar, terbuka sedikit. Tapi dia yakin tidak pernah membukanya. “Tunggu. Saya baru buka kunci pagi tadi, tapi langsung menutup kembali. Mungkin tukang ekspedisi yang tadi datang?” Wanita itu mendengus. “Ya sudah, kalau begitu nanti saya kirim tagihan salep luka dan susu cokelat buat anak saya.” “Saya bersedia mengganti, sungguh. Tapi... saya belum kenal Ibu. Boleh tahu nama Ibu siapa?” “Melon. Melon Zavira.” Kiwi tercengang. “Melon? Seperti buah itu?” Melon mengangkat alis. “Ada masalah dengan nama saya?” “Tidak, tidak. Justru... unik. Saya suka melon. Maksud saya, buahnya. Eh, maksud saya... ya ampun, saya ngomong apa sih.” Melon mendelik. “Bapak sepertinya belum sarapan. Jadi bicara tidak karuan.” Kiwi nyengir. “Mungkin karena grogi. Jarang-jarang dimarahi ibu-ibu berdaster buah naga.” Melon mendecak. “Kalau Bapak tidak bisa jaga pagar, minimal jaga mulut.” Sepersekian detik kemudian, seekor anjing cokelat muda berlari dari arah rumah seberang dan langsung duduk manis di kaki Melon. Melon menunduk. “Milo? Kamu dari mana?!” Kiwi menahan tawa. “Jadi, ini... anjing Ibu sendiri?” Melon diam sejenak. Matanya berkedip cepat. Anaknya yang tadi menangis, kini malah tertawa melihat Milo menggoyang-goyangkan ekor. “Milo... kabur lagi, ya?” gumam Melon pelan. Kiwi menundukkan kepala sedikit. “Berarti, saya boleh minta maafnya sekarang?” Melon tidak menjawab. Ia menatap Kiwi dari ujung kepala sampai kaki. Lalu dengan suara datar, ia berkata, “Saya malu.” Kiwi tertawa kecil. “Saya sih senang. Akhirnya tahu siapa tetangga heboh saya di kompleks ini.” Melon mengangkat dagu. “Dan saya tahu siapa tetangga yang terlalu tampan untuk punya rice cooker di kardus.” Kiwi tersenyum lebar. “Jadi kita imbang, ya?” Melon membalik badan. “Besok, pastikan pagar rumah Bapak benar-benar tertutup.” “Siap, Bu Melon. Saya juga akan pastikan Milo tidak menyamar jadi anjing misterius lagi.” Dan sejak saat itu, Kiwi yakin: pindah ke rumah itu bukan sekadar takdir biasa. Ada janda berdaster buah naga yang akan mengubah segalanya. Satu jam setelah insiden anjing dan rice cooker, Kiwi memutuskan untuk jalan-jalan kecil keliling kompleks. Selain untuk cari udara segar, dia juga berharap tidak bertemu lagi dengan Melon dalam waktu dekat. Harga dirinya baru saja dibanting oleh seekor anjing bernama Milo. Namun harapan tinggal harapan. Baru belok di tikungan, Kiwi nyaris tabrakan dengan seseorang yang sedang jongkok di depan pot bunga sambil mengangkat selang air. “Maaf! Saya nggak lihat!” seru Kiwi cepat sambil menahan diri agar tidak menginjak kaktus hias yang berdiri gagah di depan kaki wanita itu. Melon mendongak pelan. Kali ini, dasternya berganti. Sekarang motif semangka. Lengkap dengan bijinya. “Lagi-lagi Bapak?” tanya Melon tanpa ekspresi. Kiwi mengangkat kedua tangannya. “Saya cuma mau jalan-jalan. Sungguh, bukan niat stalking.” “Siapa yang bilang Bapak stalking?” Melon berdiri sambil menepuk-nepuk lututnya. “Saya malah curiga, jangan-jangan rumah Bapak sebenarnya penuh kamera tersembunyi.” “Kalau iya, saya pasti tahu lebih dulu bahwa Ibu punya koleksi daster buah yang sangat... konsisten.” Melon mendecak. “Komentar soal daster tidak membuat saya terkesan, Pak Kiwi.” Kiwi tertawa. “Jangan-jangan Ibu memang menyiapkan satu daster untuk setiap buah yang ada di minimarket.” “Memangnya kenapa? Saya suka buah, suka motifnya, dan suka harga diskonnya.” Kiwi mengangguk-angguk. “Berarti kalau suatu hari saya lihat Ibu pakai daster durian, saya harus ekstra hati-hati.” Melon menyipitkan mata. “Bapak bisa saja kena tusuk lidi dari semangka ini.” “Tunggu, memang semangka pakai lidi?” “Kalau semangka ini dari saya, bisa.” Kiwi terdiam. Lalu tertawa kecil. “Ibu termasuk kategori wanita yang tidak bisa ditebak, ya.” “Tentu saja. Saya sudah janda, punya anak, dan tetap bisa bikin pria tampan kehilangan kata-kata di tengah jalan kompleks.” Kiwi tertawa lebih keras. “Aduh. Tolong, Bu Melon. Saya menyerah.” Tiba-tiba, anak Melon—si kecil yang tadi menangis—berlari dari arah rumah sambil membawa sepeda kecilnya. Ia berhenti tepat di samping Kiwi, lalu memandang pria itu lama sekali. “Om... tadi Om bikin aku jatuh ya?” Kiwi langsung jongkok. “Wah, enggak dong. Om malah pengin minta maaf karena Om enggak bisa tangkap anjing nakal itu.” Anak itu menatap Kiwi lama. “Namaku Jeruk.” Kiwi melongo. “Jeruk?” Melon menjawab dari belakang. “Nama lengkapnya Jeruk Valencia Zafiero. Masalah?” Kiwi berdiri perlahan. “Tidak, tidak. Sama sekali tidak masalah. Saya suka jeruk. Sangat.” Jeruk tersenyum. “Kalau Om suka buah, berarti cocok main ke rumah kami. Ibu punya banyak daster buah juga.” Melon langsung menepuk dahinya. “Jeruk... ayo masuk.” “Tapi aku suka Om Kiwi.” Kiwi tersenyum senang. “Saya juga suka kamu, Jeruk.” Melon menarik napas panjang. “Om Kiwi, tolong jangan racuni anak saya dengan pesona palsu.” Kiwi tertawa. “Kalau pesona ini palsu, berarti saya perlu izin khusus buat datang besok dengan buah tangan.” Melon diam sejenak. Lalu berkata, “Boleh saja. Asal buahnya asli, bukan modus.” Kiwi mengangguk mantap. “Janji. Nanti saya bawakan... melon.” Melon memutar bola mata. Jeruk tertawa keras. Dan pagi yang kacau itu berubah menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika—mungkin cinta, mungkin bencana. Tapi yang pasti, tidak ada yang bisa menolak pesona seorang janda berdaster semangka.Pagi hari.Matahari baru merayap naik ketika suara ketukan lembut terdengar di pintu rumah Melon. Ia sedang menyiapkan sarapan Jeruk di dapur — roti panggang kesukaan anak itu — saat suara itu membuat tubuhnya menegang.Jeruk yang duduk di kursi kecilnya langsung menegakkan tubuh. “Mama, ada orang?” tanyanya polos.Melon mengusap kepala Jeruk cepat. “Iya, sayang. Mama cek dulu.”Langkah Melon pelan, nyaris ragu, sampai akhirnya ia membuka pintu.Dan di sanalah Kiwi berdiri.Dengan hoodie abu-abu, rambut sedikit berantakan, dan mata yang terlihat kurang tidur. Kiwi menelan ludah ketika tatapannya bertemu tatapan Melon—canggung, kaget, dan sedikit gugup. Udara pagi yang dingin tidak mampu mengalahkan rasa hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya.“Kiwi…” Melon hampir berbisik.“Aku… cuma mau lihat Jeruk,” jawab Kiwi pelan, suaranya serak seolah ia sendiri belum yakin berdiri di situ.Sebelum Melon sempat berkata apa pun, suara kecil meluncur dari ruang tengah.“Kiwi!!!”Jeruk berlari sece
Sore itu, cahaya matahari menembus kaca besar toko buku, memantulkan warna keemasan di lantai kayu. Suasana tenang—hanya ada suara lembut halaman yang dibalik dan tawa kecil Jeruk di pojok ruangan. Melon sedang menyusun buku-buku baru di rak tengah ketika Pak Bram datang menghampiri sambil membawa selembar kertas.“Bu Melon, ini daftar buku yang baru masuk minggu depan. Kalau mau, kamu bantu pilih mana yang cocok ditaruh di rak depan,” ujarnya.Melon menerima kertas itu. “Boleh, Pak. Saya senang bisa bantu.”Pak Bram tersenyum, lalu beranjak ke ruang belakang. Melon menatap daftar buku itu lama, memperhatikan judul-judulnya: kisah keluarga, perjalanan hidup, tentang orang-orang yang bangkit dari kehilangan. Tanpa sadar, senyum kecil terbit di wajahnya. “Lucu ya,” gumamnya pelan. “Buku pun kadang tahu apa yang kita butuh baca.”“Kalimat yang bagus,” suara tiba-tiba terdengar di belakangnya.Melon menoleh. Seorang pria berdiri di dekat rak. Wajahnya tenang, berusia sekitar akhir tiga pu
Malam makin larut, tapi suasana di teras rumah Melon terasa tenang. Angin lembut mengusap kulit, membawa aroma hujan yang tertinggal di dedaunan. Di tangannya, secangkir teh yang sudah mulai dingin, tapi rasanya tetap menenangkan. Lampu-lampu jalan menyorot lembut, membuat bayangan pohon bergerak pelan di dinding rumah.“Masih bangun aja?” suara familiar terdengar dari pagar. Aruna datang membawa dua gelas plastik berisi kopi susu dingin. “Kupikir kamu udah tidur, tapi lampu terasnya nyala terus.”Melon menoleh dan tersenyum. “Kamu nggak pernah gagal baca situasi, ya? Ayo masuk. Duduk sini.”Aruna membuka pagar kecil dan duduk di kursi rotan di sebelah Melon. “Aku tadi lewat depan toko buku yang kamu ceritain. Tempatnya lucu, ya. Klasik, tapi nyaman.”“Iya,” jawab Melon pelan. “Aku dan Jeruk betah di sana. Entah kenapa, tempat kayak gitu selalu bikin aku tenang.”Aruna menatapnya sekilas. “Tenang setelah drama pagi itu, maksudmu?”Melon tersenyum samar. “Hmm. Mungkin iya. Mungkin juga
Siang mulai merambat ketika Melon dan Jeruk tiba di rumah. Matahari menyinari halaman depan, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Melon membuka pintu rumah dengan perasaan yang entah kenapa lebih ringan dari biasanya.Jeruk bergegas ke ruang tamu, meletakkan pensil warna dan buku gambarnya di meja besar. “Bu, aku gambar adegan ibu dan aku yang lagi ke toko buku, ya!”Melon tersenyum kecil. “Hmm. Coba tambahin juga satu tokoh laki-laki pakai mobil biru di belakang. Biar ceritanya lebih dramatis.”Jeruk mengerling. “Yang mukanya lagi nyesel, gitu?”“Pintar.”Jeruk terkikik sebelum duduk bersila dan mulai menggambar. Sementara itu, Melon membuka pintu kaca dapur, membiarkan udara siang masuk. Ia menyeduh teh chamomile, aroma hangatnya membungkus dapur seperti pelukan lembut.Ponselnya bergetar. Kali ini, bukan dari grup wali murid. Sebuah pesan masuk dari nomor yang ia hapal tapi berusaha untuk dilupakan.Kiwi:Aku ngerti kamu nggak mau diganggu. Tapi ka












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews