“Dengan seberapa liar kau malam itu. Bagaimana kalau nanti kau hamil anakku, Sienna Hart?” Sienna Hart hanya ingin lari dari perjodohan menjijikan dengan duda tua kaya raya yang dirancang keluarganya. Tapi pelariannya justru berakhir di ranjang pria asing. Seminggu kemudian, pria itu muncul lagi. Dia adalah Sebastian Dellier. CEO dingin yang yakin telah meninggalkan benihnya di tubuh Sienna. Dan Sebastian menuntut pernikahan. Terjebak di antara dua pilihan, Sienna harus memilih. Tunduk pada keluarga yang menjualnya, atau mengikuti hasrat yang datang dari Sebastian?
もっと見るCahaya remang bar hotel memantul di mata Sienna Hart saat ia menenggak sisa minumannya. Kepalanya terasa berat, dunia seakan bergoyang pelan, tapi itu tak cukup untuk menghapus sesak yang menyelubungi dadanya.
Sienna menatap getir gelas di hadapannya, lalu menertawakan dirinya sendiri. “Aku dijual,” gumamnya miris.
Tanpa suara, Sienna meletakkan gelasnya ke meja. Sudah lama ia terpenjara dalam keluarganya sendiri. Sekarang, semua yang ada dalam dirinya berteriak untuk minta dibebaskan.
Di sebelahnya, seorang pria duduk dengan wajah tertunduk dan tampak gelisah. Sienna menoleh sekilas, berusaha menahan komentar sinis yang ingin keluar dari bibirnya. Saat ia hampir mengangkat tangan memanggil bartender, tangan hangat pria itu menyentuh pipinya dengan lancang.
“Hei—” desis Sienna marah.
Pria itu memandang Sienna dengan intens, wajahnya tampan dengan mata sebiru lautan. Untuk sesaat, Sienna hampir lupa diri. Wajah pria itu seperti dipahat sempurna, seperti mahakarya yang dibuat untuk menunjukkan kekuasaan dan kekuatan yang tak terhindarkan.
Sienna hendak menepis tangan pria itu dari pipinya, namun pria itu tak memberinya waktu. Dalam sekejap, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan menggairahkan.
Sienna sempat memukul dada pria itu dengan lemah, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk mengeluarkan lebih banyak tenaga. Malam ini, dia hanya ingin melepaskan segalanya.
Di sela napas yang tersengal, Sienna bergumam serak, “Kau sudah gila?! Siapa bilang kau boleh menciumku?!”
Pria itu mendesis pelan, mata birunya penuh dengan nafsu yang membara. “Kalau kau mau, aku akan berhenti,” balasnya. Wajahnya memerah, dipenuhi hasrat yang tak terbendung.
Sienna menggigit bibir bawahnya, matanya beradu pandang dengan pria itu sejenak. Dan akhirnya, ia menyerah.
Ciuman mereka kembali menyala, kali ini lebih liar, lebih tak terkendali. Di antara napas yang memburu dan desir hasrat yang membuncah, mereka bangkit dari kursi dan melangkah cepat menuju lift.
Di sana, Sienna bersandar di dinding dan tertawa kecil saat pria itu kembali mencumbunya.
Desahan tertahannya berubah menjadi keluhan lirih. Ia bisa saja mendorong pria itu pergi. Tapi tubuhnya lebih tahu dari pikirannya sendiri.
Pintu kamar terbuka.
Sienna didorong perlahan ke dinding, mata hazelnya seolah berteriak saat jari-jari panjang itu berhasil menemukan ritsleting gaunnya. Saat akhirnya kain sutra itu jatuh ke lantai, Sienna refleks menutup mata.
“Kita tidak akan melakukannya jika kau tidak mau.” Pria itu berbisik di telinga Sienna. Tangannya membelai punggung Sienna, membangkitkan desahan pelan dari bibir wanita itu. “Tapi, kau harus segera pergi karena aku tidak bisa menahannya lebih lama.”
Sienna membuka mata, lalu tertawa miris. “Aku dijual. Untuk perusahaan. Untuk angka di rekening bank. Jadi, untuk apa berhenti sekarang? Cepat atau lambat, kekacauan juga akan datang,” sahutnya lirih.
Sejenak, pria itu menatap Sienna dalam diam sebelum akhirnya mengangkat tubuh Sienna dengan mudah dan membawanya ke ranjang besar.
Sienna meremas seprai saat pria itu menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan bibirnya yang hangat. Mata Sienna kembali tertutup saat tangan terampil itu melepaskan pakaian terakhir yang masih menempel di tubuhnya.
Lalu kemudian, tubuh mereka bertemu.
“Ahhh …!” Sienna merasa tubuhnya seperti dirobek menjadi dua.
Saat tubuhnya melengkung di bawah sentuhan pria itu, Sienna mengeluarkan erangan tertahan, dan setetes air mata jatuh di sudut matanya.
Namun, hasrat yang tak tertahan membuatnya segera terbiasa. Setiap ciuman, setiap sentuhan pria itu, seolah mengikis kewarasan Sienna.
Sienna memeluk pria itu lebih erat. “Jangan berhenti. Tolong ….”
***
Keesokan paginya, Sienna membuka matanya perlahan. Dunia terasa berputar, kepalanya berat seperti dipukul palu. Butuh beberapa detik bagi Sienna untuk sadar dia tidak berada di kamarnya sendiri.
Kamar hotel. Seprai putih. Dan … aroma seorang pria.
Sienna mengerjap bingung sebelum akhirnya menyadari satu hal. Ia telanjang! Seprai menutupi tubuhnya seadanya, dan di sampingnya, tempat tidur itu kosong.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya lipatan selimut yang berantakan.
Sienna menelan ludah, tenggorokannya terasa begitu kering. Tangannya meremas seprai sambil mencoba mengingat. Tapi pikirannya kosong, dan rasa nyeri samar terus menghantui bagian sensitifnya.
“Astaga. Apa yang kulakukan?!” erangnya pelan.
Sienna perlahan duduk. Dan kepalanya berdenyut makin keras. Ia tak pernah mengira dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini.
Ini bukan dirinya. Ia bukan tipe yang akan mabuk-mabukan sampai hilang kendali. Tapi tadi malam—
“Argh! Aku tidak pernah kehilangan kendali seperti ini. Bahkan saat hidupku dikendalikan seperti boneka.”
Sienna mengusap wajahnya dengan kasar, berharap hal itu bisa menghapus semuanya. Namun saat suara lirih seorang pria terdengar dari arah kamar mandi, tubuhnya langsung menegang.
“...tentang perjodohan...”
Napas Sienna tercekat seketika. Otaknya yang masih kabur berusaha memahami. Tanpa pikir panjang, ia melompat turun dari ranjang, buru-buru memungut pakaiannya yang tercecer di lantai.
Dengan tangan gemetar, ia mengenakan gaun tipis itu seadanya, bahkan tidak peduli ritsletingnya tidak tertutup sempurna.
Ia harus pergi. Sekarang.
Sienna hampir tersandung sepatunya sendiri saat membuka pintu dan berlari keluar.
Lift di ujung lorong berdenting. Ia menekan tombol sekuat tenaga dan bergegas masuk begitu pintu terbuka.
Di dalam lift, ia bersandar lemas ke dinding, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Potongan-potongan ingatan mulai bermunculan meski sepotong-sepotong.
Sentuhan panas di punggungnya.
Desahan tertahan di telinganya.
Lalu tangannya sendiri yang menarik pria itu lebih dekat.
Dan...
Kalimat itu.
‘Jangan berhenti. Tolong.’
Sienna mencengkeram rambutnya dengan kuat, berusaha menahan gejolak di dadanya yang hampir tak tertahankan. “Rasanya ingin menghilang saja dari muka bumi,” erangnya frustasi.
Bunyi dentingan lift membawanya kembali ke kenyataan.
Sienna menarik napas panjang, lalu memberanikan diri untuk melangkah keluar meski kakinya terasa seperti dicengkeram dengan dua buah pemberat.
Beberapa saat kemudian, Sienna tiba di kediaman keluarga Hart dengan wajah kusut dan langkah gontai. Ia nyaris tak peduli pada penampilannya saat turun dari taksi dan memasuki rumah besar itu.
Sienne terpaku saat sebuah suara menyambut kedatangannya.
“Dari mana? Penampilanmu seperti orang yang baru saja jual diri.”
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,
Beberapa hari kemudian,Di sebuah ballroom hotel berbintang yang megah, para elit dunia bisnis berkumpul dalam balutan gaun mewah dan tuksedo. Pesta malam itu bukan sekadar perayaan biasa, melainkan New York Philanthropy Business Awards, ajang tahunan paling prestisius bagi para tokoh bisnis berpengaruh.Pelayan-pelayan berseliweran dengan baki sampanye dan canape di tangan.Sienna berdiri di sisi ruangan. Gaun satin merah gelap membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, dan mata hazelnya terus mengamati suasana dengan campuran gugup dan tak nyaman.Thomas, pria yang bersamanya malam ini, berbisik pelan di telinganya. “Aku ke toilet sebentar. Kau baik-baik saja di sini?”Sienna mengangguk. “Ya. Ambil waktumu.”Thomas tersenyum hangat, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan kerumunan.Sienna menarik napas perlahan. Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan yang melintas dan menyentuhkan bibirnya ke gelas itu. Ia tidak sadar bahwa seseorang telah berdiri terlalu dekat.
Sienna membuka matanya perlahan, menatap pria di hadapannya dengan campuran malu dan tak percaya.“Aku menciummu hanya untuk membuat Arel pergi,” ucapnya, berusaha terdengar tegas meski napasnya masih belum stabil.Sebastian terkekeh pelan. “Misi berhasil, kalau begitu. Tapi efek sampingnya… luar biasa.”Sienna memutar bola matanya. “Lepaskan aku sekarang.”“Kenapa? Aku mulai merasa posisi ini sangat nyaman,” gumam Sebastian sambil mempererat pelukannya.“Kau sedang duduk di sofa… dengan aku di pangkuanmu. Itu tidak normal untuk percakapan biasa, Sebastian.”“Siapa bilang kita akan membicarakan percakapan biasa?” bisik Sebastian sambil menyentuh ujung hidung Sienna dengan hidungnya sendiri. “Kau memanggilku ‘suami’ di depan pria lain. Itu luar biasa seksi, tahu?”Sienna mendesah frustasi, tapi tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau benar-benar menyebalkan.”“Dan kau benar-benar memancing,” balas Sebastian ringan. “Jadi… bagaimana kalau kita lanjutkan permainan ‘situasi’ i
Begitu Sienna tiba di depan galeri, langkahnya melambat. Seorang pria berdiri di sisi pintu kaca, mengenakan coat panjang dan syal tipis. Rambutnya sedikit acak, dan senyumnya mengembang saat melihatnya.“Arel?” gumam Sienna.Mata pria itu berbinar terang, seolah dunia belum memberikan cukup tamparan pada Sienna barusan.Sienna menghela napas, panjang dan berat. Suasana hatinya sudah remuk sejak percakapan di restoran. Dan kini, Arel berdiri di hadapannya, seperti babak tambahan yang tidak ia minta.“Kau datang lagi,” ucap Sienna, dingin dan tak menyembunyikan rasa lelahnya.Arel melangkah mendekat. “Aku ingin mengajakmu makan malam malam ini.”Sienna mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya dengan suara rendah namun tajam.Arel terlihat sedikit bingung. “Karena aku merindukanmu, Sea.”Sienna meneguk ludah dengan berat. Mungkin kata-kata itu akan membuat jantungnya berdebar jika Arel mengucapkannya bertahun-tahun lalu. Tapi sekarang, kalimat itu justru terdengar konyol di telinganya.“K
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント