“Halo?”
Suara laki-laki di ujung sana membuat jantung Naya melonjak. “Ma—maaf, ini… aku Naya, perempuan yang tadi pagi ditabrak... maksudnya… bukan ditabrak... diserempet, Pak.” Derren langsung terdiam sejenak. “Oh. Iya, saya ingat. Ada apa?” Naya menarik napas dalam, menahan gemetar. “Saya... butuh pekerjaan. Tolong... saya siap kerja apapun. Saya beneran butuh bantuan.” Suaranya nyaris pecah. Rintihan pelan itu membuat dada Derren terasa berat. "Tapi, sebelumnya kamu bilang kamu tidak butuh dikasihani bukan? So, what's this?" "Aku nggak minta dikasihani, aku minta diuji. Kasih aku kerja, dan nilai sendiri aku layak atau nggak.” Naya tersadar. "Ma-maaf kalau aku berlebihan." "No no no! Itu luarbiasa! You know, I like you!!" "Maksudnya, Pak?" “Oke... kamu butuh pekerjaan ya? Fine! Datang ke kantor saya besok jam sembilan pagi. Saya akan carikan posisi yang bisa kamu isi dan kamu akan langsung diwawancarai. Gimana? You like it?" Naya nyaris nggak percaya. “I-ini seriusan?" "Ya, ini serius!" "Kalau begitu terima kasih... terima kasih banyak, Pak. Saya nggak tahu harus bilang apa lagi.” "Alamat kantor saya ada di kartu itu. Kamu lihat saja dan segera ke sana besok! Saya tunggu kedatangan kamu." "Baik, Pak! Terimakasih ya, Pak!" "Ya, sama-sama. Oh iya luka kamu sudah diobati?" "Sudah, Pak!" "Bagus, kalau begitu sampai ketemu besok!" "Baik, Pak!" Setelah menutup telepon, Naya langsung masuk dan menggoyang pelan tubuh ibunya yang terbaring lemah di kasur. Ibunya masih trauma atas kejadian siang tadi. “Bu..." Ibunya membuka mata, "Naya? Ada apa, Sayang?" "Bu... Naya senang. Naya ada kesempatan, Bu." "Kesempatan? Apa maksudnya, Sayang?" "Aku dapat kerjaan. Besok aku akan diwawancara!” "Apa? Seriusan? Kamu lamar dimana, Sayang. Kok Ibu gak tau?" "Iya, Bu! Ada orang baik yang ngasih kerjaan. Aku ketemu orang ini tadi pas nganterin Rendi ke sekolah, Bu." “Oh ya? Alhamdulillah, Nak. Kebaikan itu memang akan selalu ada bagi siapapun. Termasuk kamu. Semoga orang yang memberi kamu kesempatan ini selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa." "Amin," ucap Naya sambil memeluk Ibunya erat. *** Sementara itu, di sisi lain kota, di sebuah kantor mewah… Adrian tengah fokus mengerjakan laporan yang menumpuk di depannya. Wajahnya lelah, tapi matanya masih tajam menatap layar laptop di depannya. Tangannya sibuk mengetik, hingga suara ketukan pelan membuatnya mengangkat wajah. Pintu terbuka. Luna masuk dengan setumpuk berkas di tangan. “Selamat malam, Tampan-, eh maksud saya, Pak!" Luna tampak sengaja. "Ini, saya bawa laporan dari bagian finance, Pak,” ucap Luna sambil berjalan genit ke arahnya. "Kamu jangan keterlaluan!" Adrian melotot ke Luna. "Jangan tiba-tiba masuk nyelonong begitu aja di ruangan saya!" "Ups! Siap, Pak!" Luna menghormat, "Saya akan lebih sopan lagi ke Bapak." Ia melontarkan senyum genitnya ke Adrian. "Letakkan di sini!" tunjuk Adrian. "Duh, Bapak... saya minta maaf ya udah buat Bapak jadi greget sama saya. Tapi tampang Bapak nggak berubah kok kalau marah. Masih tampan, rawr!" goda Luna dengan wajah memelas sambil mengibaskan rambutnya. Adrian tak menghiraukannya lagi. Ia fokus pada apa yang tengah ia kerjakan. Ketika meletakkan berkasnya di atas meja Adrian, tangan mereka bersentuhan. Sentuhan yang sebenarnya biasa… tapi Luna dengan sengaja mengelus jemari Adrian. Pelan. Panas. "Pak..." Luna menggigit bibirnya sambil menggoyangkan tubuhnya dengan lembut. "Pak, Rian..." Adrian langsung menarik tangannya cepat-cepat. “Jaga sikapmu, Luna. Ini kantor.” Luna malah tertawa kecil. “Santai aja, Pak. Saya cuma bantu... bikin malam Bapak nggak terlalu tegang, kok.” Ia lalu berjalan ke sofa, duduk santai, lalu menggoyang-goyangkan kaki jenjangnya. “Aduh... panas ya di sini. AC-nya mati, ya?” katanya sambil membuka blazer-nya perlahan. Kini, Luna hanya mengenakan tanktop ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya jelas. Ia menyilangkan kaki, matanya menatap tajam ke arah Adrian. "Ah! Panas!" desah Luna bagai menggoda. Ia memegangi buah dadanya. "Pak..." Adrian memalingkan wajah. “Luna. Keluar.” Luna tersenyum, “Yakin, Pak? Nggak pengen saya bantu relaksasi dikit?” bisiknya, menggoda, dengan senyum menggantung di bibirnya. "Bapak tuh udah capek seharian kerja, kan?" Adrian berdiri, wajahnya memerah karena emosi. “Keluar, sebelum saya beneran marah!” Tapi Luna hanya menatapnya… makin dalam. Tersenyum tipis. "Bapak..." "KELUAR!" nada Adrian naik satu oktaf. Luna berdiri pelan, mendekat, dan berbisik ke telinganya... “Pak, jangan terlalu memaksakan diri!" bisiknya. Lalu ia pergi… meninggalkan aroma parfum mahal yang menusuk… dan kode mata yang sempat ia lontarkan ke Adrian bersamaan dengan senyuman licik dari wajahnya. Setelah ia benar-benar pergi, Adrian mengusap wajahnya keras-keras. Frustasi. "Shit!" *** Keesokan harinya... Cahaya pagi menelusup lewat jendela retak apartemen. Naya berdiri di depan cermin kecil yang terpasang seadanya di dinding. Tangannya gemetar merapikan rambutnya. Kakinya masih sedikit perih bekas serempetan mobil kemarin, tapi ia tetap tersenyum kecil melihat bayangannya. Hari ini... mungkin adalah awal baru. Ia keluar kamar, dan mendapati Ibunya sedang menyiapkan sarapan seadanya—hanya dua lembar roti bakar dan teh panas. Rendi duduk diam, wajahnya sedikit lesu. “Bu, aku berangkat dulu ya,” ucap Naya lembut, memeluk Ibunya. "Doakan semuanya lancar." Sang ibu membalas pelukan itu erat, walau tubuhnya sedikit goyah karena batuk yang belum reda. “Iya, hati-hati, Nak. Jangan terlalu berharap... tapi juga jangan menyerah,” bisik ibunya sambil mengelus punggung putrinya. "Doa Ibu akan selalu ada bersamamu." Naya mengangguk, tak sanggup berkata. Ia tak ingin menangis di depan ibunya. Rendi menatap kakaknya dari sudut meja, seakan ingin bicara, tapi lidahnya kelu. “Ren? Ada apa?" tanya Naya. "Aku... aku malu ke sekolah, Kak." "Lho, malu kenapa?" "Aku malu karena cuma aku yang nggak ikut praktek. Terus, sepatu aku..." Naya menghela napasnya. "Dek, its oke! Kalau kamu nggak bisa ikut praktek, bukan berarti kamu gagal. Kamu harus kuat, kamu kan anak cowok." "Iya, Kak, tapi..." "Kakak janji, Kakak-" Bersambung...