"Kakak bakal ingkar lagi?" potong Rendi.
Naya terdiam. "Rendi!" tegur Ibunya lembut. "Nggak apa-apa, Bu!" jawab Naya. Naya memegang bahu adiknya itu. "Percaya sama Kakak. Kali ini Kakak akan bantu kamu. Semester depan, kamu bakal bisa ikut praktek bahkan punya sepatu baru,” ujar Naya, menenangkan hati adiknya. "Ya!" Rendi perlahan tersenyum. "Kakak janji?" "Kakak selalu berjanji!" "Terimakasih, Kak!" Ibunya ikut tersenyum kecil. Mereka berpelukan. *** Naya berdiri terpaku di depan gedung menjulang—Hartawan Corp. Logo emas di atas pintu berkilau ditimpa matahari pagi. Ia menelan ludah. Ini... terlalu mewah untuk dirinya. Seorang satpam menghampirinya, memperhatikan pakaian Naya yang sederhana. “Bisa saya bantu, Mbak?” “Eh, Pak... saya... saya diundang oleh Pak Derren. Ini kartu namanya.” "Pak Derren? Direktur marketing?" Satpam memeriksa kartu itu. Lalu dengan senyum kecil yang sopan, ia memberi kode pada resepsionis dan membawa Naya masuk. "Semoga beruntung!" ucap satpam itu sesaat sebelum Naya pergi. Naya membalas senyum. Langkah-langkah Naya terdengar gemetar, lantai marmer itu seperti membisikkan bahwa dia bukan bagian dari tempat ini. Sampai akhirnya dia tiba di depan sebuah pintu kaca buram bertuliskan Derren Wibisono – marketing director. Ngetok pelan. “Come in,” suara berat itu terdengar dari dalam. Naya membuka pintu dan langsung disambut senyuman khas Derren yang sedang duduk santai di belakang meja besar. Jasnya menggantung di belakang, kemejanya masih terbuka satu kancing. “Naya ya? Silahkan duduk!" ucapnya sambil menunjuk kursi di depannya. "Gimana? Kamu baik-baik aja?" Naya mengangguk, "Ya, Pak. Saya baik-baik aja." "Luka kamu?" "Udah lebih baik kok, Pak." "Oke, good!" Naya duduk, membenahi duduknya dengan elegan. “Sebelumnya, terima kasih sudah memberi saya kesempatan, Pak.” “Ya kamu adalah orang yang tepat menurut saya. Walau pertemuan kita agak sedikit jelek," jawab Derren sambil membuka berkas. “Tapi jujur saya penasaran dengan sosok seperti kamu.” Naya tersenyum. "Oh iya, omong-omong ada masalah apa? Sepertinya kamu butuh pekerjaan ini tiba-tiba. Apakah sebelumnya kamu gak kerja?" "Sebenarnya, saya bekerja di pabrik tekstil, Pak. Tapi karena perusahaannya bangkrut, kami semua diPHK, Pak." "Ah, begitu." Naya menatap lurus. “Dan saya butuh pekerjaan ini juga karena saya ingin hidup saya berubah. Dan saya yakin, perubahan tidak datang jika kita tidak melangkah.” Derren mengangkat alis. “Wow, that’s deep.” Sebelum Derren lanjut, pintu terbuka begitu saja—asistennya yang kemarin muncul dengan baju ketat dan wangi menyengat. “Sayang~” katanya manja sambil berjalan menuju Derren. "Eh, ada tamu?" Asistennya itu dengan ganas langsung melingkarkan tangannya di leher Derren, lalu mengecup pipinya. Naya diam. Matanya menunduk sopan. Si asisten menoleh dan langsung menyipitkan mata. “Eh, lo lagi? Kirain udah tobat,” celetuknya dengan suara sinis. "Ngapain lo di sini?" “Dia bakal kerja di sini,” kata Derren cepat, berusaha tetap tenang. Sarah tertawa mengejek. “Apa? Kerja?" Sarah segera berjalan menuju Naya sambil mengelilinginya. " Kerjaan apa yang cocok untuk orang miskin, bodoh dan Kumal kayak lo?" "SARAH!" tegur Derren. "Apa? Gua benar kan?" Sarah memainkan rambut Naya bagai mengolok-oloknya. "Emangnya kamu kasih kerjaan apa ke dia? Tukang service AC? Atau tukang cat? Atau tukas pembersih kamar mandi?" "Dia bakal jadi staf administrasi tingkat 3." "Apa? Jadi admin? Tch, yang bener aja, ini bukan tempat buat cewek jalanan kayak dia, Sayang." “Dia punya kemampuan,” Derren membalas pelan. “Kalau mau masukin dia, ya jangan langsung jadiin posisi itu lah. Emangnya kamu tau darimana si kumuh ini punya kemampuan?" "Aku bisa tau." "Jangan buat aku curiga, Sayang!" Sarah murung. Derren terlihat tak berkutik. "Kalau emang dia bener-bener kerja di sini, suruh aja dia kerja bersih-bersih lantai. Atau paling enggak, antar kopi ke meja gue,” kata Sarah, tersenyum puas. "Jadi OB cocok buat dia." Naya masih diam. Matanya tetap tenang, tapi tangannya mengepal. Derren tidak bicara lagi. "Oke, sudah jelas, kan?" ucap Sarah sambil melotot ke Naya. "Sudah, Bu!" "What? Ibu? Panggil gua, Nona!" "Baik, Nona." "Good! Mulai sekarang lo diperbolehkan bekerja. Udah, sana, PEMBANTU!" "Sar?" "Apa? Aku benar, kan?" "Heh, ngapain masih di situ?" tegur Sarah ke Naya. "Udah, sana, syuh!" Naya mengangguk, berdiri hendak berlalu. "Lo itu berlebihan, Sayang," ucap Derren namun sambil tersenyum. Tanpa aba-aba, Sarah menaiki Derren. "Shuutt... biar gua tunjukin apa yang berlebihan." Sarah mengecup leher Derren. "Sayang, not now! Gua masih ada kerjaan," Derren berusaha menolak. "Mau atau enggak nih?" Sarah berhenti. Derren diam sejenak, berpikir. "Fuck you!" ucap Derren sambil memasukkan tangannya ke dalam baju Sarah. Ia meremas-remas buah dada Sarah dengan lembut. "Ah, come on, baby!" Sarah menggila. Ia membuka resleting celana Derren lalu melakukan tugasnya. Mereka larut dalam keintiman. "Ah... oah... ah! Lebih kencang!" Bersambung...Di dalam ballroom utama Mansion HartawanAcara gala tengah berlangsung megah. Di sekeliling ruangan, berjejer meja-meja bulat dengan taplak putih dan lilin tinggi menyala, diiringi alunan musik klasik dari orkestra live. Di tengah panggung, Kakek Tohari berdiri dengan gagah, memberikan sambutan kepada keluarga besar dan tamu kehormatan.> “Malam ini bukan hanya ajang silaturahmi, tapi bentuk kepedulian kita,” ujar Kakek Tohari dengan suara mantap. “Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, rumah sakit, hingga lembaga sosial di bawah yayasan keluarga Hartawan. Karena... kekayaan yang sesungguhnya adalah bisa memberi manfaat.”Semua orang bertepuk tangan sopan.Tapi Adrian hanya duduk kaku di kursinya. Di sisi kirinya, Luna semakin agresif: tangannya mencoba meraba jari Adrian, sesekali menyenderkan tubuh. Namun Adrian berusaha tetap formal, menjaga postur tubuh dan memasang wajah dingin.> “Adrian,” bisik Luna sambil tersenyum, “malam ini indah banget ya... Kita co
Adrian masih berdiri di tengah lobby kosong, menatap ke arah lorong panjang dengan ekspresi yang semakin tegang.Tangannya terkepal di sisi tubuh, napasnya berat.Di saat pikirannya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan buruk soal Naya, suara hak tinggi berdetak-detak mendekat."Tuk...tuk...tuk..."Adrian menoleh dengan refleks.Muncullah Luna, mengenakan dress bodycon hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Belahan roknya tinggi, memperlihatkan paha putih mulus. Bibirnya merah menyala. Rambutnya ditata bergelombang sempurna.Dengan senyum genit, Luna mendekati Adrian."Hai, Adrian," sapanya manja, suaranya dibuat-buat lembut.Adrian mendengus pelan, tidak menyembunyikan ketidaksukaannya."Apa maumu, Luna?" gumamnya dingin.Luna pura-pura tersinggung, membentuk mulutnya cemberut kecil."Aku cuma... mau bilang," katanya sambil memutar rambut di jarinya, "Kalau kamu masih butuh pasangan buat gala nanti... aku siap kok nemenin kamu."Dia menyentuh lengan jas Adrian pelan, sengaja me
Besok paginya, suasana kantor Hartawan Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan kemeja rapi dan ekspresi penuh kesibukan.Adrian, seperti biasa, berjalan masuk ke dalam lobby utama dengan langkah tegap, jas hitam membalut tubuh tegapnya, wajahnya datar dan tanpa emosi.Namun, sesuatu menghentikannya.Seorang wanita cantik berdiri di tengah lobby, mengenakan dress formal biru langit yang menonjolkan kecantikannya. Wajahnya manis, rambutnya bergelombang rapi.Dia melambai dengan malu-malu ke arah Adrian.Adrian mengernyit.Matanya melirik ke sekeliling, mencari-cari sumber masalah ini — dan benar saja, dari balik pilar, Derren muncul, dengan senyum penuh harap.Adrian langsung menghela napas panjang, matanya memicing tajam ke arah sahabatnya itu.Derren berjalan cepat ke arah Adrian sambil berbisik,"Surprise, bro! Ini... calon pasangan buat gala nanti. Namanya Jessica."Adrian menatap Derren dengan tatapan membunuh."Kamu bercanda," gumam Adrian dingin.
Siang itu, kantor Hartawan Group masih sibuk.Naya baru saja keluar dari pantry, membawa tumpukan dokumen yang harus dibagikan ke beberapa ruangan.Langkahnya cepat—sedikit tergesa.Saat berbelok di lorong sempit, tanpa sengaja—Brak!Naya menabrak seseorang.Dokumen bertebaran di lantai."Aduh...!" seru Naya panik, buru-buru membungkuk.Namun sosok pria itu juga membungkuk pada waktu bersamaan, membuat wajah mereka hanya beberapa sentimeter saja.Dan dalam momen itu, karena keseimbangan Naya goyah, tubuhnya terdorong maju.Ciuman kecil.Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat dunia seakan berhenti berputar.Naya membelalak.Adrian juga membeku.Suasana hening, sangat hening.Sementara di ujung lorong, seseorang menyaksikan semuanya dengan mata melebar marah—Sarah.Senyuman sinis muncul di bibirnya.**"Maaf! Maaf banget, Pak Adrian!" seru Naya gugup sambil buru-buru berdiri dan mundur beberapa langkah.Adrian sendiri tampak berusaha menguasai diri. Ia berdeham pelan, kembal
Pagi itu kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian berjalan menyusuri lorong panjang lantai eksekutif, kemeja biru gelap membalut tubuhnya. Ada bekas luka samar di pipi kirinya, dan jalannya sedikit kaku. Namun dia tetap menjaga aura wibawanya. Dari arah berlawanan, Naya datang dengan membawa nampan berisi kopi-kopi untuk ruangan meeting. Langkahnya berhenti mendadak. Mata Naya membelalak pelan saat melihat Adrian yang tampak babak belur. Ada rasa khawatir yang otomatis muncul. "Pak Adrian...?" gumamnya lirih. Mereka saling memandang sekilas. Hening. Canggung. Suasana mendadak seperti freeze. Naya panik, dia reflek mau ke kanan. Adrian—dengan gugupnya—ikut melangkah ke kanan. Naya buru-buru ke kiri. Adrian juga geser ke kiri. Mereka hampir bertubrukan. "Ah... anu... m-mohon maaf, Pak!" kata Naya panik, menunduk dalam-dalam. Adrian mengangkat tangannya, mencoba terlihat santai, walau mukanya sudah merah. "Tidak apa-apa..." Mereka akhirnya berhasil
Cling...Setelah berjam-jam yang terasa seperti seumur hidup, pintu lift akhirnya terbuka.Naya hampir menangis lega. Ia berdiri cepat-cepat, diikuti Adrian yang tetap terlihat tenang walaupun kemejanya sudah kusut sedikit.Mereka melangkah keluar, disambut petugas teknisi dan beberapa satpam."Maafkan kami, Pak Adrian, Nona..." para teknisi membungkuk dalam-dalam.Adrian hanya mengangguk malas, satu tangannya refleks menahan punggung Naya agar tidak terinjak-injak kerumunan. Ia bahkan tidak sadar saat melakukan itu.Jam menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Kantor sudah sepi."Naya."Suara Adrian dalam. "Aku antar pulang."Naya langsung gelagapan. "T-tapi, Pak, saya biasa naik angkutan kok... nggak apa-apa, sungguh!"Adrian menatapnya dingin. "Tidak ada diskusi."Dengan berat hati, Naya akhirnya masuk ke dalam mobil hitam mewah milik Adrian. Selama perjalanan, mereka hanya diam. Sesekali Naya mencuri pandang, tak percaya ia satu mobil dengan pria paling dingin se-kantor.Mobil melaju me
Sore itu, Adrian tiba di rumah mewah keluarga Hartawan. Langit mulai menggelap, dan hawa dingin menyeruak masuk bersama embusan angin dari taman. Di ruang tamu, Ibu Ratna sudah duduk di kursi empuk, mengenakan piyama sutra warna gading. Meski wajahnya masih tampak pucat, ada sorot tajam di matanya. Adrian menghampiri, membungkuk sedikit mencium tangan ibunya. "Bagaimana keadaan Mama?" tanyanya pelan. Ibu Ratna tersenyum lemah. "Sudah lebih baik... berkat kamu mau dengar Mama, Nak." Adrian hanya mengangguk kecil, duduk di seberangnya. "Ngomong-ngomong, Mama mau ketemu Luna." Nada suara Ibu Ratna mengeras sedikit. "Suruh dia datang makan malam ke rumah. Kita harus mulai perkenalan sebelum acara gala." Deg. Adrian mengerjap, tapi cepat-cepat menutupi keterkejutannya. Senyum tipis tersungging di wajahnya, penuh kepalsuan. "Luna... lagi sibuk, Ma. Dia ada meeting panjang. Nanti kalau dia senggang, aku ajak ke sini." Ibu Ratna menghela napas panjang. "Jangan lama-lama, Adrian. Ga
Sepanjang hari itu, Adrian merasa pikirannya tidak fokus.Setiap kali ia mencoba menunduk memeriksa laporan di mejanya, bayangan wajah Naya kembali terlintas. Tatapan polos itu... tubuh mungil yang gemetar dalam dekapannya... aroma sabun sederhana yang tercium samar dari rambut gadis itu. Semua bercampur membanjiri otaknya, membuatnya tidak nyaman."Sialan," gumamnya pelan, mengacak rambutnya sendiri.Adrian memutuskan keluar dari ruangannya untuk sekadar menghirup udara segar. Ia berjalan melewati koridor, langkahnya panjang-panjang, tangan masih dimasukkan ke saku celana.Secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok Naya yang sedang membungkuk di pojok ruangan, sibuk mengatur minuman dan makanan ringan untuk rapat sore.Gadis itu kelihatan berusaha cekatan, tapi tetap saja sesekali menjatuhkan sendok, lalu buru-buru memungutnya lagi.Bibir Adrian sedikit terangkat, sangat tipis, nyaris tak terlihat. Sesuatu dalam dirinya merasa... geli."Apa anak itu selalu ceroboh begini?" pikirny
Mobil sport hitam itu berhenti mulus di depan gerbang rumah besar bergaya modern minimalis. Adrian menatap sekilas bangunan megah itu, lalu menghela napas panjang sebelum turun. Dengan langkah berat, ia berjalan ke pintu depan.Seorang pembantu muda berseragam hitam-putih membungkuk sopan."Selamat sore, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau ketemu Nona Luna," jawab Adrian dingin.Pembantu itu tersenyum kaku. "Sebentar ya, Tuan."Ia bergegas masuk ke dalam rumah. Sementara itu, Adrian menunggu di teras, merasa tidak nyaman berdiri di bawah sinar matahari sore yang hangat.Di dalam, pembantu itu berjalan ke belakang rumah, menuju area kolam renang.Di sana, Luna tengah berbaring santai di kursi berjemur, mengenakan bikini merah elegan. Dua potong timun menempel di matanya, headphone di telinganya, seolah dunia ini hanya miliknya."Nona Luna," kata pembantu itu pelan."Ada tamu—seorang pria, ingin bertemu."Luna mengangkat satu tangan malas, tanpa membuka mata. "Suruh aja masuk...