Arumi berdiri di ruang keluarga yang ada di lantai dua. Ruang itu tak besar, tetapi tertata cukup apik dan terlihat artistik dengan guci-guci mahal, lukisan di dinding dan juga lampu hias yang besar. Di samping ruang tersebut terpasang dinding kaca yang luas sehingga ketika gorden dibuka, bisa langsung melihat taman yang ada di Balkon.
Di sanalah kini lelaki berambut sebahu itu duduk santai pada sofa dan membelakanginya. Petikan gitarnya terdengar merdu mendayu. Entah kenapa, nuansa musik akustik itu mengingatkan kenangannya di kota Paris. Tanpa sadar, Arumi memejamkan mata, terbayang lagi deretan bangunan dengan desain unik, sudut-sudut kafe yang nyaman, angin musim semi yang membelai, monumen-monumen indah, megah dan ikonik, lalu seraut wajah yang ingin ia lupakan. “Hey, elo sedang apa?” Suara itu membuat Arumi membuka mata. Jordhy sudah berdiri di belakangnya. “Tidak.” Arumi menjawab singkat. Lalu mengulurkan tangan untuk mencium punggung tangan Jordhy. “Dia sepertinya memperhatikan Kevandra, jangan-jangan dia naksir Kevan? Baguslah … sepertinya harus aku dukung dan dekatkan mereka … jadi pas aku gugat cerai nanti, ada alasan yang lebih kuat! Semoga, aku sudah bisa bebas dari dia sebelum enam bulan,” batin Jordhy sambil menatap punggung Kevandra yang masih asik dengan dunianya sendiri. Dia duduk termenung sambil memainkan senar-senar gitar, merangkai harmoni, mengalun indah bersama semilir angin malam yang menyejukkan. Terbayang jelas dan menari-nari dalam ingatan bersama simphoni yang berlarian. Seraut wajah cantik yang ketakutan, sepasang netra beriris cokelat berbulu mata lentik dan bibir yang gemetar. Lalu, deretan bunga tulip dan daffodil di taman kota, bunga-bunga plum, magnolia, sakura putih dan merah muda hingga bunga wisteria bergantian terbayang. Lalu bayangan bunga itu memudar berganti dengan seraut wajah manis dengan rambut tergerai. Dia berjalan tergesa dalam balutan baju hangat di bandara Charles de Gaulle. Sayangnya, waktu itu, dia lagi-lagi kehilangan jejak. Jordhy mengabaikan Kevandra. Dia sudah sangat hapal kebiasaan lelaki yang lebih suka menghabiskan waktu di depan kanvas atau bersama gitar itu. Dia berjalan ke kamar dan mendapati Arumi tengah duduk tepekur menatap ponselnya. “Kalau lagi keluar sama gue, jangan pakai ponsel itu!” Arumi mendongak dan mengerjap. Jordhy membuang muka ketika harus bersitatap dengan sepasang netra dengan bulu mata lentik itu. “Kenapa dengan ponsel ini, Mas?” “Ck, elo mau bikin gue malu? Jangan sampai gue dibilang suami pelit karena Cuma beliin elo ponsel murahan kayak gitu! Ingat, Arumi! Selama tercatat sebagai istri gue, elo harus menjaga harga diri gue!” Arumi tersenyum di balik cadarnya. “Ah, rupanya ini cara Tuhan agar aku bisa memakai ponselku yang biasa. Thanks, God!” batin Arumi dengan netra menyipit karena tersenyum. Kemarin agak ragu memakai ponsel apel kroak itu. Jordhy tahunya, dia anak pengusaha kecil saja. Jordhy yang memperhatikan sekilas, mencebik sambil bicara dalam hati, “Ck, dasar katrok! Disuruh ganti HP aja sampai senyum-senyum sendiri! Sebahagia itu rupanya!” “Oke, Mas! Besok aku izin keluar mau ganti ponsel ini!” tutur Arumi sambil meletakkan ponsel murahnya. “Ya, pakai saja kartu yang gue kasih! Arumi hanya mengangguk. Lekas dia bergerak menyiapkan baju ganti untuk Jordhy. Lelaki itu pun meraih handuk dan lekas berlalu menuju kamar mandi. “Makannya mau di bawah atau di kamar?” “Di bawah saja!” tutur Jordhy sambil berlalu. Usai menyiapkan pakaian Jordhy, Arumi lekas turun lagi dan menghangatkan makanan untuk Jordhy. “Papa sama Mama belum pulang, Bi?” tanya Arumi. Bi Amih tampak sedang sibuk bolak-balik ke taman belakang. “Belum, Non! Tadi dia nelpon, suruh makan malam duluan saja! Tuan sama Nyonya sepertinya makan malam di luar!” Arumi mengangguk, lekas menghangatkan lauk pada microwave. Setelah itu, Jordhy turun dan Arumi tengah menyajikkan hidangan untuknya di meja makan. Dia melirik sekilas dan bertanya pada Bi Anih yang sibuk wara-wiri. “Bi, mama papa mana?” “Makan diluar, Tuan!” “Oh, ya? Itu Bibi sibuk ngapain wara-wiri mulu?” Jordhy mengurungkan gerakkan tangannya yang hendak menarik kursi. Hidangan sudah tersaji dua porsi. “Non Shelma sama teman-temannya lagi barbeque, Tuan!” Seketika senyum di bibir Jordhy mengembang. Dia melirik sekilas pada Arumi yang baru saja duduk setelah menata sendok dan garpu. “Ahm, Rum! Gue makan bareng Shelma saja di belakang, ya! Lagi pengen daging panggang!” tutur Jordhy ringan. Arumi cukup terkejut. Namun, dia mencoba bersikap tenang. “Oh, jadi … gini caramu, Mas! Oke,” batin Arumi sambil menahan rasa kesal. “Oke, Mas! Aku makan di sini saja, sayang sudah disiapkan!” “Oke!” Jordhy berlalu begitu saja dan langsung berbaur dengan gadis-gadis cantik dan seksi teman Shelma. Amita, yang tadi meneriakki Arumi meminta dibuatkan jus, kegirangan. Sudah lama diam-diam dia naksir kakak pertama dari Shelma yang dia bilang macho itu. Dia pun sigap melayani Jordhy dan duduk di sampingnya sambil berceloteh. Jordhy menikmati daging panggang sambil sesekali melirik ke arah pintu dapur. Berharap Arumi mengintipnya diam-diam. Namun, karena Arumi tak kunjung terlihat. Jordhy bertanya pada Bi Armah yang baru saja dari dapur. “Bi, Arumi masih makan?” “Iya, Tuan, sama Tuan Kevan.” “Hah, sama Kevan?” Jordhy menautkan alis. Tiba-tiba saja dia meletakkan daging panggang dan lekas berjalan menuju ruang makan. Ketika tiba, tampak Kevandra tengah asik bercerita dan sesekali Arumi tertawa. “Dia kenapa tampak bahagia sekali bersama Kevandra, ya?” batin Jordhy sambil menatap sepasang netra dengan bulu mata lentik itu yang menyipit. Tiba-tiba ada rasa tak nyaman di hatinya melihat sang istri tertawa lepas bersama lelaki lain di depannya.“Ya Allah, Mas! Kenapa jadi kamu yang ribet kayak gini, sih? Lahirannya juga masih lama!” kekeh Arumi.Jordhy menoleh dan mendekat ke arah sang istri. Sebelum berbicara, satu kecupan dia daratkan pada kening Arumi. Tak peduli Bi Muti memalingkan muka karena malu.“Apapun akan kulakukan demi kebaikan anak kita. Anggap saja ini adalah penebusan kesalahan!” kekehnya sambil membelai rambut Arumi. Jika di dalam rumah, Arumi kerap mengenakan pakaian santai. Toh, Pak Kamin memang di larang berkeliaran di dalam.“Baiklah, terserah kamu, Mas! Ini buat kamu!” tutur Arumi sambil menyerahkan segelas cappuccino hangat untuk sang suami. “Ayo! Temani Mas minum!” bisik Jordhy sambil menarik lengan Arumi dan mengajaknya meninggalkan kamar bayi mereka.Sebelum menginjak bulan ke Sembilan, mereka berdua melaksanakan agenda baby moon yang sudah dirancang. Puncak Bogor yang Jordhy pilih dari sekian banyak destinasi wisata yang Rasya sodorkan. Udara sejuk dan pemandangan pegunungan yang indah menjadi daya
“Lisa,” jawab Jordhy singkat.Wajah Arumi menunjukkan sedikit keterkejutan, tetapi ia segera tersenyum tenang. “Bagaimana keadaannya sekarang?”Jordhy menceritakan secara singkat keadaan Lisa yang kini telah jatuh dalam keterpurukan. Arumi mendengarkan dengan seksama, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa cemburu atau marah. Sebaliknya, ia justru menepuk bahu suaminya dengan lembut.“Mas, kalau kamu merasa perlu membantunya, lakukan saja. Kadang, Tuhan memberi kita kesempatan untuk membantu orang lain agar kita bisa belajar dari masa lalu,” kata Arumi bijaksana.Jordhy menoleh dan menatap tak percaya pada apa yang Arumi katakana padanya, “Kamu serius berpikiran demikian, Dek?” Arumi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy. “Semua orang pernah berbuat kesalahan, jika kesempatan kedua itu tak pernah ada, maka hari ini kita pun tak akan pernah bersama, Mas.”Jordhy termenung. Benar yang dikatakan Arumi. Namun, sisi logikanya masih bertahan. Tak semudah itu juga memberikan penga
Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah pasar kecil. Di sana, matanya langsung tertuju pada gerobak kecil dengan tulisan “Rujak Serut Spesial” yang ditempatkan di samping sebuah pohon besar. Tanpa ragu, Jordhy berjalan cepat menuju gerobak tersebut dan menanyakan pesanan rujak serutnya. Saat menunggu penjual menyelesaikan pesanan, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu pun tampak memandangi Jordhy dengan mata yang tampak kosong dan lelah, namun di balik itu, ada sorot yang berkaca-kaca, seolah menyimpan begitu banyak perasaan yang tak terucapkan.Jordhy memandang perempuan itu dengan kening berkerut. Butuh beberapa detik untuk mengenali siapa sosok tersebut. Wajah yang dulu selalu ia lihat dalam kesibukan kantor dan momen-momen pribadi mereka kini tampak berbeda—lelah, penuh bekas luka kehidupan. Lisa, mantan sekretaris sekaligus mantan kekasihnya, berdiri di sana dengan tubuh yang tampak kurus dan kusut dan perut yang te
Arumi tersipu, tapi dengan lembut ia menerima uluran tangan suaminya. “Baiklah karena dipaksa.”Mereka berdansa pelan diiringi musik lembut yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Jordhy memeluk Arumi dengan lembut, mendekapnya penuh cinta sambil berbisik, “Terima kasih sudah ada di hidupku. Kamu tahu, aku mungkin bukan suami yang sempurna, tapi aku berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik buat kamu dan anak kita nanti.”Arumi menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy, merasakan kedamaian dan cinta yang tak terbendung. “Aku nggak butuh yang sempurna, Mas. Kamu, dengan segala kekurangan dan kelebihan, sudah lebih dari cukup.”Mereka terus berdansa dalam keheningan penuh makna, saling menguatkan tanpa banyak kata.Setelah makan malam, mereka memutuskan mampir ke sebuah mal yang masih buka untuk membeli beberapa keperluan bayi. Meski sudah larut, Jordhy masih tampak bersemangat memeriksa satu per satu barang yang ada di toko bayi. Arumi, yang sesekali duduk di kursi yang terse
“Malam ini bersiap, ya! Mas mau ajak kamu pergi! Cuma siang ini, Mas harus udah kerja, Rasya takut keburu botak kepalanya!” tutur Jordhy sambil meneguk susu hangat miliknya. Tentunya bukan susu untuk ibu hamil seperti yang Arumi sangka. “Mau ajak ke mana? Aku masih capek, tau!” keluh Arumi. “Ada, deh … rahasia!” balas Jordhy sambil mengambil potongan roti bakar miliknya lalu disuap dengan lahap. Pagi itu mereka berpisah dengan senyum yang tersemat pada bibir masing-masing. Ada rasa hangat yang menjalar dari dekapan singkat dan kecupan Jordhy pada kening Arumi sebelum pergi ke kantor. “Jangan lupa, malam nanti dandan yang cantik!” bisik Jordhy sambil melepaskan rangkulan dari pinggang Arumi. “Kan aku pake cadar, cantik juga gak kelihatan!” elak Arumi.Jordhy terkekeh sambil menggaruk tengkuk, “Hmmm … kalau mau dibuka, boleh, sih!” “Dih, enggak, ah! Dulu ‘kan kamu yang minta,” tutur Arumi menyangkal. “Iya deh, iya, Nyonya! Pamit, ya!” Jordhy mengecup sekali lagi kening Arumi, lal
Sepasang netra Arumi membeliak ketika melihat hiasan kamar bak kamar pengantin baru. Semerbak dengan taburan mawar dan ronce melati segar.“Mas?” Arumi menoleh ke arah Jordhy dan menatapnya. Namun bukan jawaban, melainkan tiba-tiba saja Jordhy membopong tubuhnya dan membaringkannya di atas king size bed bertabur mawar.“Malam ini, milik kita,” bisiknya sekali lagi. Lalu pinti dikuncinya dan lampu yang terang berubah temaram. Arumi hanya bisa pasrah ketika Jordhy mengajaknya berpetualang. ***Pagi menyambut dengan sapuan sinar surya yang lembut. Arumi baru saja bangun dan mengerjap ketika sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai. Setelah shalat shubuh tadi, Arumi merasakan lelah yang luar biasa dan memilih untuk tidur lagi. Ditatapnya tempat tidur yang kosong di sampingnya, Jordhy sudah tak ada di tempat.Arumi mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Baru saja kemarin dia landing di bandara dan menginjakkan kembali kakinya di Indonesia. Lalu bayangan manis malam tadi dan kalimat cinta y