Tak ada jalan lain selain menyetujui pernikahan ini, Bintara segera mengurus persiapan pernikahannya walau harus di laksanakan secara diam-diam.
“Kenapa harus diam-diam, Nak? Kamu itu anak gadis berharga buat Ayah! Dia gak hargain kamu?” Walau sang Ayah sangat marah, namun Aruna tetap memintanya untuk jadi wali di pernikahannya, dan mengungkapkan keadaan sebenarnya pada keluarganya. “Maafin Aruna, Yah! Aruna gak bisa jadi anak yang baik buat Ayah Ibu!” Sambil menangis Aruna benar-benar menyesali semuanya, tapi ia juga tak bisa menceritakan kejadian sebenarnya pada orang tua. Nasi sudah menjadi bubur, keluarga Aruna terpaksa menerima semua persiapan pernikahan yang dilakukan dengan cepat dan rahasia. Mereka memilih sebuah vila pribadi di luar kota, jauh dari pandangan dan perhatian publik. Undangan hanya diberikan kepada beberapa orang terdekat dari pihak Aruna saja yang dapat dipercaya untuk merahasiakan pernikahan ini, Sementara dari pihak Bintara hanya di hadiri orang-orang kepercayaannya saja seperti Sebastian. Vila itu dihiasi dengan bunga putih dan lilin-lilin yang memberikan suasana hangat dan tenang. Aruna mengenakan gaun pengantin sederhana yang menutupi kehamilannya, sementara Bintara tampil dengan setelan jas hitam klasik yang elegan. Upacara berlangsung dengan khidmat di bawah langit malam yang berbintang.Seorang penghulu yang diundang secara khusus memimpin upacara pernikahan. Saat Bintara menggenggam tangan Aruna dan mengucapkan janji setia, mata mereka saling bertatapan dengan penuh keharuan. Semua rasa takut dan cemas menghilang, tergantikan oleh kebahagiaan dan harapan akan masa depan. ‘Seenggaknya bayi ini akan punya Ayah,’ batin Aruna sambil menatap Bintara yang kini telah menjadi suaminya. ** Suara sepatu hak tinggi menggema ketika ia baru memasuki sebuah apartemen yang luas nan elit, dua orang asisten rumah tangga berseragam putih hitam itu menunduk pada wanita berpenampilan elegan di depan mereka. “Selamat datang Nyonya Serena, mau saya buatkan sesuatu?” Asisten itu membungkuk sambil memberi salam. “Gak usah, saya dateng cuma mau singgah sebentar aja,” jawab Serena. Kedua asisten itu mengangguk dan pergi membiarkan majikannya melakukan apa pun sesuka hati di apartemen suaminya ini. Mereka berdua tergesa-gesa ke melanjutkan kembali pekerjaan, berharap majikannya tak tahu bahwa beberapa bulan lalu mereka berpapasan dengan seorang wanita yang keluar dari apartemen Tuannya ketika mereka hendak masuk kerja ke apartemen ini. Tentu saja dua asisten itu memiliki dugaan sendiri bahwa Tuannya ada main dengan wanita yang beberapa waktu lalu mereka lihat. Apa lagi Apartemen ini jarang di kunjungi oleh Nyonya Serena, biasanya Bintara hanya mampir sesekali untuk melepas penat dari rutinitas pekerjaan. “Jangan sampe kita ngomong apa pun ke Nyonya, salah-salah kita bisa di usir Pak Bintara!” bisik salah satu Asisten yang di balas anggukan teman kerjanya itu dengan raut gelisah. Sementara Serena masuk ke kamar Bintara, melihat ke sekeliling ruangan dan membuka tirai kamar. Ia duduk di depan meja rias dan bercermin, merasa rambutnya sedikit berantakan, lalu berniat menyisir rambutnya. Namun ketika ia mengangkat sisirnya, netranya menangkap beberapa helai rambut berwarna hitam panjang menyangkut di sisirnya. Sementara rambutnya sendiri di cat berwarna coklat tua. Ini jelas bukan helai rambut miliknya, ia juga sudah lama tak berkunjung kemari, lantas bekas siapa sisir ini? Pikirnya. Hatinya mendadak bergemuruh, tangannya bergetar sembari mencengkeram kuat sisir itu. Dengan nafas yang naik turun ia bergegas keluar kamar dan memanggil para asistennya itu. Setengah berteriak ia berdiri di depan kamar Bintara menanti asisten rumah tangganya menghampiri. Dengan tergesa-gesa dua orang yang merasa di panggil itu datang menghadap Serena sambil menunduk. Serena mengangkat tangannya menunjukkan sisir yang ia ambil tadi. “Apa kalian pake sisir saya di kamar?” tanyanya dengan suara rendah berusaha tenang. Kedua asisten rumah tangga itu saling berpandangan, mereka menggeleng cepat. “Gak Nyonya, kita mana berani.” Jawaban singkat mereka sudah cukup membuat Serena mengetahui apa yang terjadi. “Selain saya yang kesini, kalian lihat ada siapa lagi?” Kedua asisten masih bingung untuk menjawab, tapi bentakkan Serena kembali mengejutkan mereka. “I-itu Nyonya, kami juga gak kenal siapa, tapi sekitar 4 bulan lalu, waktu pagi-pagi kami mau mulai kerja, ada wanita keluar dari apartemen Tuan …,” jawab salah satu Asisten dengan gemetaran. “Kalian sering lihat dia kesini?” tanya Serena Dengan tatapan penuh amarah. “Gak Nyonya, baru waktu itu aja saya lihat dia.” Serena mengambil nafas dalam berusaha mengatur emosinya, sambil mencengkram kembali sisir dengan helai rambut orang lain yang akan menjadi bukti apa yang di lakukan suaminya di belakang dirinya. Serena pergi begitu saja dari Apartemen dan tergesa-gesa menuju pos keamanan di depan gedung apartemen. Tanpa basa basi pada security yang berjaga, Serena meminta rekaman CCTV di hari kemarin. Serena di persilahkan duduk dan menyaksikan rekaman itu, di mulai ketika 4 bulan lalu di waktu malam saat mobil Bintara memasuki area basement parkir apartemen, kemudian wanita yang tak lain adalah Aruna membantu Bintara yang terlihat mabuk parah berjalan memasuki gedung, lantas masuk lift, hingga akhirnya Aruna masuk bersama Bintara. Serena menunggu dan melihat rekaman itu dengan seksama, berharap Aruna cepat keluar dari apartemen Bintara, namun jam berlalu, tayangan di percepat pun Aruna tak kunjung keluar dari dalam unit Apartemen Bintara, barulah di pagi hari pukul 8.10 ia keluar Apartemen di saat kedua asisten rumah tangganya juga terlihat mulai datang. Serena menggertakkan giginya sendiri, rahangnya menegang menahan emosi. Ia keluar ruangan security dengan perasan sakitnya, marah, semua jadi satu. Dalam langkahnya menuju mobil, ia menelpon seseorang. “Halo? Saya perlu kamu lakukan sesuatu!”Di bawah langit petang yang mulai bersemburat jingga, Aruna, Bintara, dan Rohana berdiri di gazebo restoran hotel, memandang hamparan lapangan golf yang terbentang luas. Angin sore berhembus lembut, membawa keharuman bunga-bunga yang mekar di sekitar mereka.Bintara melingkarkan lengannya di pinggang Aruna, menariknya lebih dekat sebelum mengecup kening istrinya dengan penuh cinta."Aku sangat mencintaimu," bisik Bintara, suaranya penuh dengan kehangatan dan ketulusan.Aruna tersenyum, namun senyumnya tiba-tiba memudar, wajahnya berubah pucat. Dia menutupi mulutnya dengan tangan, mencoba menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya. Bintara segera terlihat khawatir, alisnya berkerut dalam kecemasan. "Aruna, kamu baik-baik saja?"Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melepaskan Rohana ke pelukan babysitter yang berdiri tak jauh dari mereka. Setelah memastikan Rohana aman, Aruna kembali menatap Bintara dengan senyuman yang lembut. Tanpa berkata apa-apa, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
Di tengah suasana meriah di Grand Opening Hotel, Bu Najiah juga turut hadir. ia tampak menikmati sore di suatu gazebo di taman belakang restoran hotel, ditemani riak air kolam yang memantulkan sinar matahari senja. Ikan-ikan berenang tenang, seolah menambah kedamaian di sekitarnya. Namun, jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang belum terobati. Suara langkah kaki mendekat dari arah belakangnya. Ia tahu siapa itu sebelum sosoknya muncul di samping. "Lama tidak bertemu," sapa Adi Jaya, suaranya lembut namun ada nada canggung di dalamnya. Bu Najiah menoleh, melihat Adi Jaya yang berdiri dengan sikap yang penuh kehati-hatian. Matanya menatap tajam, namun ada kebingungan yang mengintip di balik ketegasan itu. "Ya, sudah cukup lama," jawab Bu Najiah pelan, sedikit mengeraskan hatinya untuk tidak terbawa perasaan. Pandangannya kembali ke kolam, menyembunyikan kegelisahan yang menghantui dirinya. Adi Jaya me
Sementara Dong Min mulai menemukan harapan baru dalam hidupnya, jauh di tempat lain, hati Sebastian perlahan-lahan tersentuh oleh pesona seorang wanita yang kini telah menjadi pusat perhatiannya.Grand opening hotel yang berlangsung meriah menjadi saksi dari perasaan yang tak terduga ini. Acara penuh kemegahan itu menampilkan segala kemewahan yang telah disiapkan dengan teliti oleh Bintara dan timnya.Setiap sudut ruangan dipenuhi sorak-sorai dan senyuman para karyawan yang resmi direkrut. Ini adalah momen puncak dari segala kerja keras dan usaha yang telah dilakukan selama berbulan-bulan.Ketika pita merah yang melambangkan pembukaan resmi hotel itu akhirnya dipotong oleh Bintara yang berdiri gagah di samping Aruna, gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh ruangan.Semua orang tampak tenggelam dalam kegembiraan dan kebanggaan. Namun, di tengah keramaian itu, ada satu orang yang seolah berada dalam dunianya sendiri.Sebastian, yang biasan
Di klinik lapas, suasana terasa sunyi dan muram. Dong Min masih terbaring lemah di ranjang, tubuhnya yang kurus tampak rapuh, hampir seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Tatapannya kosong, sering kali melamun, seakan terjebak dalam pikirannya sendiri yang kelam. Luka di pergelangan tangannya sudah mulai sembuh, namun luka di hatinya masih terasa perih, membekas dalam setiap helaan napasnya.Suster yang merawatnya selalu datang, membawa kehangatan yang berusaha meruntuhkan tembok dingin yang dibangun Dong Min di sekelilingnya.Seperti saat ini, ia datang dengan semangkuk bubur hangat, berharap bisa membuat Dong Min mau makan sedikit, agar kekuatannya kembali. Namun, setiap kali ia mendekat, Dong Min selalu berpaling, menolak kehadirannya dengan sikap acuh yang menyakitkan."Tuan Dong Min, kamu harus makan agar cepat pulih..." ujar suster itu dengan suara lembut, meski ada kelelahan dalam nadanya. Ia meletakkan mangkuk bubur di meja samping tem
Serena mengangguk, memikirkan penjelasan Nina. "Mmm, kalau begitu aku tahu cara agar dia bisa berhenti menggangguku..." ujarnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Nina menatapnya penasaran. "Apa rencanamu, Serena?" Serena menjelaskan dengan semangat baru, "Aku harus mengajak Mira kerjasama nanti. Aku ingin membantunya menumbuhkan kembali kepercayaan dirinya. Setelah keluar dari sini, aku berencana membuka usaha kecil-kecilan. Mungkin dia bisa bergabung denganku."Nina mendengar dengan penuh perhatian, tetapi keraguan tetap ada di wajahnya. "Itu ide yang bagus, Serena, tapi pasti akan sulit membujuknya. Mira punya banyak luka dan kepercayaan yang hilang. Dia mungkin tidak akan mudah menerima tawaranmu."Serena tersenyum tipis, matanya memancarkan tekad yang kuat. "Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku percaya setiap orang punya sisi baik. Mungkin ini adalah cara untuk membantu dia melihat bahwa ada harapan dan kesempatan kedua, sama seperti y
"Serena...," panggil Nina kemudian."Ya?" Serena menatap Nina sendu."Aku punya satu permintaan, maukah kau melakukannya untukku?" Tatap Nina dengan nanar."Apa itu?" tanya Serena.Nina menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Jika nanti kau keluar dari penjara, bisakah kau datang pada anakku dan mengasuhnya?"Serena terkejut, menatap Nina dengan heran. "Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau juga akan keluar dari penjara?"Nina tersenyum getir, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu apakah aku akan hidup sampai hari itu tiba," bisiknya sambil menyerahkan selembar kertas pada Serena.Serena meraih kertas itu dengan tangan gemetar. Saat ia membaca hasil tes rumah sakit yang diberikan Nina, matanya terbelalak. "Leukimia...," gumamnya tak percaya.Nina mengangguk, air mata tak tertahankan lagi. "Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kondisiku semakin memburuk. Aku tidak ingin anakku hidup tanpa cint